Reporter: Abdul Basith | Editor: Tri Adi
Langkah pemerintah menerapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) pangan merupakan langkah yang keliru. Sebab, pemerintah memaksa harga turun tanpa melihat faktor yang membuat harganya tinggi.
Pertama, biaya pemasaran komoditas pangan di Indonesia masih tinggi akibat banyaknya permainan di tingkat distributor yang dapat mengerek harga. Sementara HET hanya melihat harga yang dinilai terlalu tinggi sehingga perlu ditekan tanpa melihat bagian mana yang perlu ditekan. Akhirnya, penerapan HET hanya bisa menekan para produsen pangan.
Kedua, produktivitas yang rendah menyebabkan harga bahan pangan menjadi tinggi. Upaya menekan harga dengan HET menyebabkan produsen kesulitan mendapat untung. Akibatnya, produsen justru tak bergairah memproduksi bahan pangan.
Hal tersebut terlihat pada komoditas beras, banyak penggilingan padi kecil yang tutup akibat kesulitan mendapatkan gabah untuk diproses menjadi beras yang sesuai HET. Harga gabah yang tinggi membuat harga beras juga ikut naik sementara HET tidak mengalami perubahan.
Ketiga, HET mengabaikan fluktuasi harga pangan akibat cuaca. HET sepanjang tahun seperti mengabaikan faktor alam yang ikut berperan menentukan harga. Padahal, pengaruh cuaca dalam hasil produksi sangat besar.
Pada musim tertentu produksi bisa menurun sehingga harga menjadi tinggi. Sementara pada musim lainnya produksi pangan bisa berlimpah sehingga harga rendah.
Keempat, pemerintah masih menutup mata soal tingginya beban biaya untuk sektor peternakan, terutama terkait pakan ternak. Makanya, rencana HET untuk komoditas daging ayam dan telur ayam ras tak sejalan dengan kondisi di lapangan.
Secara keseluruhan, HET perlu dievaluasi ulang karena penerapannya dalam sejumlah operasi pasar tak memperlihatkan dampak bagi harga pangan itu sendiri. Kebijakan HET ini muncul akibat analisis yang salah dari pemerintah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News