kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Fenomena deindustrialisasi prematur


Selasa, 16 Juli 2019 / 10:15 WIB
 Fenomena deindustrialisasi prematur


Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi

Selama 25 tahun terakhir, proporsi jumlah tenaga kerja di industri manufaktur terhadap total jumlah tenaga kerja menurun drastis pada negara maju. Fenomena ini disebut "deindustrialisasi". Tren ini tercermin khususnya di Amerika Serikat, Eropa, Jepang dan Empat Harimau Asia Timur (Hong Kong, Tiongkok, Korea, Singapura dan Taiwan).

Tak mengherankan deindustrialisasi telah menimbulkan keprihatinan bagi negara yang terkena dampaknya. Banyak yang menganggap deindustrialisasi mengakibatkan meluasnya ketimpangan pendapatan di AS dan tingginya pengangguran di Eropa. Karena itu, tingginya pertumbuhan jumlah tenaga kerja pada industri manufaktur padat karya di negara berkembang menggantikan pekerja industri manufaktur di negara maju.

Di negara maju, deindustrialisasi adalah fitur pembangunan ekonomi yang baik, karena terbentuknya pola perdagangan yang transparan dan efisien, dimana perpindahan barang antar suatu negara menjadi mudah dan tanpa batas. Selain itu, kemajuan sektor jasa dapat mendorong peningkatan standar hidup di negara maju. Semakin banyak tenaga kerja yang bergerak di sektor jasa, pertumbuhan produktivitas sektor jasa akan menentukan prospek standar hidup lebih baik secara keseluruhan.

Tak hanya di negara maju, Indonesia saat ini mengalami gejala deindustrialisasi, namun terlalu cepat dari seharusnya atau dikenal dengan deindustrialisasi prematur. Hal ini tercermin dengan proporsi sektor industri pengolahan menurun drastis di 10 tahun terakhir. Berdasarkan data BPS tahun 2008, proporsi sektor pengolahan terhadap PDB nasional 27,8%, sedangkan di 2018 hanya 19,8%. Terjadi penurunan 8% dalam 10 tahun.

Deindustrialisasi merupakan hal lumrah dan terjadi secara global, namun di Indonesia terjadi lebih cepat dibandingkan negara ASEAN lainnya. Di Malaysia dan Thailand, proporsi industri pengolahan terhadap PDB hanya turun tak kurang dari 4% sejak 2008 hingga 2018.

Di Indonesia, deindustrialisasi yang terlalu cepat dipicu penurunan proporsi sektor industri saat pendapatan per kapita masih rendah US$ 3.927 per tahun pada 2018. Berbeda dengan negara maju, pendapatan per kapitanya sudah tinggi, sehingga siap untuk deindustrialisasi.

Seperti di Korea Selatan, pendapatan per kapita saat ini US$ 33.346 per tahun di 2018 dengan pelambatan bahkan penurunan proporsi manufaktur terhadap PDB nasionalnya 28,5% menjadi 27,2% atau 1,3% selama delapan tahun terakhir.

Efek perlambatan industri manufaktur, yang pertama adalah penurunan penerimaan pajak, karena industri pengolahan menyumbang 30% penerimaan pajak. Kedua, dengan deindustrialisasi prematur, potensi penciptaan lapangan kerja di sektor industri pengolahan menurun dan meningkatkan risiko pengangguran.

Mengacu data BPS struktur lapangan pekerjaan utama pada 2M19, 56,4% didominasi sektor jasa, 14,1% sektor industri pengolahan dan 29,4% sektor pertanian dari total 129,36 juta penduduk Indonesia yang bekerja. Selain itu, ada perlambatan 0,31% (yoy) pada pertumbuhan tenaga kerja di sektor industri pengolahan.

Fenomena deindustrialisasi prematur telah terjadi di Indonesia, namun kondisi ini cukup memprihatinkan. Rata-rata pertumbuhan sektor industri pengolahan non-migas atau manufaktur dalam 10 tahun terakhir 3,5%. Pertumbuhan sektor industri manufaktur itu lebih rendah dari rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional selama 10 terakhir yaitu 5,3%. Sektor industri manufaktur seharusnya tumbuh 6%-7% atau paling tidak di atas pertumbuhan ekonomi nasional.

Adapun sektor industri manufaktur yang rata-rata tumbuh cukup tinggi di atas pertumbuhan ekonomi nasional dalam 10 tahun terakhir, hanya industri makanan dan minuman sebesar 7,06%. Industri lainnya seperti industri mesin dan perlengkapan serta alat angkutan tumbuh rata-rata 4,38% dan 4,0% dalam 10 tahun terakhir. Selain industri makanan minuman, tidak ada industri lain yang mampu melampaui rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional dalam 10 tahun terakhir.

Dalam kebijakan ke depan, untuk mengantisipasi deindustrialisasi prematur berkelanjutan, Kementerian Perindustrian menetapkan lima sektor manufaktur yang diprioritaskan pengembangannya dalam implementasi Making Indonesia 4.0. Lima sektor itu adalah industri makanan dan minuman, tekstil dan pakaian jadi, alat angkutan/otomotif, elektronik, serta kimia. Selain itu, Kementerian Perindustrian mengusulkan pemberian insentif berupa pengurangan penghasilan kena pajak di atas 100% atau super deductible tax. Insentif ini diberikan bagi industri yang terlibat di program pendidikan vokasi dan pengembangan inovasi.

Kementerian Perdagangan juga terus berupaya menggalakkan ekspor dengan percepatan penyelesaian kerja sama perdagangan dengan negara mitra. Di sela-sela KTT G20 Osaka, Menteri Perdagangan RI dan Jepang telah meneken Framework Document on New Manufacturing Industry Development Centre (New MIDEC) di bawah Indonesia Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA). Framework Document on New MIDEC ini diharapkan mendukung program Industry 4.0, meliputi pengembangan sektor industri otomotif yang mendukung kebijakan Indonesia terkait hybrid electric vehicle (HEV), kemudian pengembangan industri elektronik, tekstil dan pakaian jadi, makanan dan minuman.♦

Astari Adityawati
Analis Industri Bank Mandiri

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×