kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,20   -16,32   -1.74%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Filosofi politik ekonomi pemilu


Senin, 08 April 2019 / 14:31 WIB
Filosofi politik ekonomi pemilu


Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi

Beberapa waktu yang lalu, saya terlibat dalam sebuah kegiatan sebagai salah satu narasumber dalam peluncuran buku Ketua FPG MPR Agun Gunandjar Sudarsa, yang berjudul: Pemilu Damai, Berintegritas, dan Menyejahterakan. Kalau mau mengaitkan pemilu yang damai dan berintegritas, tidak susah kita mencari penjelasannya.

Tapi, bagaimana dengan kata selanjutnya yaitu bisa menyejahterakan? Tentu yang dimaksud dengan kata menyejahterakan bukanlah yang terkait dengan praktik money politics atau politik uang. Misalnya, membagi-bagikan amplop berisi uang atau bentuk lainnya yang terkait dengan money politics. Sebab, kesejahteraan rakyat yang dimaksud adalah yang tidak dikonstruksikan dengan peredaran uang panas alias tidak berkah. Lantaran, ada ekses transaksional politik uang.

Karena itulah, pemilu yang menyejahterakan rakyat jelas sangat bertolak belakang dengan kasus operasi tangkap tangan atawa OTT yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas seorang politikus partai tertentu. Dalam operasi tersebut, si politikus telah mengemas pecahan-pecahan uang kertas ke ratusan ribu amplop. Dengan kata lain, pemilu dan kesejahteraan tidaklah dalam pengertian berhamburannya politik uang yang secara teknis dilakukan untuk serangan fajar. Itu merupakan sebuah pendekatan yang paling primitif dalam pemilu. Hal yang kerap dilakukan di pemilu sebelum-sebelumnya.

Hampir semua sepakat, hubungan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat dengan pemilu, lebih ke konteks pasca pemilu. Ia lebih merupakan dampak, manakala pemilu sukses memilih pemimpin nasional secara demokratis. Kelak, ketika kepemimpinannya berjalan efektif, kebijakan-kebijakannya yang keluar dipastikan bisa berdampak signifikan bagi peningkatan kesejahteraan rakyat.

Maka dari itu, pemilu yang menyejahterakan adalah yang terkait dengan konteks anjuran berpartisipasi dalam pemilu. Itu semua perlu dilakukan dengan harapan menemukan pemimpin yang mampu mengeluarkan ragam kebijakan. Kebijakan yang kelak bisa menyejahterakan rakyat banyak.

Sebab, kesejahteraan berkaitan erat dengan kondisi hidup seseorang yang secara ekonomi teratasi. Orang yang sudah sejahtera dibanding yang belum, lazim diukur dalam skala-skala keekonomian. Yang masih di bawah garis kemiskinan, tentulah belum sejahtera. Sedangkan bagi yang secara keekonomian mampu tercukupi sandang, pangan, dan papannya, tentu saja lebih sejahtera. Lawan dari kesejahteraan, dalam perspektif ini tak lain adalah kemiskinan. Adapun peningkatan kesejahteraan rakyat berarti adalah bisa menurunkan jumlah orang miskin. Nah, statistik biasanya amat rajin mengutak-atik isu yang terkait dengan kondisi tersebut.

Tentu saja, ini masalah serius. Dan, menjadi tantangan bagi siapapun politikus yang terpilih (elected politician). Apakah presiden, kepala daerah, maupun anggota legislatif. Hal ini bisa dipahami, mengingat kesejahteraan merupakan konsekuensi logis suatu kebijakan yang benar dan berpihak pada yang kurang sejahtera. Konstitusi kita jelas memberi amanat kepada siapa saja pemangku kepentingan kepemimpinan Indonesia, pusat dan daerah, untuk menyejahterakan rakyatnya. Muara dari pemilu sesungguhnya adalah, agar para pemimpin yang terpilih nantinya sadar terhadap amanat konstitusi, dan berikhtiar sungguh-sungguh dalam membuat kebijakan yang bisa menyejahterakan seluruh rakyat.

Kalau dilihat secara makro, maka penjelasannya adalah terkait logika pembangunan politik. Manakala pemilu demokratis sukses, politik nasional stabil, maka itulah jalan yang tepat bagi terwujudnya stabilitas nasional yang mampu mendorong laju pertumbuhan dan pemerataan ekonomi. Pada masa Orde Baru (Orba), rumus demikian telah diringkas ke dalam trilogi pembangunan. Stabilitas politik ialah menjadi prasyarat bagi pertumbuhan dan pemerataan ekonomi. Bedanya dengan sekarang adalah, kini stabilitas politik dihadirkan dalam suasana demokrasi (reformasi), bukan otoritarian (Orde Baru).

Pemilu yang menyejahterakan, dengan demikian mempersyaratkan ada wawasan yang terbuka bagi para calon pemilih. Paradigma ini menolak perilaku golongan putih atau golput (novoters) alias tidak menggunakan hak pilihnya pada pemilu. Calon pemilih harus berjuang untuk hadir ke tempat pemungutan suara (TPS) dan mencoblos pilihannya.

Nah, langkah tersebut sejatinya beririsan dengan konteks pemilu yang menggembirakan. Perspektifnya adalah pesta demokrasi. Yakni, memberikan kebebasan dalam menentukan pilihan dilakukan secara demokratis dan rahasia. Tidak ada tekanan bagi calon pemilih menentukan pilihannya.

Gembira dan sejahtera

Gembira dan sejahtera merupakan ciri dari keseimbangan batin dan lahir. Gembira mencerminkan ekspresi-ekspresi batiniah, sejahtera lebih ke lahiriah. Orang yang secara ekonomi terpenuhi, dalam pengertian bukan masuk ke kategori miskin, maka otomatis dia sejahtera. Tetapi orang yang sejahtera secara keekonomian, belum tentu bahagia. Jadi lebih bersifat subjektif, perasaan personal dalam merespons hidup. Orang yang sudah memiliki kebahagiaan sejati ialah yang secara rohaninya sudah kuat. Adapun definisi rohani sendiri lebih abstrak ketimbang ekonomi.

Yang rohani, yang gembira, bebas atau merdeka, sesungguhnya mencerminkan kesejatian politik. Filosof Aristoteles berpandangan, bahwa politik penuh kemaslahatan, mengingat kebaikan bersamalah yang hendak diwujudkan. Kemaslahatan tidak bisa terwujud bila itu dilakukan dengan melakukan tekanan, ketidakbebasan. Sebaliknya, ia bisa hadir dalam situasi kebebasan, kegembiraan. Politik adalah entitas yang melampaui materi. Sehingga, manakala pemilu disikapi secara materi, ia menodai, merendahkan, dan meremehkan hakikat kesucian politik.

Politik kelasnya tinggi, konsekuensinya pemilu harus disikapi sebagai sarana untuk menggapai ketinggian, sakralitas politik, bukan merendahkannya. Sudah lazim dalam ceramah-ceramah politik, para bijak bestari mengatakan, hendaknya dalam berpolitik semua pihak mengedepankan politik adiluhung (high politics), bukan politik rendahan (low politics). Pemilu merupakan ujian bagi semuanya untuk menunjukkan perilakunya dalam berpolitik, adiluhung atau rendahan.

Yang adiluhung berkorelasi dengan prospek ekonomi politik yang baik ke depan. Yang rendahan menghancurkan. Setidaknya, inilah refleksi atas pemilu yang menyejahterakan dan menggembirakan. Selamat berpemilu!

M. Alfan Alfian
Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Hasanuddin

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×