Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - Ant Financial bisa saja menjadi perusahaan financial technology (fintech) terkaya di China. Kegagalan initial public offering (IPO) Ant Financial di bursa Shanghai mengejutkan banyak pihak. Banyak ulasan menyebut penundaan IPO Ant karena pemerintah setempat tidak menghendaki dominasi swasta dalam bidang keuangan.
Berawal dari portal e-commerce Alibaba, Jack Ma membuat Alipay untuk pembayaran di Alibaba. Pertumbuhan Alipay sangat pesat hingga merambah kredit ke pebisnis dan usaha mikro, menggunakan data konsumen Alipay.
Di Indonesia, fintech yang berkembang pesat adalah peer-to-peer (P2P) lending. P2P lending sering disebut marketplace financial, berupa bisnis pinjaman online dengan menghubungkan lender (pemberi pinjaman) dengan borrower (peminjam). Bisa juga bentuk crowdfunding, yakni beberapa lender memberi modal kerja kepada satu borrower.
Jenis fintech lain yaitu payment settlement atau penyelesaian pembayaran. Model bisnis ini menggunakan dompet digital atau e-wallet untuk pelunasan portal pembayaran. Jenis fintech lainnya adalah menyediakan profiling dan credit scoring yang berisi jasa profil peminjam untuk risiko pemberian pinjaman online.
Kencangnya bisnis pinjaman online, bisa dilihat dari data Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Data per Oktober 2020, akumulasi pinjaman online mencapai Rp 137,6 triliun dengan nilai oustanding Rp 13,24 triliun. Nilai akumulasi pinjaman berasal dari 698.401 entitas (lender dari Pulau Jawa 569.982 entitas, luar Pulau Jawa 124.518 entitas, dan 1.391 lender dari luar negeri).
Total pinjaman online pada akhir 2019, mencapai Rp 81,5 triliun. Artinya ada kenaikan akumulasi pinjaman dari Januari 2020 ke Oktober 2020 sebesar Rp 56,1 triliun atau rata-rata pinjaman Rp 5,6 triliun per bulan.
Fintech versus bank
Skala bisnis fintech yang demikian menggiurkan investor luar negeri untuk menitipkan uang. Suku bunga kredit bank di Singapura, misalnya hanya 1,5%-3% setahun, sangat rendah jika bandingkan dengan bunga fintech Indonesia di kisaran 12%-24% sebulan. Wajar ada 1.391 entitas luar negeri ikut investasi karena margin bunga besar.
Berbalik dengan fintech, semua bank menurun labanya selama 2020. Wabah Covid-19 mempengaruhi debitur melunasi utang bank. OJK menyebutkan, laba bank per September 2020 merosot 27,6% dari September 2019.
Selain itu, aturan bank juga sangat rigid. Misalnya modal minimum bank umum untuk tahun 2021 Rp 1 triliun. Jika gagal memenuhi modal, bank perlu merger dengan bank lain.
Bank dengan kategori Buku 1 dan Buku 2 dibatasi dalam ekspansi usaha dan layanan digital perbankan. Kategori Buku ini terkait nilai modal bank. Pembatasan ekspansi usaha ini tidak diatur untuk perusahaan fintech, berapapun modal fintech yang ada.
Selain itu, bank harus membayar premi penjaminan simpanan ke Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS). Bank juga harus melakukan pencadangan atas mitigasi kredit yang diberikan, tanpa menunggu kredit macet. Fintech tidak perlu membayar premi karena kegagalan bayar pinjaman menjadi risiko lender yang memilih sendiri peminjam berdasar profiling dan credit scoring peminjam.
Tak heran untuk fintech jenis payment settlement, mendisrupsi bisnis non tunai bank. Konsumen lebih memilih dompet digital di outlet atau aplikasi e-commerce. Bisnis kartu debit dan kartu kredit bank terdisrupsi fintech. Transfer uang antar entitas, juga tidak perlu dengan bank, cukup di dompet digital.
Bank diwajibkan memotong dan menyetor bunga simpanan yang dibayar kepada nasabah bank, sedang fintech ada kewajiban ini. Alasannya, fintech hanya memfasilitasi marketplace financial bagi pemberi pinjaman dan peminjam untuk bertransaksi. Pembayaran bunga langsung dari peminjam ke pemberi pinjaman.
Kalau melihat aturan pada Pasal 23 UU UU Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang No 7 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh) dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 251/PMK.03/2008 mengatur penghasilan sehubungan dengan jasa keuangan yang dibayarkan atau terutang kepada badan usaha yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan, tidak dilakukan pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) sesuai Pasal 23 UU PPh.
Badan usaha yang dimaksud PMK ini adalah perusahaan pembiayaan di luar bank dan lembaga keuangan bukan bank dan telah memperoleh izin usaha dari Menteri Keuangan serta BUMD atau BUMD untuk pembiayaan usaha kecil.
Aturan PMK 251/PMK.03/2008 dibuat tahun 2008 ketika bisnis fintech belum berjalan dan tujuannya PMK ini mewadahi lembaga non bank untuk membiayai usaha mikro dengan izin Menteri Keuangan. Seharusnya fintech tidak masuk kategori ini
Saat ini, rerata bunga pinjaman fintech antara 0,4% sampai 0,8% perhari (atau 12% sampai 24% sebulan). Bunga ini sesuai batasan yang disepakati asosiasi fintech. Secara global, maka bunga yang dibayar oleh peminjam adalah 0,4%-0,8% selama 30 hari lalu dikalikan pinjaman Rp 5,6 triliun maka diperoleh nilai bunga tiap bulan sebesar Rp 672 milyar sampai Rp 1,34 triliun.
Jika dikalikan dalam 10 bulan selama tahun 2020, maka potensi bunga pinjaman secara kasar senilai Rp 6,7 triliun sampai Rp 13,4 triliun. Namun, penghasilan bunga ini masih harus dibagi antara pemberi pinjaman dan fintech.
Problemnya, fintech tidak berwenang memotong penghasilan bunga yang dibayarkan peminjam ke pemberi pinjaman. Pemberi pinjaman bisa jadi tidak melaporkan penghasilan bunga pinjaman dari fintech. Dengan perkiraan bunga yang diterima fintech tahun 2020 senilai Rp 6,7 triliun sampai Rp 13,4 triliun dan tarif pajak penghasilan atas bunga 15%, maka perlu kajian agar potensi pajak bisa terkumpul dari bunga ini.
Dalam menciptakan equal playing field antara fintech dengan bank, bisa dilakukan beberapa upaya. Pertama, untuk platform fintech ditetapkan sebagai wajib pungut (wapu) dalam memungut pajak penghasilan atas bunga yang diterima pemberi pinjaman. Dengan menjadi wajib pungut, maka fintech wajib memungut PPh sesuai Pasal 23 UU PPh dan menyetorkan ke kantor pajak.
Kedua, kajian pajak atas jasa payment settlement. Jasa pelunasan menggunakan dompet digital bisa dikategorikan sebagai jasa kena pajak yang terutang Pajak Pertambahan Nilai. Hal ketiga, mengenai jasa profiling calon nasabah fintech menjadi jasa kena pajak karena digunakan platform fintech untuk memberi pinjaman.
Keempat, pelaporan saldo pengguna platform fintech. Sebagaimana bank yang wajib melaporkan saldo nasabah dengan batasan tertentu, maka platform fintech ada kewajiban yang sama. Kelima, atas pembayaran bunga ke entitas luar negeri, tetap dikenakan PPh sesuai Pasal 26 UU PPh demi keadilan.
Penulis : Anandita Suryana
Pegawai Dirjen Pajak Kementerian Keuangan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News