kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Fintech untuk remitansi Indonesia


Senin, 29 Oktober 2018 / 13:12 WIB
Fintech untuk remitansi Indonesia


Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi

Sebagai salah satu negara dengan populasi besar di dunia, Indonesia diharapkan memiliki jumlah angkatan kerja muda produktif dengan potensi yang tinggi sebagai bonus demografi. Namun pemasukan devisa negara, terutama dari remitansi pekerja migran, masih rendah dibandingkan GDP. Untuk memaksimalkan remitansi, salah satu caranya adalah menggunakan jasa fintech untuk pengiriman uang ke Tanah Air.

Pada 2030, kelompok usia kerja di Indonesia diperkirakan 70% dari total penduduk. Oleh karena itu, sumber daya manusia menjadi penting untuk pembangunan ekonomi baik domestik maupun internasional. Mengirimkan tenaga kerja terampil dan terdidik ke luar negeri juga merupakan salah satu usaha agar Indonesia berperan lebih baik di skala internasional.

Selain tenaga kerja Indonesia terpacu meningkatkan kualitas sehingga kompetitif, hal ini akan mempengaruhi pemasukan devisa negara yang akan memperkuat struktur ekonomi negara dan memaksimalkan remitansi dari pekerja migran Indonesia.

Dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, Indonesia memiliki populasi terbesar dan jumlah pekerja migran tertinggi kedua. Namun, dalam hal pengiriman uang ke Tanah Air (remittance), Indonesia hanya menduduki peringkat ke-3 di ASEAN di bawah Filipina dan Vietnam. Meski populasi Filipina dan Vietnam di bawah Indonesia, negara tetangga itu mengirimkan pekerja migran yang lebih terampil, berpendidikan dan dapat berkomunikasi dengan bahasa Inggris yang baik.

Jika dilihat dari latar belakang pendidikan pekerja Indonesia, hanya 22% dari pekerja kita memiliki ijazah SMA atau lebih tinggi. Oleh karena itu, sebagian besar tenaga kerja yang diekspor bekerja di sektor informal dengan profesi sebagai pengasuh/asisten rumah tangga, buruh perkebunan maupun pekerja konstruksi.

Jadi, masalah yang mendasar dari pekerja migran Indonesia selain latar belakang pendidikan dan keterampilan yang rendah, jumlah pekerja tidak tercatat yang tinggi, dan biaya remitansi yang tinggi dibandingkan dengan jumlah yang dikirim ke Tanah Air.

Terkait poin terakhir, biaya remitansi yang tinggi sangat mempengaruhi minat pekerja migran Indonesia mengirimkan uang ke Tanah Air. Menurut survei World Bank tahun 2017, untuk pengiriman uang US$ 200 ke Indonesia, biaya pengirimannya antara US$ 8 - US$ 12. Tentu ini memberatkan, apalagi mayoritas pendapatan pekerja migran kita masih rendah karena profesinya yang tergolong pekerja kerah biru. Mereka memilih menitipkan uang ke teman/kerabat yang pulang kampung, atau menggunakan jasa middleman yang memiliki rekening valas di negara tempat mereka bekerja dan rekening rupiah di Indonesia untuk sarana transfer antar bank. Ini juga menjadi penyebab pengiriman uang dilakukan tak secara langsung antar rekening dan nilai remitansi ke Indonesia tak bisa dipantau secara akurat.

Sejalan perkembangan teknologi, kehadiran fintech diharapkan mampu menjembatani kebutuhan ini karena pangsa pasarnya masih sangat besar. Adanya platform mobile technology dan aplikasi juga memungkinkan masyarakat, baik yang memiliki atau tak memiliki rekening bank, bisa menerima transferan uang dari luar negeri.

Ini berarti fintech diharapkan dan memungkinkan memberikan kemudahan, keamanan dan fasilitas untuk mengirimkan uang secara real-time.

Bahkan di masa depan, teknologi blockchain dan cryptocurrency juga sudah mulai dikembangkan untuk meminimalkan risiko pergerakan nilai valas.

Di Filipina dan Hong Kong, layanan remitansi berbasis aplikasi sudah difasilitasi WeChat, AliPay, GCash dan China Union Pay. Di ASEAN, beberapa startup juga menawarkan jasa remitansi real-time seperti Sendah, FastaCash, FlexM, Rebit dan Toast. Biaya pengiriman uang bisa ditekan signifikan hingga lebih dari 50%, dibandingkan menggunakan penyedia jasa remitansi konvensional.

Langkah di negara lain diharapkan bisa diikuti fintech di Indonesia dalam memfasilitasi tenaga kerja migran kita. Memang sudah ada beberapa penyedia jasa remitansi seperti RemitPro, Intrajasa, TCash atau PaySec, namun masih belum dikenal luas sebagai moda alternatif pengiriman uang ke Tanah Air. Ditambah lagi pengembangan gerbang pembayaran nasional oleh Bank Indonesia, biaya transfer diharapkan bisa ditekan sehingga berpengaruh bagus bagi pertumbuhan remitansi di Indonesia.

Andjarsari Paramaditha
Analis Kebijakan Publik Mandiri Institute

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×