Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - Masyarakat dunia, tidak terkecuali di Indonesia, menghadapi kepanikan sosial. Betapa tidak, virus korona atau Covid-19 sudah dinyatakan oleh WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) sebagai pandemik. Penyebarannya sudah terjadi di seluruh dunia dan memengaruhi banyak orang.
Penderita di Indonesia hingga 14 Maret 2020 secara resmi dinyatakan pemerintah sudah mencapai 96 orang dan meninggal 4 orang. Diduga jumlah ini akan terus bertambah jika masyarakat luas tidak aktif melakukan pencegahan dengan gaya hidup sehat.
Selain mencuci tangan dengan air mengalir pakai sabun dan memakai masker secara tepat, masyarakat juga harus mengonsumsi makanan beragam dan bergizi seimbang untuk meningkatkan daya tahan tubuh guna menangkal virus korona baru.
Virus yang pada mulanya ditemukan di Tiongkok itu telah menyebar ke 123 negara, dengan total kasus sekitar 133.000 dan korban meninggal sekitar 5.000 orang. Virus korona yang hingga kini belum ditemukan vaksin atau obatnya mendorong masyarakat mulai berpaling mengonsumsi pangan lokal dan produk olahan tradisionalnya yang sarat kandungan rempah lokal sebagai gaya hidup sehat untuk menangkal Covid-19.
Pertanyaannya, apakah pangan lokal mampu mengatasi virus korona baru? Meski belum ada hasil penelitian yang menjadi rujukan ilmiah untuk membuktikan hal itu, sejak lama sudah diketahui pangan lokal dan makanan tradisional memiliki kandungan senyawa bioaktif dan beragam antiokasidan yang mampu mendepak peradangan sel. Klaim khasiat itu lebih banyak diperoleh dari bukti empiris ketimbang uji klinis yang berstandard internasional.
Warga kota pasti pernah mengalami penurunan mutu kesehatan ketika dokter menganjurkan untuk berdiet. Hasil pemeriksaan darah di laboratorium menunjukkan kecenderungan naiknya skor asam urat, kadar kolesterol dan kadar trigliserida darah, sementara kadar HDL (high density lipoprotein) atau kolesterol baik berada di bawah normal, sedangkan kadar LDL (low density lipoprotein) atau kolesterol jahat cenderung tinggi. Menyesal! Karena selama ini kurang memperhatikan kualitas makanan yang dikonsumsi akibat kesibukan pekerjaan.
Pengalaman menunjukkan kerap sebuah modernitas atau ketidaktahuan menyimpan bahaya laten dan harus dibayar dengan ongkos mahal pula. Ia sering merampas hidup sehat, bahkan tidak jarang taruhannya kematian.
Makanan enak dan lezat, menjadi madu di lidah tapi racun di perut. Hidangan enak yang menjadi kesukaan yang lazim bertabur lemak, sarat pengawet dan rendah serat merupakan pintu masuk menuju dunia lain yang menyisakan penyesalan.
Suka atau tidak suka, kini makin meluas penderita jantung koroner, kanker, darah tinggi, diabetes, dan stroke. Sedihnya, berbagai penyakit ini bak serangan fajar alias semakin banyak diderita oleh kalangan muda usia 40-an tahun.
Manfaat makanan
Di tengah era disrupsi yang serba cepat ini, kerap orang lalai menjaga kesehatannya karena lupa terhadap manfaat fungsional makanan. Mengharap untuk mengonsumsi makanan berbasis 4 sehat 5 sempurna, yang pernah dipelajari di bangku sekolah dasar dulu, kian sirna dari daftar menu keluarga, sebab Go Food menjadi andalan gizi keluarga yang defisit kandungan antioksidan.
Selera terhadap makanan masih berkutat pada cita rasa dan aroma. Faktor gizi dan non gizi (senyawa bioaktif berupa antioksidan) dari makanan menjadi pertimbangan berikutnya, bahkan berada pada urutan terakhir. Padahal makanan yang dianggap super bukan lagi yang hanya pemberi rasa nikmat di mulut.
Sisi fungsional menjadi pertimbangan utama agar ia dapat menunjang hidup sehat. Komponen antioksidan dan senyawa bioaktif lainnya dalam makanan fungsional diyakini dapat mencegah gangguan kesehatan tubuh. Zat ini menjadi senjata pemusnah yang siap pasang badan untuk memberi perlindungan dari gempuran radikal bebas.
Radikal bebas mengingatkan kita pada pelajaran kimia di SMA yang menyebut atom atau molekul yang mempunyai satu atau lebih elektron tak berpasangan pada orbit terluarnya. Karena kehilangan pasangan itu, molekul lalu menjadi tidak stabil, liar dan radikal. Radikal bebas ini berbahaya karena amat reaktif mencari pasangan elektronnya dengan merampas dari molekul lain. Jika radikal bebas sudah terbentuk dalam tubuh maka akan terjadi reaksi berantai dan menghasilkan radikal bebas baru yang akhirnya jumlahnya terus bertambah.
Perilaku radikal bebas merebut elektron dari molekul lain tanpa pandang bulu berakibat destruktif bagi molekul sel yang elektronnya dirampas. Parahnya, aksi perampasan elektron ini menimbulkan reaksi berantai sehingga radikal bebas menetas makin banyak.
Selanjutnya radikal bebas akan menyerang dan merusak molekul makro komponen sel, yaitu lemak, protein dan DNA(deoxyribo nucleic acid) dan kemudian menjalar pada kerusakan jaringan yang akan mempercepat proses penurunan daya tahan tubuh dan penuaan dini.
Penurunan daya tahan tubuh akan memudahkan penyakit degeneratif seperti kanker, jantung koroner, osteoporesis dan diabetes hinggap dalam tubuh. Fenomena ini didorong kehadiran radikal bebas yang bersumber dari polusi udara dan pola makan yang salah, seperti terlalu banyak mengonsumsi makanan yang mengandung lemak dan kolesterol.
Seiring dengan itu, dalam memilih makanan tidak lagi didasarkan pada kandungan gizi konvensional semata serta nilai kelezatannya. Masyarakat patut memahami bahwa kelezatan makanan adalah masalah rasa (taste) yang hanya memberikan kepuasan dalam mulut tapi kurang memberi efek positif terhadap kesehatan, malah sebaliknya bisa mengundang datangnya penyakit.
Lezat atau tidak lezat suatu makanan sangat ditentukan oleh kandungan lemaknya. Makanan makin lezat jika kandungan lemaknya mengandung asam lemak tidak jenuh yang konon sangat rentan terhadap serangan oksidatif. Reaksi oksidasi lemak akan menghasilkan senyawa karsinogenik yang dapat memicu munculnya kanker.
Bertitik tolak dari fenomena ini, pangan lokal dan produk pangan olahannya berbasis tradisional menjadi kebutuhan penting untuk meningkatkan daya tahan tubuh. Meski bukan lagi merupakan kecenderungan gaya hidup baru di masyarakat modern, pentingnya peranan makanan untuk melindungi kesehatan sudah dikenal sejak prasejarah. Hippocrates, Bapak Kedokteran Dunia, berpesan kepada sesama koleganya Leave your drugs in the chemists pot if you can heal the patient with food.
Penulis : Posman Sibuea
Guru Besar Ilmu Pangan di Prodi Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas, Medan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News