kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.326.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Gebrakan Dirjen Pajak


Selasa, 12 Desember 2017 / 11:10 WIB
Gebrakan Dirjen Pajak


| Editor: Tri Adi

Akhir November 2017 lalu, bisa menjadi momentum penting bagi masa depan keuangan negara. Ya, hari itu Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati resmi melantik Robert Pakpahan sebagai Direktur Jenderal Pajak menggantikan Ken Dwijugiasteadi yang masuk masa pensiun.

Di tengah  penerimaan negara yang sedang genting dan cenderung seret, tentu tak ada lagi masa bulan madu. Apalagi Robert bukan orang baru di kantor pajak. Tak salah jika Menkeu membebankan tugas berat, kepada Robert. “Saya minta kepercayaan dan kepuasan terhadap dirjen pajak ditingkatkan. Investasi membangun kepercayaan sebagai institusi publik itu yang paling penting,” kata Menkeu saat pelantikan.

Menkeu meminta Robert mengoptimalkan data-data yang sudah dimiliki oleh kantor pajak, tanpa membuat ketakutan maupun kekhawatiran pembayar pajak. Tak kalah penting setoran juga musti tetap lancar.

Robert pun paham dengan keinginan Bos, dengan menyiapkan strategi jangka pendek untuk mengamankan penerimaan tahun ini.

Sekadar catatan, per November 2017 penerimaan pajak baru mencapai Rp 988 triliun, atau sekitar 77% dari target di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2017 yang sebesar Rp 1.283,57 triliun. Artinya Robert musti kerja ekstra keras untuk memenuhi setoran Rp 296 triliun lagi.

Tapi tampaknya pejabat baru tak bakal bisa berbuat banyak untuk menyelamatkan penerimaan pajak 2017. Kalaupun bisa mencapai 90% dari target seperti tahun tahun sebelumnya juga sudah bagus. Sebagai catatan, tahun 2013 realisasi penerimaan perpajakan 93,8% lalu 2014 sebesar 92%, 2015 sebesar 83,29%, dan tahun lalu kisaran 83,48%. Meskipun demikian, secara persentase meleset jauh, secara nominal tiap tahun setoran tetap meningkat.

Jangka panjang pajak tengah menunggu surat sakti dari presiden, yakni Peraturan Presiden (Perpres) yang berisi aturan mengenai  pengadaan sistem administrasi perpajakan atawa core tax administration system yang bisa meningkatkan pelayanan pajak dan mendukung penerimaan negara.

Sistem ini digadang bisa menyatukan data semisal rekening pembayar pajak, merekam pemeriksaan, menagih, dan menerima informasi dari luar sistem perpajakan semisal informasi transaksi keuangan, pertanahan, pemilikan mobil, dan aset lain. Kalau lancar sistem ini bisa dipakai tahun 2019. Dengan sistem ini jadi tentu tak ada tempat lagi bagai wajib pajak untuk berkelit dari kewajiban pajaknya.

Di luar itu, kantor pajak tengah berupaya mendorong perbaikan Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP). Poin yang ingin direvisi diantaranya adalah tata cara pengajuan keberatan yang ingin di kembalikan ke sistem lama sebelum 2007. Di sistem lama kalau wajib pajak mau komplain, harus lebih dulu melunasi kewajiban mereka sesuai ketetapan kantor pajak. Sebab pengalaman dengan aturan yang berlaku sekarang wajib pajak banyak komplain dan cuma membayar separoh dari pengakuan kewajiban mereka, saat pajak menang tagihan jadi menumpuk. Poin ini yang bisa menjadi senjata menggenjot setoran tanpa perlu melakukan ijon seperti masa lalu.

Tantangan lain dari luar adalah negara-negara maju maupun negara tetangga tengah jor-joran menurunkan tarif pajak penghasilan bagi badan usaha (PPh Badan). Mulai dari Amerika Serikat yang memangkas PPh Badan dari 35% menjadi 15%, lalu Malaysia mengikuti tarif 15%, lalu Vietnam turun dari 22% ke 20% lalu turun lagi jadi 17%.                                       

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×