Reporter: SS. Kurniawan | Editor: Tri Adi
Generasi milenial identik dengan "angkatan" yang doyan pelesiran dan nongkrong di kafe. Mereka lebih memilih menggunakan uangnya untuk kegiatan bersenang-senang alias leisure ketimbang menabung buat uang muka membeli rumah, misalnya.
Riset situs persewaan rumah Airbnb menunjukkan, sebanyak 70% kaum milenial rela menyisihkan uang mereka untuk jalan-jalan. Fenomena ini beken dengan sebutan leisure economy dan menjadi tren, tak terkecuali di Indonesia.
Enggak heran, generasi milenial mendapat label: sulit merencanakan keuangan dan berinvestasi. Meski, cap yang melekat pada generasi milenial itu enggak sepenuhnya benar. Tengok saja, komposisi investor surat berharga negara (SBN) ritel. Contohnya, investor Savings Bond Ritel (SBR) seri SBR005.
Data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan memperlihatkan, SBR005 yang pemerintah tawarkan bulan lalu menyedot 12.961 investor baru. Sebanyak 50,61% merupakan generasi milenial.
Bukan cuma di obligasi pemerintah yang terbilang bebas risiko, generasi milenial juga berani berinvestasi di perusahaan teknologi finansial (tekfin) berbasis peer-to-peer (P2P) lending yang high risk. Ambil contoh, sebanyak 40% pemberi pinjaman di Modalku adalah kelompok milenial. Lalu, 62% lender danaIN dari generasi milenial.
Alhasil, kaum milenial semakin jadi incaran banyak pihak, tak ketinggalan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang terus mencari cara untuk mendongkrak jumlah investor di pasar modal. Salah satu cara yang tengah mereka pertimbangkan ialah, membolehkan pembukaan rekening efek tanpa menggunakan KTP guna mengakomodasi generasi muda yang masih di bawah umur untuk berinvestasi di pasar modal. OJK menyebutnya sebagai junior program seperti di Jepang.
Ya, generasi milenial memang pasar yang sangat empuk. Badan Perencana Pembangunan Nasional (Bappenas) mencatat, jumlah penduduk Indonesia yang masuk usia produktif alias generasi milenial mencapai 90 juta orang.
Dan sejatinya, penduduk usia produktif negara kita juga jadi modal yang sangat berharga untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Hanya, kualitas sumber daya manusia (SDM) kita masih rendah. Sehingga, yang terjadi saat ini adalah banyak penduduk usia produktif yang menganggur. Program pendidikan vokasi bisa jadi salah satu cara meningkatkan kualitas SDM.♦
S.S. Kurniawan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













