kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.326.000 0,53%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

GPN: Sebuah keniscayaan


Senin, 27 Agustus 2018 / 16:32 WIB
GPN: Sebuah keniscayaan


Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi

Perkembangan teknologi dan disrupsi ekonomi membuat masyarakat semakin mudah dan sering bertransaksi non tunai untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dengan meningkatnya jumlah transaksi non-tunai, peran gerbang pembayaran  (payment gateway) tentu semakin penting.

Namun belum semua orang memahami gerbang pembayaran nasional (GPN) akan sangat diperlukan ke depan, tak hanya untuk memudahkan transaksi non-tunai, tapi juga menyalurkan bantuan non tunai bagi masyarakat yang memerlukan.

Gerbang pembayaran bukan barang baru di Indonesia. Penyedia jasa layanan ini sudah masuk mulai awal 1980-an, melalui perusahaan internasional seperti Visa, MasterCard, AMEX dan JCB. Perusahaan lokal mulai masuk bisnis ini mulai tahun 2000-an dan belakangan makin banyak perusahaan gerbang pembayaran baru yang hadir dengan maraknya transaksi non-tunai yang memfasilitasi e-commerce, seperti MidTrans, Doku, FinPay maupun Digital Artha Media.

Dengan semakin maraknya penyedia gerbang pembayaran, kehadiran GPN dianggap penting karena diharapkan mampu mewujudkan interoperabilitas dan interkoneksi antar-sistem pembayaran secara nasional. Sistem itu akan mencakup transaksi pembayaran domestik, switching dan kanal pembayaran seperti mesin ATM, EDC, agen dan transaksi antar-gerbang pembayaran. Dasar GPN sebenarnya dicanangkan sejak 2012, melalui Peraturan Bank Indonesia No. 14/2/PBI/2012 mengenai alat pembayaran dengan kartu. Ide itu dimatangkan melalui Peraturan BI No. 18/40/PBI/2016 tentang penyelenggaraan proses transaksi pembayaran. Peraturan teknis mengenai gerbang pembayaran nasional mulai diatur melalui peraturan BI No. 19/8/PBI/2017 yang terbit pada Juni tahun lalu.

Apa implikasi GPN? Jika sebelumnya kartu debit/kredit hanya bisa diakses ATM/EDC dari bank/gerbang pembayaran yang mengeluarkan kartu itu, maka adanya GPN dimungkinkan menggunakan mesin dari bank lain dengan biaya administrasi yang lebih rendah.

Dengan demikian, biaya investasi untuk infrastruktur dan teknologi yang harus dikeluarkan perbankan bisa ditekan atau dialihkan ke wilayah yang lebih membutuhkan.

Perbankan bisa menekan biaya transaksi yang dibebankan pada kartu debit dan kredit dari Rp 25 miliar per hari menjadi Rp 7,25 miliar per hari. Selain itu biaya transaksi kartu debit untuk nasabah bisa diturunkan lebih dari separuhnya, dari 2,2% menjadi 1%.

GPN bukan hanya menguntungkan dari sisi industri perbankan, tapi juga bisa mendorong perluasan inklusi keuangan melalui peningkatan transaksi non tunai karena menjadi lebih terjangkau bagi masyarakat. Turunnya biaya transaksi diharapkan mengurangi biaya transfer antar-bank, top-up uang elektronik dan pembayaran transaksi online. Ini akan menguntungkan masyarakat penerima program bantuan sosial pemerintah yang mulai disalurkan secara non tunai, seperti PKH, BPNT dan Kartu Tani. Dengan demikian, rendahnya biaya transaksi akan mendorong mitra pemerintah dalam penyelenggaraan program bansos itu (e-Warung, KUBe) dalam beradaptasi memakai EDC di lapangan. Dari sisi non-material, juga akan terjadi efisiensi dari sisi waktu, energi dan risiko.

Saat ini masih ada keengganan masyarakat beralih menggunakan kartu yang GPN-ready, karena telah terbiasa menggunakan kartu dari penyedia gerbang pembayaran internasional. Namun jika ke depannya terbukti masyarakat dan nasabah akan diuntungkan dengan biaya lebih rendah karena menggunakan GPN, maka tak ada alasan untuk tidak beralih menggunakan kartu yang difasilitasi GPN. Saat ini ada 98 bank penerbit kartu debit dari 100 penyelenggara jasa sistem pembayaran di Indonesia yang sudah terafiliasi dengan GPN. Jika sering ke luar negeri dan khawatir kartu kredit GPN tak bisa digunakan, maka langkah ke depan yang akan dilakukan BI adalah bekerjasama dengan pihak internasional sehingga kartu itu bisa digunakan di luar negeri.

Penggunaan gerbang pembayaran yang dapat mengakomodasi kebutuhan publik juga sudah diterapkan negara lain. Singapura memiliki NETS yang jaringan kartunya dapat dipakai untuk membayar transportasi publik, tol maupun utilitas (air dan listrik).

Layanan serupa juga sudah dimiliki Hong Kong (Octopus), Jepang (Suica/Pasmo) dan Islandia (IceKeys). Mengingat GPN adalah inisatif yang didasarkan kebutuhan publik, maka besar harapan GPN dapat diadaptasi dengan baik karena merupakan langkah strategis meningkatkan inklusi keuangan melalui teknologi finansial di Indonesia.•

Andjarsari Paramaditha
Analis Kebijakan Publik Mandiri Institute

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×