kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Gunung es korupsi ketenagalistrikan


Jumat, 26 April 2019 / 12:40 WIB
Gunung es korupsi ketenagalistrikan


Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi

Publik tidak kaget mendengar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Direktur Utama (Dirut) PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) Sofyan Basir, menjadi tersangka dalam kasus dugaan suap proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang Riau-1 (PLTU Riau-1). Pasalnya, sang bos PLN sudah sering disebut dalam persidangan terdakwa kasus sama yang melibatkan anggota legislatif (Eni Saragih) hingga mantan menteri (Idrus Marham).

Publik memiliki logika dan akal sehat jika direktur utama BUMN sudah ditetapkan menjadi tersangka, berarti kasus ini merupakan puncak gunung es korupsi pada proyek infrastruktur ketenagalistrikan.

Anatomi korupsi proyek ketenagalistrikan terjadi sejak perencanaan hingga pelaksanaan proyek. Anatomi seperti ini menyebabkan kerugian negara yang berlipat ganda. Tidak hanya kerugian keuangan saja, tetapi juga kerugian di pihak kontraktor dalam negeri yang dikalahkan dalam tender. Selain itu, ada pula kerugian terhadap Sumber Daya Manusia (SDM) lokal yang kehilangan kesempatan kerja. Kerugian bangsa lainnya adalah proyek infrastruktur seperti ini sudah pasti secara teknis bermutu rendah sehingga umurnya menjadi lebih pendek.

Sekadar catatan dalam kasus di atas, pihak PLN tanpa prinsip kehati-hatian dan kajian teknis yang matang langsung membuat Purchase Power Agreement (PPA) untuk PT BNR dan China Huadian Engineering Company Ltd (CHEC).

Gunung es korupsi proyek ketenagalistrikan menyebabkan program efisiensi PLN selalu gagal. Inefisiensi menyebabkan kerugian perusahaan dalam jumlah yang besar. Kerugian ini menjadikan nilai tukar rupiah sebagai kambing hitam. Padahal sudah jelas di BUMN ini terjadi salah urus dan maraknya modus korupsi.

Sekedar catatan, pada kuartal III-2018, PLN merugi hingga Rp 18,46 triliun dengan alasan klise akibat peningkatan beban operasi, terutama selisih nilai tukar. Saat itu Sofyan Basir selaku orang nomor satu di PLN mengklaim arus kas perseroan masih kuat kendati menderita kerugian yang sangat besar. Ironisnya, Sofyan mengklaim bila kerugian ini hanyalah masalah pembukuan, bukan secara operasional.

Pemerintahan yang akan datang harus membuat kebijakan ketenagalistrikan yang bebas korupsi dan bisa lebih terpadu antara pusat dan daerah. Juga perlunya terobosan untuk membangun dan berinovasi terkait dengan infrastruktur pembangkit listrik yang melibatkan sebanyak-banyaknya kontraktor dan komponen lokal.

Presiden RI mendatang mesti membebaskan pengelola BUMN dari kepentingan politik. Sebagai sosok profesional, direksi BUMN tentunya tidak sanggup menerima tekanan dari teritori politis.

Sosok direksi BUMN harus profesional yang mampu mempertahankan hakekat jati diri kaum profesional. Sosok profesional murni semacam itu tidak tunduk dalam teritori politis. Karena kekayaan atau aset utama seorang profesional adalah kredibilitas., yakni segala tindakan dan keputusan yang diambil benar-benar bisa dipertanggungjawabkan.

Selama ini Direksi BUMN sektor energi terus dilanda dilematika terkait dengan masalah operasional perusahaan yang selalu beririsan dengan persoalan hukum. Setiap waktu direksi BUMN energi dan jajarannya bisa terjerat oleh perkara hukum. Inilah yang menyebabkan direksi PLN selalu cemas dan gelisah karena para teknisi di PLN sering terancam persoalan hukum. Pada beberapa aktivitas pembangunan pembangkit, teknisi PLN cenderung dinilai bersalah oleh penegak hukum. Salah satu contohnya adalah proses pergantian mesin pembangkit yang menurut teknisi di PLN harus diganti, namun dipersoalkan oleh penegak hukum.

Selama ini proses rekrutmen direksi dan komisaris BUMN bersifat amorfik atau belum memiliki pola yang baik. Pemerintah lebih suka merekrut pengelola BUMN hasil dari penangkaran politik. Tak mengherankan jika direksi dan komisaris BUMN selama ini adalah mereka yang tempo hari menjadi penyokong utama kampanye pemilu, lalu mendapatkan balas budi.

Penangkaran politik bisa menjadi preseden buruk bagi terwujudnya profesionalitas dan akuntabilitas di BUMN. Mekanisme uji kepatutan dan kelayakan seperti yang tertuang dalam regulasi hanya sekedar basa-basi alias formalitas belaka.

Sebenarnya, ketentuan tentang rekrutmen direksi BUMN telah diatur pada Pasal 16 UU No. 13 / 2003 tentang BUMN. Pertama, anggota direksi diangkat berdasarkan pertimbangan keahlian, integritas, kepemimpinan, pengalaman, jujur, perilaku yang baik, serta dedikasi yang tinggi untuk memajukan dan mengembangkan Persero. Kedua, pengangkatan anggota direksi dilakukan melalui mekanisme uji kelayakan.

Ketiga, calon anggota direksi yang telah dinyatakan lulus uji kelayakan wajib menandatangani kontrak manajemen sebelum ditetapkan pengangkatan sebagai anggota direksi.

Dalam penjelasan Pasal 16 UU tersebut antara lain disebutkan, untuk memperoleh calon-calon anggota direksi yang terbaik, diperlukan seleksi melalui uji kelayakan yang dilakukan secara transparan, profesional, mandiri dan dapat dipertanggungjawabkan.

Calon direksi kemampuannya diukur dengan metode balanced scorecard. Penilaian kinerja calon direksi BUMN mendasarkan pada pendekatan penilaian organisasi/ perusahaan dengan metode atau teknik balanced scorecard. Yang dimaksud balanced scorecard adalah sederet tolok ukur kinerja yang terintegrasi dan mendukung strategi perusahaan secara keseluruhan. Metode pengukuran ini mencakup empat aspek pengukuran kinerja, yaitu aspek keuangan, konsumen/pelanggan, proses bisnis internal dan aspek pertumbuhan dan pembelajaran SDM. Pengisian hasil penilaian kinerja di atas berikut peringkat dan skala nilai peringkat yang digunakan.

Diharapkan pemerintahan baru bisa mengubah kebijakan bahwa masalah ketenagalistrikan tidak lagi dipikul PLN seluruhnya. Kini PLN ibarat pasien yang tidak mau mengakui bahwa dirinya sakit. Padahal mesti harus segera dirawat secara intensif. Hal yang perlu diperhatikan bahwa dokter yang menangani PLN hendaknya jangan bekerja dengan keinginannya sendiri-sendiri alias tidak terkoordinasi.

Pentingnya sosok direksi PLN yang bisa membaca harapan rakyat luas tentang ketenagalistrikan. Rakyat berharap terwujudnya energi listrik yang ideal dalam arti pasokan cukup, mutu bagus dan harganya wajar.

Komitmen pembangunan pembangkit listrik baru hendaknya jangan dilandasi dengan situasi yang seolah-olah masuk tahap darurat sehingga serba tergesa-gesa. Akibatnya, pilihan teknologi, dampak lingkungan dan skema pembiayaan tidak tertangani secara optimal.

Hal itu bisa mendatangkan persoalan yang sangat rumit dan ongkos yang sangat mahal pada kemudian hari. Selain itu, harus diingatkan pula bahwa pola lama ini selalu membuka modus korupsi yang bisa mengintai siapapun bila kondisinya seperti ini.♦

Totok Siswantara
PengkajI Transformasi Teknologi dan Infrastruktur

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×