Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi
Seorang yang sinis suatu ketika berkata kepada G.K. Chesterton, novelis dan esais Inggris, "Berbahagialah orang yang tidak mengharapkan apa pun, karena dia tidak akan kecewa." Apakah jawaban Chesterton? "Berbahagialah orang yang tidak mengharapkan apapun, karena dia akan menikmati segala sesuatu."
Itulah sepenggal kisah yang dituliskan Jason Zweig sebagai komentar dalam bab ketiga buku legendaris The Intelligent Investor karya Benjamin Graham.
Komentar Jason juga termuat di buku itu. Tampaknya ia hendak menyuguhkan pandangan yang menenteramkan investor yang selalu berhadapan dengan pasang-surut harga saham di pasar, bahwa harapan memang perlu disesuaikan dengan realitas.
Adapun pasang-surut dalam berinvestasi di pasar modal adalah hal yang umum berlaku. Bagi para trader maupun investor, pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tahun ini pun dapat membuat bimbang bila mereka tidak sanggup untuk bersikap seperti yang dikatakan Chesterton, yakni tidak mengharapkan apa pun, tapi menikmati segala sesuatu. Di awal tahun IHSG berada di 6.366,08, tapi pada pertengahan tahun, yakni 3 Juli 2018, menurun drastis ke 5.663,64. Walaupun kemudian dalam beberapa bulan terakhir ini kembali menguat dan beberapa analis memprediksi, IHSG akan melewati 6.000 pada akhir tahun 2018.
Pada awal tahun 2018 sempat timbul banyak kekhawatiran akan munculnya krisis sepuluh tahunanyang sebelumnya terjadi pada 2008 dan 1998. Orang jadi takut berinvestasi, karena mewaspadai risiko yang bakal muncul. Tahun 2018 akan segera berakhir dan sejauh ini kondisi perekonomian di Tanah Air cukup kondusif untuk berinvestasi. Nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) selama beberapa pekan belakangan terbilang stabil dan data fundamental ekonomi kita masih bagus. Saham-saham bluechips dengan market cap yang besar diprediksi banyak kalangan akan menguat kembali, menerbitkan harapan bagi investor.
Investasi apapun, tak hanya saham, mengandung risiko. Namun, selama ini, masyarakat tampaknya masih agak menjauhi saham, dibuktikan dengan masih sedikitnya jumlah investor domestik bila dibandingkan jumlah penduduk secara keseluruhan. Banyak yang lebih memilih berinvestasi dengan emas atau properti. Padahal, orang yang sukses secara finansial dari saham dan bisa dijadikan teladan atau guru itu ada. Nama Warren Buffett mungkin sudah pernah kita dengar, atau di Indonesia Lo Kheng Hong.
Nama-nama yang saya sebut di atas tidak hidup di menara gading. Kadang mereka tampil di publik, dan bahkan portofolio yang merekam keberhasilan mereka dalam berinvestasi saham ada yang disajikan transparan. Ketidakmauan banyak orang berinvestasi di saham dengan demikian dapat diasumsikan lahir dari ketidaktahuan dan takut pada risiko yang muncul. Sifat dasar manusia memang demikian: takut dan khawatir sesuatu yang tidak diketahui.
Peran guru
Untuk menepis ketakutan, juga mewaspadai atau memperkecil risiko, tentu ada yang harus dilakukan, yaitu memperbanyak pengetahuan tentang saham. Dari manakah pengetahuan itu diperoleh? Salah satunya lewat guru.
Sejak diluncurkan 12 November 2015 oleh Wakil Presiden Republik Indonesia Muhammad Jusuf Kalla, kampanye atau gerakan Yuk Nabung Saham tampaknya mendapat respons positif di masyarakat. Di situs web Yuk Nabung Saham (http://yuknabungsaham.idx.co.id/about-yns) menyebutkan, di September 2017 jumlah investor di Indonesia meningkat 16,26%: dari 535.994 orang (pada Desember 2016) menjadi 600.849 orang (pada September 2017). Baru-baru ini, Harian KONTAN (13/11/2018) merilis berita bahwa jumlah investor saham mencapai 820.000 orang per Oktober 2018.
Tingginya pertumbuhan jumlah investor mestinya mengikis sikap masyarakat yang selama ini menjauhi saham. Di dunia pendidikan, pembelajaran tentang investasi tampak perlu lebih gencar. Selama ini, murid atau siswa sudah cukup sering mendapat pengajaran tentang pentingnya menabung.
Namun, menabung saham merupakan hal berbeda. Guru perlu memahami, bahwa kegiatan menabung uang yang selama ini dilakukan dapat membuat uang mengalami inflasi atau penurunan nilai pada masa depan. Berbeda dengan saham, yang bila ditabung pada masa kini memiliki peluang besar untuk mengalami kenaikan nilai pada masa depan.
Bila guru di berbagai tingkat satuan pendidikan memiliki pemahaman, dan tentunya pengalaman, yang baik tentang dunia investasi, maka pembelajaran dengan tema aktivitas ekonomi di masyarakat dapat dimodifikasi. Kurikulum pendidikan kita memberi ruang bagi interpretasi guru terhadap model atau kegiatan belajar yang dapat dikemas untuk mencapai standar kompetensi yang diharapkan.
Lalu, kalau anak memang perlu melek investasi, pertanyaannya: sejak umur berapa anak mulai diajari? Menurut analis saham Teguh Hidayat di Kompas.com (21/04/2017), anak bisa diperkenalkan pada investasi saham sejak usia enam tahun walaupun pada kenyataannya lebih mudah dipraktikkan mulai usia sembilan tahun. Menurut Teguh, berinvestasi di saham dapat dipahami bila anak mulai paham konsep matematika sederhana seperti tambah, kurang, kali, dan bagi.
Risza Bambang, Perencana Keuangan One Shildt Financial Planning, mengatakan pentingnya pembelajaran investasi untuk anak kepada KONTAN (17/11/2016). Memahami investasi bisa membuat anak dapat ... mempersiapkan tujuan keuangan masa depan yang sesuai dengan profil, kebutuhan, dan kondisi keuangan.
Anak yang memahami investasi akan jadi terbiasa menabung bila diberi uang, karena ia berharap apa yang dia tabung dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan di kemudian hari. Bila nanti anak itu sudah bekerja, kesadarannya berinvestasi akan membuatnya memprioritaskan untuk menabung dan berinvestasi setelah menerima gaji, tak langsung menghabiskannya. Kesadaran berinvestasi juga membuat anak lebih visioner, memikirkan hari depan. Hidupnya pun sederhana karena anak-anak yang melek investasi akan memikirkan fungsi ketimbang gengsi dalam memperoleh atau memiliki barang-barang konsumsi yang nilainya selalu menurun seperti mobil atau beragam gadget.
Itulah sederet manfaat positif dari berinvestasi. Kalau direnungkan, itu semua juga berhubungan dengan pembentukan karakter anak, yakni menjadi lebih cerdas dan bijak dalam menggunakan uang. Bukankah kurikulum pendidikan kita juga berorientasi pada pembentukan karakter? Karena itulah, sebelum anak atau murid melek investasi, guru perlu memulainya terlebih dahulu. Ke depan, guru yang melek investasi akan melahirkan generasi yang lebih siap menghadapi berbagai tantangan dan perubahan zaman.
Selamat Hari Guru.
Sidik Nugroho
Guru, Penulis Lepas, dan Praktisi Pasar Modal
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News