kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45910,41   -13,08   -1.42%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

GVC dan Kemitraan Indonesia-Uni Eropa


Sabtu, 20 Februari 2021 / 23:03 WIB
GVC dan Kemitraan Indonesia-Uni Eropa


Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - Tahun 2021 merupakan tahun strategis dalam peningkatan rantai nilai global atau global value chain (GVC) yang terkait erat dengan aspek perdagangan barang dan jasa, serta investasi Indonesia. Karena pada tahun 2021 inilah diharapkan perundingan Kesepakatan Kerjasama Ekonomi Indonesia-Uni Eropa atau Indonesia European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA) tuntas.

Perundingan IEU-CEPA sudah dilaksanakan sebanyak sembilan putaran. Lantaran Covid-19, putaran ke-10 tertunda dan kedua pihak berunding intersesi secara virtual pada 2020. Tampaknya, perundingan akan tancap gas menyelesaikan negosiasi yang tertunda.

Laporan terbaru Global Trade UpdateUNCTAD (The United Nations Conference on Trade and Development) memproyeksikan, kuartal I2021 terjadi perlambatan perekonomian global. Perdagangan barang turun 1,5% dibandingkan dengan kuartal IV2020 serta penurunan untuk perdagangan jasa juga turun 7% ketimbang kuartal IV2020.

UNCTAD menyoroti kekhawatiran akan pandemi Covid-19 yang terus berlanjut bisa menyebabkan rebound perdagangan yang lebih rendah dalam beberapa bulan mendatang. Pandemi Covid-19 juga sudah memporakporandakan semua elemen penghidupan manusia hampir di seluruh dunia.

Berdasarkan beberapa informasi, Indonesia dan Uni Eropa memiliki keunggulan komparatif yang berbeda. Produk yang berasal dari Uni Eropa biasanya mempunyai segmentasi pasar yang berbeda karena umumnya menyasar kelas menengah atas. Produk Indonesia masih dihela bidang sumber daya alam, seperti produk perkebunan dan mineral. Sedangkan Uni Eropa lebih ke arah produk pertambangan, jasa, dan peternakan.

Lantaran itu, input produksi dari negara Uni Eropa yang lebih murah seharusnya lebih menguntungkan sektor pertanian dan perkebunan Indonesia. Indonesia impor dari Uni Eropa untuk pengembangan industri dalam negeri untuk produk, seperti kedelai, gandum, serta susu (CSIS dan Kemdag, 2020). Timbul pertanyaan, bagaimana CEPA dapat membantu proses tersebut, dan bagaimana perspektif GVC yang terkait erat dengan aspek perdagangan dan investasi?

Mengelola isu strategis

Duta Besar Uni Eropa Vincent Piket beberapa waktu lalu menyatakan, IEU-CEPA bisa menjadi alat untuk pemulihan ekonomi ataupun pertumbuhan ekonomi Indonesia pada masa depan, dan memberikan pertumbuhan tambahan untuk nilai perdagangan hingga 5 miliar yang setara Rp 85 triliun. Karena Uni Eropa merupakan mitra dagang terbesar Indonesia keempat, dan Indonesia merupakan mitra dagang Uni Eropa terbesar ke-33.

Data yang penulis himpun, tercatat total perdagangan Indonesia dengan Uni Eropa pada 2019 mencapai US$ 26,9 miliar, dengan nilai ekspor Indonesia mencapai US$ 14,5 miliar dan impor sebesar US$ 12,4 miliar. Sementara nilai investasi Uni Eropa di Indonesia tercatat senilai US$ 2,6 miliar pada 2019. Namun, terjadi penurunan nilai ekspor year on year sebesar 11% dari US$ 12,03 miliar (JanuariOktober 2019) menjadi US$ 10,67 miliar (JanuariOktober 2020).

Secara umum, neraca perdagangan Indonesia sepanjang tahun 2020 mengalami surplus US$ 21,74 miliar, didukung oleh total nilai ekspor US$ 163,31 miliar dan total nilai impor US$ 141,57 miliar. Total ekspor sepanjang 2020 negatif 2,61%, tetapi impor kontraksi lebih dalam sebesar 17,34%.

Secara kumulatif, nilai ekspor tahunan Indonesia pada 2020 mencapai US$163,31 miliar atau menurun 2,61% dibanding 2019 sebesar US$ 167,68 miliar. Sehingga secara tahunan, nilai impor 2020 mencapai US$ 141,57 miliar atau menurun 17,34% dibanding 2019 yang sebesar US$ 171,28 miliar. Ini karena kinerja ekspor didukung kenaikan permintaan dan harga komoditas andalan Indonesia, seperti batubara dan minyak sawit.

Menurut penulis, ada tiga isu strategis yang mencuat yang perlu dikelola Indonesia dalam perundingan kemitraan dagang dengan Uni Eropa yang akan berlangsung minggu depan.

Pertama, Indonesia perlu mengangkat isu akses pasar produk kelapa sawit ke Eropa yang mengalami berbagai tantangan di pasar Eropa. Antara lain kebijakan Renewable Energy Directive (RED) II, bea anti-subsidi terhadap biodiesel Indonesia, pengecualian dari insentif pajak untuk bahan bakar alam di Prancis, dan kampanye negatif terhadap produk sawit.

Mayoritas negara yang tergabung di Uni Eropa menuntut pemberlakuan resolusi sawit. Untuk mengatasinya, dibutuhkan kolaborasi Kementerian Luar Negeri, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Perindustrian untuk melakukan soft diplomacy kepada beberapa negara Uni Eropa yang dekat dengan Indonesia. Sebagai contoh, Slovakia, Polandia, Hungaria, dan Chechnya.

Kedua, kepentingan Uni Eropa dalam konflik nikel tidak bisa dilepaskan dari kebijakannya yang ingin mendapatkan akses seluas-luasnya terhadap sumber bahan baku industri, khususnya mineral. Oleh karena itu, Uni Eropa berharap penghapusan segala bentuk pembatasan ekspor, termasuk menghapuskan segala bentuk bea ekspor.

Ketiga, peningkatan partisipasi GVC dan peningkatan akses sertifikasi dan teknologi dalam rangka meningkatkan daya saing untuk menghadapi Uni Eropa. Artinya, produk Indonesia yang sudah dilakukan uji mutu produk dan standardisasi harus diterima oleh Uni Eropa vice versa hasil pengujian dan standardisasi yang telah dilakukan Uni Eropa. Isu ini menjadi penting untuk mengurangi hambatan nontarif antara Indonesia dan negara di Eropa.

Guna meningkatkan daya saing dalam pasar global, maka perdagangan dan investasi wajib dilihat sebagai satu kesatuan yang esensial. Penurunan hambatan perdagangan tanpa peningkatan efisiensi sektor jasa tidak akan memberikan manfaat yang maksimal pada perekonomian. Transformasi ekonomi hanya akan tercapai apabila Indonesia berhasil meningkatkan partisipasi global value chain dan kemitraan dagang Indonesia dan UE.

Kebijakan yang terkait dengan integrasi gobal value chain di Indonesia masih terbatas. Contoh kebijakan kemitraan bisnis dengan perusahaan multinasional dan eksportir besar, dan transfer teknologi dari perusahaan multinasional. Maka diperlukan soft diplomacy untuk membuka akses pasar dan promosi ekspor Indonesia kepada pasar tersebut.

Kemudian, terbitnya aturan turunan Undang-Undang Cipta Kerja dalam bentuk 45 peraturan pemerintah dan empat peraturan presiden yang di antaranya mengupas perdagangan, investasi, kerjasama ekonomi internasional, serta perpajakan bisa menjadi game changer pemulihan perekonomian nasional. Dan, IEU CEPA dapat memberikan hasil yang optimal. Oleh karena itu, perundingan IEU-CEPA diharapkan menempatkan Indonesia pada posisi yang lebih baik dalam rantai pasok global.

Penulis : Maruhum Batubara

Pegawai Kementerian PPN/Bappenas

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Terpopuler
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×