kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45924,65   -6,71   -0.72%
  • EMAS1.319.000 -0,08%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Haji dan kosmopolitanisme peradaban


Jumat, 24 Agustus 2018 / 16:45 WIB
Haji dan kosmopolitanisme peradaban


Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi

Haji merupakan ibadah yang mempersatukan umat Islam dalam satu poros yang terpusat: Kabah. Kabah menjadi simbol bersatunya ragam etnis, budaya, negara, yang selama ini terpencar. Dalam Kabah inilah umat Islam mencipta satu komitmen untuk beribadah kepada Allah yang Esa, dan yang lain dianggap tiada.

Bersatunya visi, misi, dan komitmen dalam ritual haji menjadi bukti bahwa peradaban Islam dilihat secara fisikal saja telah membuktikan kosmopolitanisme peradabannya di dunia. Dan pasti, kosmopolitanisme peradaban dicetak dalam universalitas ajaran yang tertancap dalam Al-Quran dan Al-Hadis.

Spirit kosmopolitanisme peradaban merupakan pemantik bagi umat Islam untuk menjadi pemain inti dalam penciptaan peradaban sebagaimana telah dijalankan para tokoh Islam di masa keemasan. Dan, haji merupakan pertemuan kosmopolit yang menggugah spirit tersebut.

Bagi Gus Dur, untuk menjadi pemain inti tersebut, umat Islam harus memahami dan menghayati watak universalisme Islam dan kosmopolitanisme peradaban Islam. Dalam memahami universalisme Islam, ada lima jaminan dasar yang diberikan Islam kepada individu dan kelompok masyarakat. Kelima jaminan dasar itu tersebar dalam literatur hukum Islam (al-kutub al-fiqhiyyah), yakni jaminan dasar akan beberapa hal.

Pertama, keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum.

Kedua, keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa ada paksaan untuk berpindah agama.

Ketiga, keselamatan keluarga dan keturunan.

Keempat, keselamatan harta benda dan milik pribadi diluar prosedur hukum.

Kelima, keselamatan profesi.

Secara keseluruhan, kelima jaminan dasar tersebut menampilkan universalitas pandangan hidup yang utuh dan bulat. Pemerintah berdasarkan hukum, persamaan derajat dan sikap tenggang rasa terhadap perbedaan pandangan adalah unsur-unsur utama kemanusiaan, dan dengan demikian menampilkan universalitas ajaran Islam.

Namun, kelima jaminan dasar tersebut hanya tercipta dalam kerangka teoritis belaka. Belum bisa berfungsi kalau tidak didukung dengan spirit kosmopolitanisme peradaban Islam.

Watak kosmopolitanisme peradaban Islam dapat kita baca dari spirit peradaban Madinah yang dibangun Nabi Muhammad. Di Madinah inilah Muhammad menjadikan Madinah sebagai kota kosmopolitan yang serba leluasa menyerap unsur peradaban lain yang bisa membuka cakrawala pemikiran Islam. Islam begitu berani menyerap sisa-sisa warisan peradaban Yunani Kuno yang berupa Hellenisme, peradaban Romawi, peradaban Mesir, peradaban Persia, dan bahkan peradaban anak benua India dan peradaban China.

Kosmopolitanisme peradaban Islam muncul dalam sejumlah unsur dominan, seperti hilangnya batasan etnis, kuatnya pluralitas budaya, dan heteroginitas politik. Kosmopolitanisme itu bahkan menampakkan diri dalam unsur dominan yang menakjubkan, yakni kehidupan beragama yang eklektik selama berabad-abad.

Dalam konteks inilah, warisan nabi dalam penciptaan peradaban Madinah menjadi dasar utama lahirnya kosmopolitanisme peradaban Islam.

Tak salah bila kemudian Robert N Bellah, sosiolog Barat terkemuka, menyebut Madinah sebagai kota modern, bahkan sangat modern untuk ukuran zaman waktu itu. Karena kondisi sosiologis-geografis waktu itu, struktur Timur Tengah belum mampu menopang struktur kosmopolitan Madinah yang ditampilkan Muhammad. Tak salah juga kalau sejarawan agung Arnold J. Toynbee menyebut peradaban Islam sebagai oikumene (peradilan dunia) Islam. Oikumene Islam ini, lanjut Toynbee, adalah salah satu di antara enam belas oikumene yang menguasai dunia.

Jejak kosmopolitanisme peradaban Islam dalam membentuk pencerahan di dunia Timur Tengah menjadi jejak utama lahirnya pencerahan di Barat. Watak-watak Islam yang terbuka, toleran, moderat, dan menghargai keragaman umat manusia, menjadi ciri utama umat Islam dalam merumuskan sebuah peradaban agung.

Minoritas kreatif

Lahirlah para arsitek masa depan Islam yang mencipta ragam keilmuan yang terbentang lebar: ada fisikawan, astronom, dokter, filsuf, dan sebagainya. Uniknya, disamping mereka menguasai ragam keilmuan yang terbentang luas, para intelegensia Muslim juga menjadi agamawan yang hafal Al-Quran dan Al-Hadis, ahli tafsir, ahli fiqih, dan bahkan ahli tasawuf. Lihat saja di sana ada Al-Ghazali, Al-Kindi, Ibnu Sina, Ibnu Rusd, dan sebagainya.

Jalan kosmopolitanisme peradaban Islam yang diwariskan Nabi Muhammad dan para pemikir Islam harus diteruskan sepanjang masa.

Umat Islam Indonesia harus berperan aktif mewujudkan jejak tersebut, yakni dengan mengusung spirit keterbukaan lintas peradaban. Dalam spirit inilah kita bisa menjadikan momentum dan makna haji dalam penciptaan peradaban baru yang membuka lembaran pencerahan di dunia Islam.

Sejak ihram, tawaf, sai, melontar jumrah, mabit di Mina dan Muzdalifah, dan wukuf di Arafah, adalah jejak-jejak kosmopolitanisme peradaban Islam yang diwariskan oleh Nabi Ibrahim dan Ismail. Warisan ini kemudian disempurnakan oleh Nabi Muhammad.

Dalam latar sejarah intelegensia Muslim Indonesia, dalam pengamatan Yudi Latif (2006), para haji Nusantara mampu membentuk koloni-koloni politik yang dikomandoni oleh Syekh Khotib Minangkabau. Syekh Khotib inilah yang mengilhami gerakan Ahmad Dahlan, Hasyim Asyari, Agus Salim (keponakannya sendiri), Haji Djambek, dan para agamawan di Padang.

Berdasarkan jejak-jejak keilmuan di Tanah Suci, para haji mampu mencipta peradaban kosmopolitan baru di Indonesia. Dari tangan dingin para haji itu, lahirlah para intelektual kritis yang mencipta tatanan baru ke-Indonesia-an. Sehingga pelan tapi pasti, Indonesia mampu keluar dari jeratan kolonialisme dan imprialisme Belanda dan Jepang.

Jejak kosmopolitanisme dalam ritualitas ajaran haji, dapat dijadikan sebagai starting point dalam penciptaan pencerahan baru yang kritis, progresif, dan visioner.

Dari pencerahan inilah akan lahir sosok-sosok masa depan, yang dalam bahasa Arnold J. Toynbee dikatakan sebagai minoritas kreatif. Kaum minoritas kreatif inilah, lanjut Toynbee, yang nantinya bisa mengubah jarum sejarah peradaban dunia.

Di balik jejak-jejak hati itulah, umat Islam akan mampu menangkap pesan pencerahan yang bisa mengubah peradaban yang suram dan kelam menuju peradaban yang penuh nuansa dan bernilai kebajikan.•

Muhammadun
Pengajar STAI Sunan Pandanaran Yogyakarta.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Terpopuler
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×