Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi
Bisnis yang bangkrut belum tentu dijual murah. Sejarah mencatat penjualan unit bisnis bangkrut senilai US$ 4,5 miliar di tahun 2009 (Nilainya saat itu setara Rp 50 triliun). Nortel, perusahaan telepon asal Kanada berutang US$ 7 miliar dan mengajukan bangkrut. Unit Nortel dibeli Rockstar Bidco. Apa yang membuat mahal? Nortel ternyata punya 6.000 paten terkait ponsel.
Tahun 2014, Google membeli Motorola Mobility senilai US$ 12,5 miliar dan menjual lagi ke Lenovo hanya US$ 2,9 miliar. Kesepakatan ini dianggap sukses besar, walau rugi hampir US$ 10 miliar (Rp 130 triliun).
Google rupanya mengincar 17.000 paten Motorola. Satu buah ponsel pintar atau smartphone melibatkan 250.000 paten teknologi mulai dari sensor retina, layar sentuh, geser layar, dan desain lainnya. Jika perusahaan ponsel akan memproduksi, mereka harus membayar mahal lisensi atas paten tersebut.
Perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) dalam bentuk hak paten selain melindungi plagiat dari pihak lain, dapat juga menjadi sumber penghasilan. Sayangnya, di Indonesia, pengajuan maupun pengakuan atas hak paten masih sangat rendah.
Tingkat literasi Indonesia yang rendah mengakibatkan minat menulis rendah. Otomatis ini membuat daya riset Indonesia sangat rendah. Kreativitas inovasi Indonesia ditilik dari Global Innovation Index 2017 berada pada peringkat 87 dari 127 negara. Sebagai perbandingan, peringkat Malaysia di urutan 37 dan Vietnam di posisi 47. Dari segi daya saing, sesuai Global Competitiveness Index 2017-2018, Indonesia duduk di posisi 36 dari 138 negara.
Untuk pengajuan paten Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) secara global di 2017, tercatat ada 3 juta usulan. Indonesia sendiri hanya ada permohonan 10.000 paten, yakni 9.000-an diajukan produsen global luar negeri. Artinya, hanya ada 1.000-an paten yang diajukan oleh entitas lokal Indonesia.
Sebagai perbandingan, permohonan paten di India ada 300.000 per tahun dan China ada 1,5 juta paten. Dari jumlah pemohon paten di China dari pebisnis lokal mencapai 50% .
Ada dua penyebab rendahnya paten Indonesia. Pertama, kesadaran masyarakat untuk mengurus paten atas karyanya masih rendah. Kedua, minimnya riset teknologi sehingga tidak ada paten yang bisa didaftarkan. Dosen dan peneliti di kampus belum fokus ke riset.
Peringkat universitas asal Indonesia dari data Times Higher Education, Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas Indonesia (UI) menempati urutan 201-250 se-Asia. Sedangkan di dunia, ITB menempati urutan 801-1.000. Sementara UI menempati 601-800.
Negara tetangga Singapura menempatkan National University of Singapore urutan 23 dan Nanyang Technology of University di posisi 51. Peringkat universitas ditentukan jumlah riset dan publikasi jurnal ilmiah.
Pemerintah menyampaikan dana riset Indonesia mencapai Rp 26 triliun yang tersebar di berbagai Satuan Kerja (Satker). Idealnya, hasil riset menjadi bahan inovasi dan bisa diterapkan dalam industri. Dari anggaran riset Rp 26 triliun, menurut Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti), yang menjadi riset inovasi hanya Rp 10,9 triliun.
Sementara itu, jumlah dosen yang meneliti hanya 40% dari total dosen. Alasannya, kesulitan mendapatkan anggaran dan minimnya imbalan untuk peneliti. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 37/PMK.02/2018 tentang Standar Biaya Umum menetapkan upah per bulan bagi koordinator peneliti Rp 420.000, peneliti Rp 300.000, pengolah data Rp 1,54 juta. Angka imbalan ini cukup minim, ditambah lagi beban Surat Pertanggung Jawaban (SPJ) atas dana riset dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Perlakuan pajak atas dana riset bervariasi di berbagai negara juga berbeda. Malaysia memberi insentif pajak untuk riset sebesar 100% dari biaya riset. Untuk mendapat insentif, wajib pajak harus mendapatkan persetujuan pemerintah federal sebelum proyek riset dilaksanakan. Insentif lainnya dalam bentuk pengurangan pajak terkait investasi (Investment Tax Allowance/ITA).
Singapura memberi super deduction tax berupa 250% dari biaya atas riset yang berbasis di Singapura dan 300% atas riset di luar Singapura. Penghematan pajak bisa sampai 51% dari tarif normal. Pengurangan ini diberikan di akhir masa pajak, setelah riset selesai. Pengeluaran yang bisa dikenakan biaya adalah gaji peneliti, material dan peralatan untuk riset, serta diluar pembelian mesin dan gedung.
Jepang memberikan pengurangan pajak dalam kategori berbasis volume, dan riset spesial. Untuk usaha mikro dengan modal maksimal JP 100 juta, mendapat pengurangan pajak 6%-14% . Sedang perusahaan besar bisa mendapat 12%-14% dari kewajiban pajak.
Pengurangan tambahan untuk riset spesial berupa pengurangan pajak, 30% untuk riset kerjasama dengan badan pemerintah dan universitas negeri dan selain itu hanya 20%.
Tanpa riset, tidak akan ada pengajuan paten. Problem kesulitan anggaran riset dan minimnya imbalan peneliti, bisa diatasi dengan insentif pajak atas pembiayaan riset. Dengan dana riset dari swasta, peneliti digaji lebih mahal dan pertanggungjawaban dana ada di pihak pemberi dana riset.
Insentif riset bisa mencontoh Singapura, dengan multiply deductible cost (biaya yang dapat dikurangkan) dari laba. Penggandaan ini sebagai gimmick bagi swasta yang mendanai riset, dengan fokus riset untuk paten.
Contohnya, perusahaan mengeluarkan Rp 1 miliar untuk bantuan riset, dengan faktor multiply 2 kali, negara mengakui biaya riset Rp 2 miliar. Jika tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan 25%, maka insentif pajak 25% dikali Rp 1 miliar atau Rp 250 juta. Faktor multiply bisa lebih besar jika bekerjasama dengan riset perguruan tinggi negeri dan badan pemerintah.
Untuk mencegah kecurangan, riset harus didaftarkan di badan riset atau Kemristekdikti. Insentif pajak bisa diberikan jika sudah ada permohonan hak paten. Ini gabungan cara Malaysia dan Singapura, dengan adanya pendaftaran riset dan insentif diberikan di akhir.
Apakah negara rugi? Karena negara sudah memberi insentif, maka negara berhak memiliki bagian atas paten sebesar 10%-20% . Pada masa mendatang, atas hak paten ini, negara berpeluang mendapat royalti paten.
Agar insentif pajak biaya riset tidak sia-sia, maka riset yang diberi insentif khusus bidang teknologi informasi, kecerdasan buatan, analisis big data terkait revolusi industri 4.0. Fokus lain bisa energi terbarukan, produksi pangan, dan produk kesehatan. Dengan dana riset swasta, diharapkan universitas dan badan riset pemerintah lebih terpacu meneliti untuk memperoleh hak paten. Akhirnya, industri dan produksi barang dalam negeri naik pesat.♦
Anandita Budi Suryana
Magister Teknik dan Bekerja di Direktorat Jenderal Pajak
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News