kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45926,73   11,38   1.24%
  • EMAS1.325.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Hambatan perpanjangan izin Freeport


Jumat, 31 Agustus 2018 / 16:27 WIB
Hambatan perpanjangan izin Freeport


Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi

Keberhasilan dalam head of agreetment (HoA) Freeport Indonesia masih menyisakan pekerjaan rumah bagi Pemerintah Indonesia sebagai pemegang saham mayoritas PT Freeport Indonesia dibawah komando PT Inalum. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya mengungkapkan sebanyak 48 sanksi lingkungan kepada Freeport Indonesia harus diselesaikan.

Jika tidak, akan mempengaruhi pemberian izin usaha pertambangan khusus (IUPK) selanjutnya. Sebab, penyelesaian masalah lingkungan merupakan salah satu syarat perpanjangan izin Freeport yang berlaku hingga 31 Juli 2018.

Dalam sejarahnya, Freeport kerap mengabaikan persoalan lingkungan hidup. Dalam catatan Jaringan Advokasi Tambang (Jantam), perusahaan ini pernah melakukan 22 kegiatan yang melanggar amdal. Seperti perluasan ukuran tambang terbuka Gresberg dari 410 ha menjadi 584 ha yang tidak tercantum pada amdal.

Sementara itu, hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2013-2015 menemukan enam pelanggaran izin lingkungan yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 185,58 triliun. Mulai dari penggunaan tanpa izin kawasan hutan lindung, pelaksanaan reklamasi yang tumpang tindih, kewajiban penempatan dana pasca tambang kepada pemerintah Indonesia dan penyebab paling besar adalah dampak pembuangan limbah operasional penambangan (tailing) di sungai, hutan, estuari dan kawasan laut.

Kegiatan usaha tambang merupakan kegiatan yang menimbulkan dampak penting bagi kelangsungan dan keberlangsungan makhluk hidup beserta ekosistemnya. Kegiatan usaha pertambangan umumnya bersifat destruktif, mendegradasi, dan mendeforestasi alam.

Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) pada ketentuan Pasal 23 ayat (1) huruf b menyatakan eksploitasi sumberdaya alam, baik yang terbarukan maupun tidak terbarukan wajib memiliki dokumen amdal. Dalam UUPPLH, amdal merupakan salah satu instrumen hukum lingkungan dalam bidang pencegahan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup.

Arti penting amdal bagi kegiatan usaha pertambangan adalah sebagai jaminan kegiatan usaha tersebut tidak menimbulkan dampak besar dan penting bagi lingkungan hidup dikemudian hari.

Permasalahan lingkungan yang membayangi perpanjangan izin pasca divestasi Freeport harus diselesaikan secepatnya. Pemerintah harus tegas dengan tetap berpijak pada konstitusi untuk menjamin pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan (lestari). Jangan sampai keberhasilan pemerintah memiliki saham mayoritas Freeport ternoda masalah lingkungan.

Wewenang ESDM

Pemerintah sendiri masih menginginkan PT Freeport membantu PT Inalum dalam mengelola pertambangan di kabupaten Mimika, terutama dalam hal tenaga ahli dan teknologi. Jika pemerintah menginginkan hal tersebut, maka penyelesaian masalah lingkungan yang menjerat Freeport harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum memperpanjang izin operasional Freeport yang akan habis pada 31 Juli 2018. Persyaratan lingkungan merupakan syarat wajib IUPK.

Namun, masalah yang menghadang kini ialah adanya tumpang tindih kewenangan antara Kementerian ESDM, Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup dan Pemerintah Daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 (UUPPLH), Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 (UU Minerba) dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 (UU Pemda).

Dari segi perizinan misalnya, izin pertambangan khusus (IUPK) Freeport merupakan kewenangan Pemerintah Pusat yang diterbitkan oleh Kementerian ESDM. Dengan demikian, pengawasan terhadap administrasi dan teknis pertambangan Freeport merupakan kewenangan Kementerian ESDM, bukan Pemerintah Provinsi Papua maupun Pemerintah Kabupaten Mimika. Walaupun secara geografis dan administratif lokasi pertambangan tersebut berada di daerahnya.

UU Pemda telah menarik semua kewenangan Pemerintah Daerah tersebut kepada Pemerintah Pusat. Sehingga apabila operasional pertambangan menimbulkan masalah lingkungan hidup, maka pemerintah daerah bisa saja lepas tangan dengan mengatakan bahwa itu adalah kewenangan menteri bukan pemda. Karena IUPK diterbitkan oleh menteri, maka menteri pulalah yang memiliki kewenangan mengawasi operasional pertambangan tersebut.

Walaupun UUPPLH dan UU Pemda pada bidang lingkungan hidup masih mengatur kewenangan untuk pencegahan, penanggulangan dan pemulihan pencemaran dan kerusakan lingkungan kepada pemda, tapi tidak serta-merta pemda dapat menegakkan hukum administrasi terhadap korporasi yang melanggar izin lingkungan dan/atau pencemaran atau perusakan lingkungan di wilayahnya.

Kenapa demikian? Sesuai dengan prinsip negara hukum berkenaan dengan pertanggungjawaban hukum dalam penggunaan wewenang, there is not authority without responbility (tidak ada kewenangan tanpa pertanggungjawaban). Setiap pemberian kewenangan kepada pejabat pemerintahan tertentu, tersirat di dalamnya pertanggungjawaban dari pejabat yang bersangkutan (Ridwan HR:105). Sederhananya, siapa yang berwenang menerbitkan izin, dia pula yang berwenang untuk mengawasi dan menjatuhkan sanksi.

Oleh sebab itu, penyelesaian masalah lingkungan yang menjerat Freeport sebelum memperpanjang izin Freeport harus dibarengi juga dengan niat untuk menyelesaikan sengkarut permasalahan tumpang tindih kewenangan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan terkait. Ini bisa menimbulkan ego sektoral antar kementerian dan pemda.

Untuk itu, pemerintah dan DPR RI harus melakukan harmonisasi dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur kewenangan di bidang sumberdaya mineral dan lingkungan hidup. Caranya adalah dengan merevisi peraturan perundang-undangan yang ada saat ini.

Sudah cukup kekeliruan dalam pengelolaan tambang Freeport merupakan dosa masa lalu. Mari sekarang kita menatap kedepan merancang arsitektur pengelolaan tambang yang demokratis. Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Yang tak hanya mengejar kepentingan keuntungan tetapi juga mengakomodir kepentingan publik melalui layanan publik.

Sejatinya, pengelolaan kekayaan alam Indonesia haruslah ditujukan sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat. Termasuk makmur dalam mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, yang merupakan hak konstitusional warga negara yang telah dijamin UUD 1945.•

Agung Hermansyah
Junior Partners Asa Law Firm Pekanbaru dan Alumnus FH Universitas Andalas

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×