| Editor: Tri Adi
Di tengah keseruan obrolan seputar kontestan pemilihan kepala daerah (pilkada), saat ini terselip sebuah isu yang panas: harga beras.
Para pembelanja beras mengeluhkan harga beras, terutama kategori medium, yang mahal. Kini, harga beras yang paling banyak disantap oleh masyarakat Indonesia ini sekitar Rp 11.000 per kilogram (kg). Bandingkan dengan harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp 9.450 per kg. Bisa dimengerti, kan, kalau para pembeli beras bersungut-sungut. Apalagi, di beberapa daerah harga sudah menapak kisaran
Rp 12.000 per kg.
Kebetulan atau tidak, gejolak harga beras kali ini berbarengan dengan suasana politik yang mulai hangat . Tahun ini ada 171 daerah menggelar pilkada dan tahun depan ada pemilihan presiden (pilpres). Tak ayal, sebagian orang mulai kasak-kusuk menyusun tuduhan bahwa kenaikan harga beras ini berkaitan dengan strategi politik pihak-pihak tertentu.
Ah, jelas, teori konspiratif semacam itu tak boleh kita telan mentah-mentah. Para pemain bisnis perberasan menampik spekulasi semacam itu. Menurut mereka, kenaikan harga beras saat ini benar-benar akibat kesenjangan antara pasokan dan permintaan. Volume beras medium yang beredar di pasar menyusut sehingga permintaan konsumen melebihi pasokan yang ada. Akibatnya, sesuai hukum pasar lawas, harga pun naik.
Mungkin sebagian orang berpikir bahwa kelangkaan beras di pasar saat ini bisa saja akibat dari aksi menimbun. Namun, tuduhan sadis tersebut bisa segera dipatahkan. Jika benar ada penimbunan bermotif profit, pada harga saat ini timbunan beras seharusnya sudah dilepas lagi ke pasar. Untung sudah lumayan.
Lagi pula, sesuai kriteria kandungan air beras medium maksimal 14%–15%, si beras tak bisa disimpan lama-lama. Semakin lama ditimbun di gudang tanpa teknologi memadai, mutu beras bakal kian menurun. Potensi untung bisa-bisa tergerus oleh penurunan harga jual akibat memburuknya kualitas beras.
Bukan hanya itu, menurut Zulkifly Rasyid, Ketua Koperasi Pedagang Beras Cipinang, sekarang para pedagang takut untuk menyimpan beras lama-lama. “Orang mau nyetok gabah saja takut karena ada satuan tugas (satgas)”, tutur dia. Intinya, kelangkaan pasokan beras saat ini bukan rekayasa.
Lalu apa, dong, yang membuat pemerintahan Joko Widodo–Jusuf Kalla seolah kecolongan, setelah sekitar 3 tahun terakhir nyaris tidak ada gejolak harga pangan?
Banyak kalangan, pengamat maupun pemain bisnis beras, menyebut biang kerok kenaikan harga saat ini adalah kesalahan data! Selama ini Kementerian Pertanian kerap menyampaikan bahwa persediaan beras nasional surplus. Bahkan, awal Desember 2017 ketika orang seru membahas badai-badai bernama bunga, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman bilang kita masih surplus 400.000 ton beras. Pasokan informasi dari Ragunan inilah yang diduga para pebisnis beras membuat pemerintah terlena sehingga tak mengantisipasi datang situasi ini secara memadai.
Nah, jika benar biang keroknya sekadar data yang tidak akurat, seharusnya problem laten ini bisa segera di atasi. Di zaman now ketika hampir semua tangan orang dewasa menggenggam ponsel yang terhubung dengan internet, pengumpulan data dan informasi pangan mestinya bukan sesuatu yang sulit.
Upaya ini mungkin lebih berguna daripada terus-menerus memata-matai konten hoaks.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News