kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45931,36   3,72   0.40%
  • EMAS1.320.000 -0,38%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Harga Gula di Tengah Gempuran Korona


Selasa, 31 Maret 2020 / 14:32 WIB
Harga Gula di Tengah Gempuran Korona
ILUSTRASI.


Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - Gempuran virus korona (Covid 19) telah menjadi bola liar yang berimbas pada mencuatnya kecemasan dan kegelisahan orang sejagad. Pemerintah sejumlah negara dan masyarakat internasional pun sepakat melakukan sinergi untuk bersama-sama memerangi wabah virus ganas yang berpotensi mematikan tersebut.

Semua kegiatan kini makin banyak dilakukan dari rumah. Mulai dari aktivitas bekerja, belajar, dan beribadah.

Walaupun demikian, semua pihak tetap harus mengantisipasi kemungkinan menurunnya pertumbuhan ekonomi akibat gembosnya sebagian besar roda perekonomian dan kemacetan mesin industri nasional. Kemungkinan munculnya orang miskin baru akibat pemutusan hubungan kerja (PHK) atau merumahkan karyawan untuk berhenti bekerja selama wabah virus korona masih bercokol, tentu membutuhkan langkah konkret dari pemerintah untuk mengatasi dan menangkal efek negatifnya.

Salah satu sektor yang terpengaruh keberadaan virus ganas tersebut adalah barang kebutuhan asal impor. Gula termasuk salah satu bahan kebutuhan pokok yang pemenuhan sebagian besar ketersediaan bahan bakunya berasal dari impor.

Meroketnya harga gula hingga kisaran Rp 17.000 per kilogram (kg) dalam kurun waktu sebulan belakangan ini telah membuat banyak orang terkejut dan membuat orang pusing. Ternyata potensi eskalasi harga gula masih terbuka sehubungan bercokolnya virus korona.

Hanya beberapa hari pasca-panen raya tebu, tetapi keheranan tertepis kalau dicermati dari fakta objektifnya saat semua gula milik produsen, baik yang berasal dari petani tebu maupun pabrikan, telah terjual habis. Lagi pula produksi dari hasil penggilingan tebu selama tahun 2019 hanya mencapai sekitar 2,22 juta ton. Adapun rencana impor 495.000 ton untuk menambal stok tampaknya hingga awal tahun 2020 tidak bisa terealisasi semuanya.

Manajemen stok

Kebutuhan gula konsumsi mencapai sekitar 2,82 juta ton setahun. Orang mudah membaca kalau masa kritis atau kemungkinan terjadinya kelangkaan stok gula di pasaran muncul pada 2 bulan sampai 2,5 bulan sebelum memasuki musim giling sebagian besar pabrik gula (PG) di Pulau Jawa. Produksi ini memanfaatkan bahan baku yang mengandalkan hasil pertanian tebu milik petani rakyat. Konsekuensi logisnya adalah fluktuasi harga jual gula berdampak sistemik terhadap animo petani dalam melakukan usaha pertanian tebu.

Kenaikan harga jual gula sejauh ini masih merupakan instrumen dinamis penggerak semangat petani untuk meningkatkan daya saing usaha taninya secara terprogram. Tugas negara mencakup formulasi keseimbangan agar harga di antara komoditas agribisnis tetap dalam batas-batas yang memberikan profit secara wajar kepada produsen sehingga mata rantai ekonomi pertanian diyakini bisa berlanjut.

Walaupun demikian, harga gula haruslah dilihat aspek keterjangkauan konsumen. Terutama dari sudut pandang kelompok berpendapatan rendah. Sudut pandang ini berguna untuk melihat kemampuan mereka agar dapat membeli gula dalam jumlah sesuai dengan kebutuhan.

Termasuk di dalamnya adalah kegiatan pengolahan pangan kelas rumah tangga. Berulang kali kenaikan harga gula terjadi sesaat, tetapi tidak juga membuat kita semua mampu melakukan antisipasi yang diikuti oleh keberanian kita untuk membuat perencanaan produksi dan impor secara akurat sejak awal.

Basis kalkulasi kebutuhan gula sudah jelas, yakni 11 kg per kapita per tahun. Dengan basis perhitungan tersebut, sehingga dengan capaian produksi pada angka tertentu akan mudah diprediksi kapan terjadi defisit. Pun dapat diukur berapa jumlah idealnya untuk keperluan pengamanan berbagai kebutuhan.

Impor gula juga bukanlah tindakan atau kebijakan yang tabu selama ini. Hanya saja memang perlu diatur secara ketat jumlah, jenis, dan waktu kedatangannya ke Indonesia.

Langkah tersebut menjadi begitu sensitif dalam manajemen stok gula, semenjak harga gula diserahkan penuh kepada mekanisme pasar. Bukankah pasar juga memiliki hukumnya sendiri saat membentuk harga? Tanpa manajemen stok yang kredibel, rasanya tidak mungkin bagi pemerintah untuk bisa mengendalikan harga gula di pasar ke arah maksimum harga eceran tertinggi (HET) atau ceiling price.

Upaya pengendalian harga gula hanya efektif apabila stok gula tersedia dan siap dilepas ketika diketahui terjadi lonjakan harga yang terjadi di lapangan. Tidak mungkin harga akan turun hanya berbekal imbauan dan edaran dari pemerintah. Manajemen stok penting untuk mengendalikan harga yang cenderung liar saat semua gula milik produsen terjual dan eks impor belum tiba.

Ketergantungan berlebihan

Terlepas dari ada tidaknya badai wabah virus korona, setiap lonjakan harga pangan, seperti gula, menjadi alarm untuk terus memacu kemampuan produksi dalam negeri. Sebab lonjakan harga pangan dapat menjadi cermin bagi pemerintah seputar pentingnya ekonomi yang lebih berlandaskan dan bertumpu pada pemanfaatan sumber daya lokal.

Ketergantungan secara berlebihan terhadap gula impor jelas akan sangat berbahaya bagi ketahanan nasional. Terutama apabila terjadi gangguan agroklimat di negara produsen gula, eksplosi hama, perubahan kurs atau nilai tukar valuta asing (valas) akibat krisis finansial global, dan gangguan dalam pengirimannya dari negara asal ke negara tujuan.

Seperti kita ketahui bersama, impor gula mentah (raw sugar) untuk pemenuhan kebutuhan bahan baku industri gula rafinasi yang produknya terbatas pada segmen industri minimal 3,0 juta ton setahun. Belum lagi, kebutuhan impor serupa yang dicadangkan untuk memenuhi gula konsumsi dan bahan baku industri monosodium glutamat (MSG). Sebagai gambaran kasar, Indonesia mengimpor sekitar 4 juta ton gula setiap tahunnya.

Impor memang jauh lebih mudah dilakukan dan lebih praktis untuk pemenuhan kebutuhan jangka pendek. Selama ada uang, bisa dibeli dari pabrikan di negara mana pun selama persyaratan teknis dan harga cocok. Sementara itu, hal yang jauh lebih sulit adalah membangun pabrik gula baru atau merevitalisasi pabrik gula yang sudah ada (existing) di Indonesia.

Lonjakan harga pangan, khususnya gula dan serbuan virus korona hendaknya mengingatkan semua kalangan akan pentingnya peningkatan daya saing pertanian tebu dalam negeri, serta pabrik gula dalam konteks swasembada bahan pangan utama. Tugas ini memerlukan sinergi dari semua kalangan tanpa harus saling menyalahkan dari para pemangku kepentingan.

Penulis : Adig Suwandi

Praktisi Agribisnis dan Alumnus Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×