kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Hari pangan dan mega-stunting


Senin, 22 Oktober 2018 / 11:00 WIB
Hari pangan dan mega-stunting


Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi

Saat merayakan Hari Pangan Sedunia ke-38 yang digelar setiap 16 Oktober terungkap kisah sedih di tengah bangsa ini. Laporan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) XI awal Juli 2018 menyebutkan, sembilan juta balita di Indonesia atau satu dari tiga balita menderita stunting (tubuh pendek). Indonesia masuk dalam klasemen lima besar negara dengan mega stunting di dunia.

Proses lost generation tengah berlangsung. Kecerdasan anak yang mengalami stunting terampas oleh krisis pangan yang kembali bersemayam di negeri agraris ini dan mestinya disikapi sebagai ancaman ketahanan nasional yang amat serius. Negara dianggap lalai atau penelantaran (state neglect) terhadap anak-anaknya sendiri jika mata rantai stunting tidak segera diputus.

Realitas menyedihkan itu harus menjadi renungan mendalam bagi anak bangsa di usia kemerdekaan 73 tahun. Pemerintahan pasca reformasi yang sudah lima kali berganti presiden kerap memuji diri tentang keberhasilannya menurunkan angka kemiskinan dan mampu meningkatkan pendapatan per kapita ke posisi US$ 3.432. Kenyataannya, warga kebanyakan masih kesulitan mengakses makanan beragam dan bergizi karena daya beli tumpul.

Pemerintah Indonesia telah menggunakan standar ganda dalam menentukan jumlah penduduk miskin. Bank Dunia (2006) pernah melaporkan sekitar 50% dari penduduk Indonesia atau sekitar 120 juta orang saat itu, hidup dalam kondisi miskin dan rentan menjadi miskin. Batas kemiskinan yang digunakan adalah pengeluaran US$ 2 per hari.

Pemerintah membantah keras laporan Bank Dunia ini. Lantas, lewat segala teknik statistik dibuatlah format baru kemiskinan di Indonesia dengan indikator ekuivalen pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Penghasilan penduduk yang menjadi batas garis kemiskinan yakni tidak lebih dari Rp 400.000 per kapita per bulan, besaran ini tidak meningkat sejak Maret 2014. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan tingkat kemiskinan di Indonesia pada Maret 2018 sebesar 9,82%, turun dari Maret 2017 yang sebesar 10,64% dan lebih rendah dari September 2017 yang sebesar 10,12%.

Di saat yang sama, pemerintah melaporkan tingkat pendapatan per kapita tahun 2017 mencapai Rp 47,96 juta per tahun, lebih tinggi dibandingkan tahun 2015 yang sebesar Rp 45,14 juta per tahun. Pengakuan ini hendak menggambarkan keberhasilan pemerintah melakukan pembangunan ekonomi nasional, mampu mengatrol pendapatan masyarakat mendekati Rp 4 juta per bulan.

Di satu sisi pemerintah mengakui tingkat pendapatan per kapita masyarakat sebesar US$ 3.432 atau sebesar US$ 9,4 setiap hari. Jika disandingkan indikator kemiskinan versi pemerintah, makna kemiskinan menjadi kabur. Harga makanan mulai melambung sejak 2017 dan sudah tidak bisa menjangkau lagi bagi masyarakat kebanyakan dengan tingkat pendapatan US$ 2 per hari

Apalagi pemerintah mengatasi kemiskinan dengan memurahkan harga bahan pangan, bukan membuka lapangan kerja baru. Harga beras dimurahkan lewat penyediaan beras sejahtera (rastra). Padahal untuk hidup sehat, seseorang tidak hanya mengonsumsi makanan berkarbohidrat bernama beras. Tapi juga harus mempunyai daya beli mengakses makanan bergizi seperti daging, ikan, telur dan susu untuk sumber protein hewani.

Standar kemiskinan seharusnya berimplikasi dengan relasi keterbelakangan. Hidup miskin tidak hanya defisit sandang, papan dan pangan. Salah satu indikator hidup miskin ialah ketidakmampuan mengakses informasi lewat pendidikan formal. Mereka terpinggirkan sehingga tidak berkesempatan berhubungan dengan kehidupan masa depan yang sarat kemajuan ilmu pengetahuan.

Krisis kemanusiaan

Sungguh ironis, saat sebagian anak balita di Indonesia terancam stunting, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang terhormat mengalami mati rasa atas penderitaan rakyatnya. Sebagian mereka kerap melakukan tindak korupsi dan seakan tidak peduli dengan krisis kemanusian yang terjadi di tengah bangsa.

Berbagai tindak korupsi yang dipertontonkan sebagian anggota dewan amat kontras dengan tragedi mega stunting di tengah masyarakat. Padahal DPR seharusnya mampu mengawasi penggunaan anggaran pembangunan agar tepat sasaran mengatasi kemiskinan. Ke depan bangsa ini butuh anggota DPR dan DPRD yang berkomitmen kuat berperang terhadap korupsi. Mereka harus paham, stunting seperti bencana dalam sunyi yang beda dengan bencana alam. Bencana stunting memberi dampak buruk berkelanjutan yang secara perlahan merengut masa depan anak bangsa.

Patut disadari, kualitas SDM Indonesia kini kian melorot. Badan Program Pembangunan PBB (UNDP) yang merilis laporan Indeks Pembangunan Manusia di setiap negara selalu menempatkan Indonesia berada di peringkat bawah. Jauh di bawah Singapura, Brunei dan Malaysia. Kemerosotan Indeks IPM Indonesia berbanding lurus dengan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang melaporkan kecenderungan peningkatan jumlah balita gizi buruk. Hasil Riskesdas 2013 menunjukkan jika pada 2010 jumlah balita gizi buruk sebesar 4,9% maka pada 2013 meningkat menjadi 5,7%. Dampaknya, selain tubuh pendek, juga pengecilan otak, jantung dan organ lain yang mendorong turunnya tingkat kecerdasan anak.

Krisis kemanusiaan ini bisa terjadi karena persoalan moral sempit. Masalah gizi buruk kini ditenggelamkan agenda politik partai yang beraroma kepentingan kelompok. Sementara konsistensi dan kesinambungan arah pembangunan pertanian dan pangan semakin tidak jelas dan non-sustainable. Upaya memberi makan 260 juta penduduk Indonesia terasa kian berat, pemerintah belum hadir secara serius dalam penguatan kedaulatan pangan.

Tragedi stunting harus segera diatasi. Pemerintahan Jokowi-JK patut berkerja lebih keras lagi untuk merealisasikan berbagai program penguatan ekonomi kerakyatan. Program kerja yang terkait dengan perbaikan gizi, seperti pendidikan kesejahteraan keluarga, pekan diversifikasi pangan untuk ibu hamil dan anak balita, penguatan posyandu dan pengembangan rumah pangan lestari harus direvitalisasi. Jika tidak, Indonesia akan kehilangan kesempatan memperbaiki mutu SDM.

Periode anak balita yang disebut golden age menjadi perhatian yang diposisikan pada titik rawan karena mereka mudah mengalami gangguan gizi. Problem kemiskinan, menjadi pintu masuk stunting. Anak balita bertubuh pendek adalah produk kurang gizi kronis yang dimulai saat janin di dalam kandungan.•

Posman Sibuea
Guru Besar Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas, Medan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×