| Editor: Tri Adi
Menutup pekan ini, rupiah bisa sedikit lega. Sempat melorot mendekati Rp 13.600 per dollar AS di awal pekan, Jumat (6/10) rupiah menguat di kisaran Rp 13.500 per dollar AS. Namun, sebuah peringatan telah datang dari World Bank. Dalam laporannya, Rabu (4/10), Bank Dunia menyebutkan Indonesia - dan bersama Malaysia, Thailand dan Filipina - menghadapi risiko kurs yang lebih tinggi dibandingkan negara lain di Asia Tenggara dan Pasifik.
Ada sejumlah faktor yang menjadi penyebab. Di antaranya, besarnya utang luar negeri, defisit anggaran, dan memanasnya geopolitik.
Menurut data Statistik Utang Luar Negeri Indonesia, posisi utang swasta (bank dan nonbank) per Juli 2017 mencapai US$ 165,513 miliar. Jika ditambah utang pemerintah dan bank sentral, jumlahnya US$ 339,853 miliar. Besarnya utang luar negeri ini membuat kebutuhan dollar atau valuta asing menjadi sangat besar untuk membayar pokok dan bunga. Untuk kurun Agustus-Desember 2017, pemerintah harus membayar pokok dan bunga US$ 4,415 miliar (sekitar Rp 60 triliun). Ini belum termasuk kebutuhan dollar untuk membayar utang swasta.
Defisit anggaran yang terus menganga bahkan kian lebar, membuat kebutuhan utang luar negeri terus muncul, dan melestarikannya sebagai tekanan 'abadi' terhadap rupiah.
Di sisi lain, dana panas yang mengejar laba di pasar keuangan Indonesia juga besar. Benar, belakangan asing melakukan aksi jual saham di Bursa Efek Indonesia (BEI). Dalam sebulan terakhir, asing melakukan jual bersih Rp 11,21 triliun, dan dalam 3 bulan, net sell asing sudah mencapai Rp 31,36%.
Namun dana asing tidak benar-benar keluar dari Indonesia. Buktinya kepemilikan asing di surat berharga negara (SBN) akhir September lalu sudah Rp 826,27 triliun, naik Rp 50,7 triliun dibanding posisi akhir Agustus. Sejak awal tahun, kepemilikan asing di SBN telah naik Rp 140,765 triliun, jauh melebihi jumlah net sell asing di saham.
Dana panas di pasar keuangan ini bisa dengan cepat keluar. Pemicunya banyak. Misal, pasar menanti besaran penurunan bunga AS. Jika suku bunga AS naik banyak, sementara suku bunga acuan Indonesia turun, bukan tak mungkin dana asing itu akan minggat. Belum lagi ancaman politik dalam negeri yang kian panas seiring dekatnya tahun politik 2018.
Kemampuan pemerintah dan otoritas moneter meredam berbagai gejolak, sekaligus menelurkan kebijakan yang efektif, kini memasuki tantangan berat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News