Reporter: Agung Hidayat | Editor: Tri Adi
Soal kebijakan membatasi barang impor, kita harus melihat dulu item apa yang dibatasi atau dilarang tersebut. Sebab, pelarangan barang impor tertentu pasti mempengaruhi industri di dalam negeri, yang saat ini masih tergantung pada bahan baku dan barang modal dari impor.
Mungkin kalau produk jadi, atau konsumsi masih bisa diatasi. Namun lain ceritanya kalau menyoal bahan baku. Jangan sampai pembatasan impor malah berdampak pada industri dalam negeri yang mengimpor untuk memproduksi produk bernilai tambah.
Ambil contoh persoalan kisruh impor garam industri. Nyatanya produksi garam khusus tersebut tidak tersedia di lokal. Banyak industri bernilai tambah seperti makanan minuman, tekstil dan farmasi yang membutuhkannya. Oleh karena itu, pemerintah harus hati-hati menentukan jenis barang impor yang dibatasi.
Jika pembatasan barang impor dilakukan dan diminta substitusi, tentu produk yang selama ini diimpor tersebut harus dibuat lini produksinya di Indonesia. Tentu perlu persiapan, tapi tidak akan rugi sebenarnya, toh pasar di dalam negeri sangat besar.
Apakah regulasi penghambat impor ini berbahaya bagi mitra bisnis di tengah perang dagang? Saya rasa semua negara sedang melakukan proteksi. Oleh karena itu, pemerintah perlu hati-hati dalam mengambil kebijakan ini.
Untuk menekan defisit transaksi berjalan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, memaksimalkan ekspor dengan meningkatkan volume. Ekspor juga bisa diperkuat di pasar kawasan ASEAN. Di luar Indonesia saja, potensinya bisa 400 juta orang.
Kedua, sektor bisnis pariwisata itu mendatangkan devisa yang besar juga. Dengan target wisatawan mancanegara 20 juta orang, ini bisa menjadi potensi. Apalagi rata-rata pengunjung turis asing di Indonesia bisa membelanjakan US$ 1.200 setiap berkunjung.
Terakhir, soal foreign investment. Pemerintah harus memangkas aturan yang tak menarik dan membuat investor enggan ke sini.•
Hariyadi B. Sukamdani
Ketua Umum Apindo
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News