kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Herry Trisaputra Zuna, Kepala BPJT: Mimpi 20 tahun akhirnya terwujud


Senin, 18 Februari 2019 / 15:09 WIB
Herry Trisaputra Zuna, Kepala BPJT: Mimpi 20 tahun akhirnya terwujud


Reporter: Ragil Nugroho | Editor: Mesti Sinaga

KONTAN.CO.ID - Mimpi menyatukan Jakarta dan Surabaya melalui jalan tol akhirnya terwujud. Pada 20 Desember 2018 lalu, Presiden Jokowi meresmikan tujuh ruas baru yang masuk jaringan Jalan Tol TransJawa. Jakarta–Surabaya pun tersambung, dari Merak hingga Pasuruan.

Ruas tol yang diresmikan Presiden di Jawa Timur adalah Ngawi–Kertosono segmen Wilangan–Kertosono, Jombang–Mojokerto seksi Bandar–Kertosono, Gempol–Pasuruan seksi Pasuruan–Grati, dan Surabaya–Gempol seksi Relokasi Porong–Gempol.

Sementara di Jawa Tengah adalah Pemalang–Batang, Batang–Semarang, Semarang–Solo segmen Salatiga–Kartasura.

Sehari berikutnya, setelah peresmian, pengguna sudah bisa melintasi Jalan Tol TranJawa yang membentang dari Merak, Banten, sampai Pasuruan, Jawa Timur. Total panjang 933 km. Tentu, ini membantu memperlancar arus mudik dan liburan Natal dan Tahun Baru.

Apa saja kendala yang menganjal penyatuan Jakarta–Suraba lewat jalan tol sehingga baru terwujud sekarang? Apa dampak ekonomi dari tersambungnya Merak sampai Pasuruan?

Kepala Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) Herry Trisaputra Zuna menceritakannya kepada wartawan Tabloid KONTAN Ragil Nugroho, Rabu (26/12). Berikut nukilannya:

KONTAN: Apa arti penting tersambungnya Jalan Tol TransJawa dari Jakarta sampai Surabaya bahkan dari Merak sampai Pasuruan?
HERRY:
Secara umum, ini adalah mimpi kita bersama. Setelah hampir 20 tahun, akhirnya dua kota terbesar dan terpadat di negeri ini, Jakarta dan Surabaya, bisa tersambung dengan jalan tol.

Tentu, potensi-potensi di sepanjang koridor itu yang awalnya dianggap tidak mungkin menjadi mungkin. Misalnya, kawasan industri kan enggak jauh-jauh dari Jakarta, seperti Cikarang dan Karawang. Jaraknya sekitar 50-an km dari Ibu Kota RI. Akibatnya ruas tol Cikampek macet parah.

Namun, ketika sudah tersambung dengan Cirebon, maka muncul Subang sebagai alternatif kawasan Industri. Apalagi, kalau nanti Pelabuhan Patimban sudah beroperasi, maka Subang akan kian populer.

Pada prinsipnya kan memang begitu. Ketika baru diumumkan saja, harga tanah di sebuah wilayah yang akan dilewati tol otomatis melambung.

Dari sisi pihak yang memanfaatkan, contoh, pengusaha atau investor. Awalnya, ketika diumumkan akan dibangun tol, belum banyak pembangunan.

Tapi, ketika tol sudah jadi, baru lah mereka mulai semangat membangun tempat-tempat usaha. Para investor memang harus sabar untuk mulai memperoleh keuntungan dari tol. Contohnya, ruas Cikopo–Palimanan mengalami shortfall (defisit) selama empat tahun.

Ruas tol lain bahkan ada yang butuh tujuh tahun. Tergantung lokasi dan aktivitas ekonomi.

Ruas tol Lingkar Luar Jakarta Seksi W2 hanya mengalami shortfall seminggu. Alasannya, memang wilayah di sekitarnya sudah sangat berkembang sejak 10 tahun sebelumnya. Tapi untuk wilayah di luar Jawa bahkan bisa sampai 15 tahun, lo.

Belum lagi tumbuh potensi wisata di banyak titik karena akses antarkota terhubung dengan lancar. Saya sudah melihat bus-bus antarkota di Jawa mulai bangkit lagi bisnisnya.

Ini kan angin segar bagi mereka. Intinya, geliat industri akan makin marak, pariwisata akan tumbuh, arus barang logistik akan meningkat, dan yang pasti waktu tempuh akan lebih singkat. Pertumbuhan ekonomi pasti tumbuh lebih baik.

KONTAN: Waktu tempuh bisa menghemat berapa jam?
HERRY:
Jakarta–Semarang dulu 10 jam, sekarang bisa 5 jam. Jakarta–Surabaya sekarang bisa ditempuh antara 8 hingga 10 jam, sebelumnya kena 14 jam.

Ada indeks untuk mengukur kemajuan akses jalan tol yang digunakan di seluruh dunia. Hitungannya adalah, berapa waktu yang dibutuhkan untuk menempuh jarak 100 km. Indonesia sekarang secara keseluruhan butuh 2,7 jam.

Bandingkan dengan Malaysia yang hanya 1,5 jam. Artinya, kita masih tertinggal.

KONTAN: Untuk bisa menempuh Jakarta–Surabaya, berapa biaya tolnya?
 

KONTAN: Untuk bisa menempuh Jakarta–Surabaya, berapa biaya tolnya?
HERRY: Saat ini, sementara biayanya Rp 505.000. Cuma, masih dikaji supaya yang jarak jauh enggak perlu membayar sepanjang jalan yang ditempuh. Proporsional dengan jarak, tapi ada biaya maksimumnya.

KONTAN: Di 2018, berapa kilometer ruas Tol TransJawa yang selesai dibangun?
HERRY:
Kami sudah selesaikan sampai Pasuruan–Grati sepanjang 387,17 km. Sisanya, Probolinggo–Banyuwangi dengan panjang 185 km baru di tahun 2021, karena tahun depan baru mulai pembebasan lahan.

Tentu, ruas tol yang diresmikan tahun ini awal pembangunannya berbeda-beda. Ada yang dari tahun 1996 mulai pelelangannya. Tapi secara umum, proses pembangunan jalan tol ini mulai akseleratif di 2016.

KONTAN: Apa penyebabnya mulai akseleratif di 2016?
HERRY:
Masalah utama selama ini adalah terkait tanah. Kita semua tahu, pembebasan lahan di Indonesia butuh waktu sangat lama.

Kenapa cepat sejak 2016? Karena sebelumnya ada Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Umum, yang memberikan kepastian proses, harga, dan institusi yang melaksanakan.

Tapi, UU ini sebenarnya baru efektif ketika ada Peraturan Presiden No. 30/2015 tentang Pengadaan Tanah. Aturan itu yang memastikan hingga teknis. Dampaknya menjadi lebih cepat.

Ada juga masalah dana tanah. Di 2016, kebutuhannya mencapai Rp 16 triliun namun alokasi hanya Rp 1,6 triliun. Untuk mengatasi kekurangan dana, maka dibentuklah Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN).

Lembaga ini ditugaskan untuk membiayai kebutuhan dana dengan disuntik APBN. Sebelum uang turun efektif, kami minta izin untuk talangin dulu.

Badan usaha lain yang punya konsesi ruas tol juga kami minta partisipasinya sebelum dana diganti oleh LMAN. Hingga Desember 2018, total dana yang sudah dihabiskan sebanyak Rp 40 triliun.

KONTAN: Memang, berapa kebutuhan dana pembangunan Tol TransJawa?
HERRY:
Sepanjang 1.150 km, kebutuhannya capai Rp 117 triliun di luar biaya tanah.

KONTAN: Siapa saja yang jadi investor tol ini?
HERRY:
Jasa Marga, Waskita Karya, Astra Infra, dan Sumber Mitra Jaya. Lalu, untuk Cikopo–Palimanan, ada investor dari Malaysia, UEM Group Bhd. Sempat ada investor Australia di Ngawi–Kertosono, tapi diambil alih oleh Jasa Marga.

KONTAN: Lalu, apa saja kendala bagi investor dalam membangun jalan tol?

KONTAN: Lalu, apa saja kendala bagi investor dalam membangun jalan tol?
HERRY:
Pertama, skala biaya besar. Satu kilometer jalur darat bisa Rp 100 miliar, sedang jalan layang (elevated) bisa
Rp 300 miliar. Sehingga, investor yang ikut terseleksi.

Kedua, pay back period cukup lama, bisa 15 tahun. Mereka harus bisa bertahan selama itu.

Ketiga, untuk menutupi biaya besar, pasti perusahaan juga harus berutang dengan skala besar.

Keempat, masalah tanah yang kebanyakan belum tersedia. Ini penyebabnya kenapa kebanyakan investor tol adalah BUMN. Kalau swasta, lebih suka membeli tol yang sudah jadi karena tidak harus memikirkan pembebasan lahan dan konstruksi.

KONTAN: Kalau kebutuhan dana pembangunan jalan tol, bagaimana gambaran hitung-hitungan kasarnya?
HERRY:
Biaya konstruksi Rp 100 miliar per km lalu dikali panjang ruas tol. Lalu, ada dana investasi yang biasanya sebesar satu setengah atau dua kali biaya konstruksi.

KONTAN: Kendala apa lagi yang ditemukan dalam upaya membangun jalan tol?
HERRY:
Skema pendanaan juga menjadi kendala. Dengan keterbatasan APBN, selama ini kami mengandalkan BOT atau build, operate, and transfer.

Pemerintah menggandeng pihak ketiga yaitu badan usaha jalan tol (BUJT) sebagai investor yang akan build (membangun), kemudian operate (mengoperasikan) selama masa waktu tertentu (disebut masa konsesi), sebelum kemudian dilakukan transfer (pengalihan aset) ke pemerintah.

BUJT bisa berupa swasta murni, BUMN, atau konsorsium swasta dan BUMN. Pendanaan swasta yang terlibat pun bisa jadi berupa penanaman modal asing (PMA) atau penanaman modal dalam negeri (PMDN).

Skema ini memiliki kelemahan untuk wilayah di luar Jawa yang belum terlalu ramai aktivitas ekonominya. Makanya, kami menyiapkan skema alternatif, yakni penugasan.

Ini sudah diterapkan untuk Sumatra, dengan menugaskan kepada Hutama Karya (HK). Sudah mulai konstruksi 2015 dan hari ini, Bakauheni sudah dibangun, sampai Palembang pada April 2019.

Hingga akhir 2019, kami targetkan 575 km di Sumatra. Target terhubung total Tol TransSumatra di 2024, dari Bakauheni sampai Aceh.

Dana HK bisa dari PMN, two step loan, pinjaman dari lembaga pinjaman, termasuk institusi multilateral yang dijamin oleh pemerintah.

Kemudian, pinjaman dari lembaga pembiayaan pemerintah seperti PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) dan sumber dana lainnya yang bisa didapatkan HK sesuai ketentuan perundangan. Seluruh utang perusahaan dalam hal penugasan ini dijamin pemerintah.

Rencananya, HK menggarap delapan ruas prioritas Tol TransSumatra, yakni Medan–Binjai, Palembang–Indralaya, Bakauheni–Terbanggi Besar, Pekanbaru–Dumai, serta Terbanggi Besar–Pematang Panggang. Lalu, ruas Pematang Panggang–Kayu Agung, Palembang–Tanjung Api-Api, dan Kisaran–Tebing Tinggi.

Kedelapan ruas tersebut menjadi prioritas karena target beroperasi hingga akhir 2019 mendatang. Selain itu, ada 3 ruas prioritas tambahan yang akan dibangun, Medan–Banda Aceh, Padang–Pekanbaru, dan Tebing Tinggi–Parapat.

Dalam membangun delapan ruas prioritas itu, HK membutuhkan biaya investasi mencapai Rp 73,9 triliun. Tantangan membangun di Sumatra adalah panjang ruas jalannya.

Total bisa mencapai 2.818 km sedang Jawa cuma 1.150 km. Tapi, kompleksitas masalah lebih rendah dibandingkan dengan Jawa karena kebanyakan lahan Sumatra masih kosong.

KONTAN: Kondisi jalan tol kita dibandingkan dengan negara lain bagaimana?
HERRY:
Bandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara saja. Saat ini, bisa dikatakan kita sedang menyusul ketertinggalan dari mereka.

Pada 2019, kita sudah punya 2.500-an km panjang tol. Dalam lima tahun belakangan, kita bisa membangun sekitar 1.800-an km. Malaysia sudah mentok di 3.000 km. Ke depan, kami optimistis bisa melewati mereka.          

Biodata

Riwayat pendidikan:
■     Sarjana Teknik Sipil Institut Teknik Bandung (ITB)
■     Sarjana Manajemen Ekonomi Universitas Padjadjaran (Unpad)
■     Magister Sistem dan Teknik Jalan Raya Institut Teknologi Bandung (ITB)
■     Doktor Teknik Sipil Universitas Indonesia (UI)

Riwayat pekerjaan:
■     Kepala SubDirektorat Kebijakan dan Strategi Direktorat Bina Marga Kementerian PUPR
■     Plt Kepala Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT)
■     Kepala Bidang Jalan dan Jembatan Utama Direktorat Bina Marga    
■     Kepala Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT).         

 *  Artikel ini sebelumnya sudah dimuat di rubrik Dialog Tabloid KONTAN edisi 31 Desember 2018-6 Januari 2019. Untuk mengaksesnya silakan klik link ini: Mimpi 20 Tahun Akhirnya Terwujud

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×