kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Heru Pambudi, Dirjen Bea Cukai: Dengan teknologi, tak ada kecurangan lagi


Senin, 26 November 2018 / 18:52 WIB
Heru Pambudi, Dirjen Bea Cukai: Dengan teknologi, tak ada kecurangan lagi


Reporter: Nina Dwiantika | Editor: Mesti Sinaga

Defisit transaksi berjalan yang terus melebar membuat pemerintah memperketat proses importasi di pelabuhan, khususnya barang konsumsi. Ditjen Bea Cukai sebagai mata pemerintah di pelabuhan harus bekerja ekstrakeras untuk mengawasi barang masuk ke Indonesia.

Tapi tentu, Ditjen Bea Cukai tetap harus fokus dengan sektor cukai khususnya rokok yang merupakan sumber penerimaan terbesar mereka.

Apa saja langkah yang akan Ditjen Bea Cukai lakukan? Direktur Jenderal Bea dan Cukai Heru Pambudi menyampaikan kepada wartawan Tabloid KONTAN Nina Dwiantika belum lama ini. Berikut nukilannya:  

KONTAN: Bagaimana peran Ditjen Bea Cukai dalam menjaga defisit transaksi berjalan tidak makin melebar?
HERU:
Untuk mendukung industri nasional, kami mesti melihat produk-produk yang bisa dibikin di dalam negeri. Sebaiknya memang, kita harus kasih atmosfer atau level playing field yang bagus.

Jangan sampai, produk dalam negeri secara tidak fair diganggu barang-barang impor sejenis dari luar negeri. Apa makna tidak fair? Sekarang, ada barang ilegal dan tidak memenuhi izin, itu semua harus kami awasi.

Ditjen Bea Cukai sendiri memiliki peran dalam menjaga transaksi berjalan. Salah satunya, melalui PMK Nomor 112/PMK.04/2018 tentang Ketentuan Impor Barang Kiriman yang mengatur penyesuaian pembebasan bea masuk.

Intinya adalah, salah satu strategi untuk mengurangi defisit transaksi berjalan adalah mengurangi barang-barang konsumsi.

Nah, salah satu sumber pemasukan barang konsumsi selain dari impor kargo ialah impor dari kiriman. Misalnya, barang impor datang dari kantor pos atau jasa kurir ekspres, seperti DHL dan FedEX.

Kami lihat, terjadi tren yang luar biasa atas lonjakan impor barang dari jasa kiriman itu terutama barang konsumsi. Lonjakan tersebut karena ada kecenderungan atau gejala mereka melakukan splitting (pemisahan) transaksi impor.

Sebelumnya, mereka melakukan transaksi secara wajar, kemudian menjadi dipecah-pecah dengan tujuan untuk menghindari threshold atau batasan bebas bea masuk dan pajak impor kalau nilai transaksinya di bawah US$ 100.

KONTAN: Maksudnya?
HERU:
Contoh, ada sekitar 400 transaksi yang dilakukan oleh satu orang. Caranya, mereka melakukan splitting dengan membuat nama yang berbeda-beda.

Nah, ketika importir itu melakukan 400 transaksi yang rata-rata bernilai US$ 50, maka nilai transaksi yang sebenarnya mencapai US$ 2.000. Itu, kan, lebih dari Rp 30 juta.

Kami melihat, ini sebagai satu hal yang merugikan ekonomi kita. Soalnya, transaksi di bawah US$ 100 bebas bea masuk dan pajak impor.

Dan, barang yang di bawah US$ 100 kebanyakan ada produksi dalam negerinya. Sebaliknya, barang dari dalam negeri terkena pajak di luar negeri, itulah yang disebut sebagai unfair treatment.

KONTAN: Lalu, apa yang akan Bea Cukai lakukan?

HERU: PMK 112/2018 mengeluarkan dua kebijakan utama. Salah satunya, menurunkan threshold menjadi US$ 75, dari sebelumnya US$ 100.

Kenapa menjadi US$ 75? Ini berasal dari rekomendasi World Customs Organization (WCO). Rekomendasinya adalah 50 special drowing rate (SDR) atau mata uang khusus.

Yang kalau saya konversikan ke dollar AS sekitar US$ 75. Dengan ketentuan ini, maka tidak bisa lagi seseorang melakukan transaksi berulang-ulang, dengan tujuan menghindari aturan tadi.

Kebijakan ini sudah kami keluarkan dan mendapatkan respons positif. Kami harapkan, yang sebelumnya melakukan bisnis dengan cara tidak wajar, harus segera mengubah bisnisnya jadi secara wajar dan legal.

Artinya, saya mengajak kepada semua pebisnis, baik kelas kecil, menengah, maupun besar, sama-sama melakukan bisnis dengan baik dan legal.

Aturannya berlaku mulai bulan ini. Dengan sistem teknologi, maka Ditjen Bea Cukai bisa mendeteksi transaksi melalui sistem automasi, sehingga tidak terjadi kecurangan lagi.

KONTAN: Apakah ada insentif juga buat pengusaha?
HERU:
Kami akan menguatkan program yang namanya authorized economic operator (AEO).

AEO adalah status yang diberikan Ditjen Bea Cukai kepada perusahaan-perusahaan yang lulus verifikasi sebagai perusahaan yang sangat dianggap baik atau punya reputasi sangat baik di bidang kepabeanan, cukai, maupun perpajakan lain.

Dengan status ini, perusahaan akan mendapatkan fasilitas paling tinggi di pelabuhan. Baik saat dia melakukan impor maupun ekspor.

Konkretnya adalah perusahaan tidak diperiksa fisik maupun dokumen di pelabuhan. Kemudian, mereka diberi kemudahan-kemudahan dalam bentuk self declaration secara automasi, juga diberikan fasilitas paketan dengan kementerian dan lembaga lainnya. Program ini akan dikembangkan tahun ini, dan sudah bisa berjalan tahun depan.

KONTAN: Cukai khususnya rokok, kan, masih jadi sumber penerimaan terbesar. Pembahasan mengenai penyederhanaan layer tarif cukai rokok sudah sejauh mana?
HERU:
Tentunya, kami akan mendengarkan semua pihak. Siapa saja? Pertama, kementerian atau lembaga yang terkait dengan kesehatan, seperti Kementerian Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Kedua, kami juga mendengarkan kementerian dan lembaga yang berkaitan dengan industri. Misalnya, Kementerian Perindustrian sebagai pembina industri rokok dan Kementerian Pertanian sebagai pembina di sektor pertanian tembakau dan cengkeh.

Ketiga, mereka yang concern pada buruh dan tenaga kerja termasuk Kementerian Ketenagakerjaan. Dan keempat, kami juga harus memperhatikan kebijakan fiskal terkait dengan cukai rokok.

Jangan sampai, kebijakan tarif cukai yang terlalu tinggi ataupun terlalu rendah kemudian malah akan menjadi backfire yang merugikan.

Misalnya, kalau tarif terlalu mahal atau tinggi sehingga rokok tidak terbeli konsumen, maka yang akan diuntungkan adalah rokok ilegal.

Karena, kebutuhan untuk merokok relatif, biasanya tidak langsung menyesuaikan, itu namanya inelastis. Sebaliknya, kalau terlalu murah nanti yang tidak merokok karena tidak mampu beli justru akan affordable sehingga membeli rokok.

Yang jadi perhatian kami terkait ini adalah penerimaan lantaran ada target yang harus dicapai. Jadi, sederet alasan itulah yang senantiasa menjadi patokan atau referensi utama pemerintah dalam menentukan tarif untuk cukai rokok. Rencananya, kebijakan tarif akan keluar pada kuartal ketiga atau kuartal keempat tahun ini.

KONTAN: Rencananya, berapa kenaikan tarifnya?
HERU:
Tentu, penentuan tarif harus secara harmonis. Sejak Februari lalu, Kementerian Keuangan sudah bicara dengan kelompok-kelompok tersebut.

Misalnya, kelompok dari Kementerian Kesehatan, BPOM, World Health Organization (WHO), dan non-governmental organization (NGO). Tapi, pemerhati kesehatan termasuk universitas dan akademisi meminta untuk menaikkan tarif cukai setinggi-tingginya.

Secara paralel, kami juga bicara dengan kelompok yang concern terhadap keberlangsungan industri. Mulai tenaga kerja, pemodal, industri, petani, dan orang-orang yang terlibat di dalam industri rokok.

Mereka semua menyampaikan pendapatnya secara tertulis. Dan, banyak sekali yang minta tarif cukai serendah-rendahnya.

KONTAN: Bagaimana sikap pemerintah melihat permintaan yang berbeda itu?
HERU:
Kementerian Keuangan menetapkan tarif dengan memperhatikan kelompok tersebut. Kami tidak bisa mendengarkan hanya satu kelompok saja. Sehingga, setiap tahun secara rutin kami sudah bisa mengharmonisasikan tarif cukai.

Kalau secara historis, rasionya menyesuaikan variabel dengan indikator 10,04% pada tahun lalu. Kenapa 10,04%? Kami melihat rasio itu di dalamnya ada komponen dasar inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan komponen-komponen dari kelompok-kelompok yang berkaitan dengan tarif cukai.

Sebenarnya, itu rasio rata-rata. Saya bagi pada dua kelompok, kenaikan tarif tidak akan terlalu tinggi untuk yang padat karya seperti sigaret kretek tangan (STK). Sebab, STK sangat padat karya sekali. Tetapi, kenaikan tinggi akan disesuaikan pada yang padat modal.

KONTAN: Dengan kenaikan tarif itu, berapa target penerimaan tahun depan?
HERU:
Cukai rokok masih akan menjadi penerimaan terbesar Ditjen Bea Cukai, dengan rasio 80% dari total penerimaan. Untuk tahun depan, target penerimaan dari cukai hasil tembakau mencapai Rp 158 triliun.

Sehingga, saya harus memperhatikan level playing field dan fair treatment kepada industri yang sudah membayar cukai dengan benar sekaligus menggempur rokok ilegal.

Dua tahun lalu, jumlah rokok ilegal mencapai 12,14% dari total batang yang beredar. Sekarang, kami sudah berhasil menekan itu.

Berdasarkan survei Universitas Gadjah Mada (UGM), rokok ilegal menjadi 7,05% dari batang yang beredar. Untuk itu, kami berhasil menyelamatkan penerimaan negara sebesar Rp 1,52 triliun dari cukai. Itu besar sekali.

Dengan demikian, kami bisa memberikan keyakinan kepada pelaku usaha yang legal, bahwa mereka ada kepastian untuk usaha. Dan, ini terbukti, karena begitu saya lihat produksi rokok yang legal terus naik.

KONTAN: Strategi Bea Cukai untuk mengejar target penerimaan termasuk bea?
HERU:
Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2019, target Ditjen Bea Cukai adalah Rp 208 triliun. Yang terdiri dari bea masuk Rp 38,9 triliun dan bea keluar Rp 4,42 triliun.

Sedangkan, target cukai mencapai Rp 165,50 triliun, yang berasal dari cukai hasil tembakau Rp 158 triliun, cukai minuman mengandung alkohol Rp 6 triliun, cukai plastik Rp 500 miliar.

Tapi, ukuran keberhasilan Ditjen Bea Cukai bukan dari pencapaian penerimaan. Tetapi, bagaimana Ditjen Bea Cukai menata barang yang masuk dan keluar serta menata industri cukai yang berimbang.

Untuk target pendapatan Ditjen Bea Cukai tahun ini masih on track. Per 1 Oktober, pendapatan bea masuk hampir 80,08% atau mencapai Rp 28,59 triliun dari target Rp 35,70 triliun.

Angka ini tumbuh 16,04%. Sedang pendapatan bea keluar senilai Rp 5,24 triliun, tumbuh signifikan dari target Rp 3 triliun. Ini hampir dua kali lipat.

Untuk pendapatan cukai sudah mencapai Rp 91,39 triliun atau 59,81% dari target Rp 155,4 triliun. Angka ini tumbuh 12,9%. Secara keseluruhan, Ditjen Bea Cukai memperoleh pendapatan Rp 125 triliun atau 64,5% dari target Rp 194 triliun.               

Biodata

Riwayat pendidikan:
■     Master of Law dari University of Newcastle, Inggris  
■     Sarjana Ekonomi dari Universitas Indonesia (UI)
■     Diploma III Politeknik Keuangan Negara Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN)

Riwayat pekerjaan:
■     Direktur Jenderal Bea dan Cukai
■     Direktur Penerimaan dan Peraturan Kepabeanan dan Cukai Ditjen Bea Cukai  
■     Direktur Fasilitas Kepabeanan Ditjen Bea Cukai
■     Kepala Kantor Wilayah Ditjen Bea Cukai Sulawesi
■     Tenaga Pengkaji Bidang Pelayanan dan Penerimaan Kepabeanan dan Cukai Ditjen Bea Cukai.

Artikel ini sebelumnya sudah dimuat di rubrik Dialog Tabloid KONTAN edisi 22-28 Oktober 2018. Selengkapnya silakan klik link berikut: Dengan Teknologi, Tak Ada Kecurangan Lagi

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×