kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Hijrah dan kepemimpinan bangsa


Jumat, 22 September 2017 / 16:09 WIB
Hijrah dan kepemimpinan bangsa


| Editor: Tri Adi

Momentum Tahun Baru Hijriyah 1349 menjadi refleksi sangat penting bagi Indonesia dalam mengawal kepemimpinan kebangsaannya. Ketika tiba di Madinah, Nabi Muhammad dipilih sebagai pemimpin pemersatu semua suku bangsa. Ia melindungi semua warga negara, hukum ditegakkan tanpa pilih kasih, bahkan anaknya Nabi sendiri (Fatimah) kalau mencuri, maka akan dihukum dengan tangannya sendiri. Pribadi Nabi yang penuh kasih sayang menjadikan kaum lemah, anak yatim piatu, dan para janda, mendapatkan perlindungan utuh. Nabi sangat dekat dengan mereka, bahkan melebihi kedekatannya dengan kaum elite di Madinah.   

Etos kepemimpinan yang digerakkan Nabi Muhammad menjadi Madinah sebagai negara modern, bahkan terlalu modern untuk ukuran jaman saat itu. Ini menunjukkan Nabi mampu mengelola organisasi kenegaraan dan pemerintahan dengan baik.

Para sahabatnya juga lahir menjadi pemimpin-pemimpin yang jujur, teguh prinsipnya, dan sukses membangun masyarakat. Sosok seperti Abu Bakar As-Siddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib dikenang sebagai pemimpin agung yang sukses dikader Nabi. Ini dilanjutkan dengan pemimpin selanjutnya seperti Umar bin Abdul Aziz, Harun al-Rasyid, dan lainnya. Mereka menitahkan sejarah emas dalam jejak peradaban umat manusia.

“Barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak….” (QS, 2: 269). Lisanuddin al-Khatib, ulama abad ke-14, dalam kitab Raudat al-Ta’rif, menegaskan bahwa hikmah itu seperti keadilan. Jika ahli hikmah memimpin negeri ini, maka keadilan sosial tak akan menunggu waktu: akan segera datang. Kepemimpinan dengan “anugerah hikmah” inilah yang diperankan Nabi Muhammad, sehingga melahirkan negara Madinah sebagai negara modern yang dicontoh negara di berbagai belahan dunia.  

Semangat yang sama ditunjukkan Pancasila dalam sila ke-4, yakni “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Kepemimpinan berbasis hikmat kebijaksanaan inilah yang diamanatkan dalam Pancasila, dan ini sangat sesuai dengan Al-Quran. Karena kepemimpinan berbasis hikmat, maka yang hadir adalah “karunia yang banyak”. Bisa berupa kemakmuran, kesejahteraan dan keadilan sosial. Dalam konteks kekinian, maka kearifan itulah yang menjadi sumber hikmat kebijaksanaan. Kearifan bukan saja memahami persoalan sampai akar-akarnya, melainkan juga menyelami dan memberikan teladan kepada rakyat.

Konteks kepemimpinan

Semangat kearifan dalam bingkai hikmat kebijaksanaan ini yang mulai tergerus dalam demokrasi kita. Alam demokrasi hanya berkutat dalam term “langsung” dan “tidak langsung”. Amanat hikmat kebijaksanaan tak lagi digaungkan. Apa yang terjadi? Kaum elite hanya berebut kursi, mementingkan kelompoknya sendiri, dan mengabaikan suara rakyat. Masa silam ihwal kebulatan tekad dan semangat perjuangan menegakkan NKRI seakan menjadi romantisme sejarah, tak pernah lagi dipraktikkan pada hari ini.

Dalam konteks kepemimpinan, pemimpin daerah bisa belajar kepada Sri Sultan Hamengkubuwono X. Dikisahkan, mobil AB 1, kendaraan dinas Sri Sultan HB X, berhenti setelah diminta petugas voorijder yang mengawal rombongan Presiden Joko Widodo melintasi Jalan Kusumanegara menuju Gedung Agung seusai menghadiri acara peringatan Hari Anti-korupsi di UGM tahun 2014. Petugas voorijder tidak menyangka kalau yang diminta berhenti adalah kendaraan dinas Sri Sultan HB X. Setelah menyadarinya, petugas voorijder lantas meminta mobil Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat tersebut berjalan bersama agar lebih cepat. Ternyata, Sri Sultan memilih untuk tetap berhenti bersama masyarakat, menunggu hingga rombongan Presiden Jokowi lewat.

Kisah ini tentu saja bukanlah sekadar pemanis berita. Kisah ini menjadi inspirasi berharga bagi elite negeri ini dalam berbangsa dan bernegara. Seorang Gubernur dan juga serang Raja, terlebih di daerahnya sendiri, tidak mau jumawa, tidak mau angkuh, bahkan tidak mau “diperlakukan istimewa”. Ini jelas sekali sebuah kearifan kepemimpinan yang menjadi tonggak kuat berdiri tegaknya Yogyakarta sebagai daerah istimewa. Kearifan Sri Sultan inilah yang akan terus menghidupkan ruh Yogya sebagai kota pelajar, kota budaya, kota wisata, dan identitas lainnya yang selalu memberikan inspirasi bagi rakyat.

Kearifan yang diteladankan Sri Sultan HB X adalah tonggak kepemimpinan, bukan saja bagi Yogyakarta tetapi juga untuk Indonesia. Kaum elite bangsa ini harus kembali kepada tonggak kepemimpinan, yakni mengasah kearifan dalam berbagai persoalan yang melilit bangsa. Kaum elite semestinya bekerja dalam konteks demokrasi Pancasila, yakni bergerak dalam cita kerakyatan, cita permusyawaratan dan cita hikmat-kebijaksanaan.

Yudi Latif (2014) melihat cita kerakyatan hendak menghormati suara rakyat; dengan memberikan jalan bagi peranan dan pengaruh besar rakyat dalam pengambilan keputusan oleh pemerintah. Cita permusyawaratan memancarkan kehendak untuk menghadirkan negara persatuan yang dapat mengatasi paham perseorangan dan golongan, dengan mengakui "kesederajatan atau persamaan dalam perbedaan".

Cita hikmat-kebijaksanaan, lanjut Yudi, merefleksikan orientasi etis bahwa “kerakyatan” yang dianut bangsa Indonesia bukan kerakyatan yang mencari suara terbanyak semata, melainkan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan. Orientasi etis (hikmat-kebijaksanaan) ini dihidupkan melalui daya rasionalitas, kearifan konsensual, dan komitmen keadilan yang berupaya menghadirkan sintesis terbaik.

Akhirnya, Pancasila sejatinya adalah ruh kepemimpinan dan demokrasi kita. Saatnya elite bangsa ini langsung mempraktikkan dalam keseharian berbangsa dan bernegara.                                         

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×