kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Hitam-Putih Bawang Putih


Kamis, 09 April 2020 / 12:58 WIB
Hitam-Putih Bawang Putih
ILUSTRASI.


Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - Hari-hari ini harga bawang putih masih belum ada tanda-tanda kembali ke posisi di awal tahun. Saat membeli di sebuah supermarket, 2 April lalu, penulis mendapati harga bumbu-bumbuan ini dibanderol Rp 69.950 per kilogtam (kg). Harga bawang bombai juga belum beranjak menurun, masih Rp134.950 per kg. Dibandingkan harga di awal tahun, harga dua komoditas ini tergolong masih amat tinggi. Langkah-langkah stabilisasi harga pangan oleh Menteri Perdagangan Agus Suparmanto seperti dilaporkan ke Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 17 Maret 2020 lalu belum ampuh.

Di depan para pewarta, Menteri Agus menerangkan langkah menurunkan harga bawang putih: merelaksasi aturan impor. Jika semula importir mesti mengantongi surat persetujuan impor (SPI) dan melampirkan laporan survei (LS) dari lembaga yang dia pimpin, kali ini tak perlu.

Bahkan, kata dia, importir tak harus mendapatkan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) dari Kementerian Pertanian (Kemtan), otoritas menteri lain. Aturan berlaku 19 Maret - 31 Mei 2020, mendekati masa tanggap darurat virus Korona (Covid-19).

Intervensi Agus ini kemudian diinterupsi oleh Direktur Jenderal Hortikultura Kemtan Prihasto Setyanto. Prihasto menerangkan, sekalipun bebas SPI dan LS, importir tetap harus mengantongi RIPH. Guna memperkuat alasan itu, Prihasto mengutip Pasal 88 ayat 2 Undang-Udang (UU) No. 13/2010 tentang Hortikultura. Menurut Prihasto, tidak seharusnya aturan yang lebih rendah menabrak UU di atasnya. Intervensi dan interupsi ini bukan hal baru. Sudah terlalu sering publik disuguhi sikap tidak akur, egosektoral atau miskoordinasi.

Langkah Agus merelaksasi regulasi impor dimaksudkan untuk mempercepat masuknya bawang putih. Pasokan bawang putih impor itu akan memperbesar stok yang tipis saat ini. Ketika stok bertambah, harga perlahan akan turun. Masalahnya, langkah ini terlambat. Stok bawang putih telanjur menipis. Impor, yang biasa jadi jurus penguasa, tak lagi cespleng. Pandemi Korona membuat lalu lintas perdagangan macet, bahkan tertutup.

Sebetulnya, kalau para elite pengambil kebijakan memahami hitam-putih bawang putih, keterlambatan impor yang kemudian berimbas pada kenaikan harga tidak perlu terjadi.

Pertama, konsumsi bawang putih sepenuhnya diisi dari impor, hampir seluruhnya dari China. Kemtan memang menggenjot produksi bawang putih domestik lewat wajib tanam oleh importir. Dimulai tahun 2017, swasembada ditargetkan tercapai pada 2021. Artinya, tahun ini tak ada produksi domestik buat konsumsi. Fakta ini mestinya memudahkan dalam tata kelola impor, karena tak perlu ada kekhawatiran disinsentif pada petani.

Ketika Korona mendera Wuhan, China, akhir 2019 lalu dan menjalar ke negara-negara lain awal 2020. Mestinya, antisipasi jauh-jauh hari dilakukan. Salah satunya mempercepat pengeluaran izin impor. Diakui atau tidak, sikap antisipastif ini tidak tampak. Padahal, implikasi serius Korona yang memutus/membatasi lalu lintas hubungan dan perdagangan antarbangsa karena lockdown membuat impor bukan saja sulit, tapi nyaris mustahil.

Kedua, bawang putih telah menjadi ajang perburuan rente (rent seeking) banyak pihak. Ini karena keuntungan yang dari bisnis impor bawang putih amat menggiurkan. Sebagai gambaran, pada 2018 rata-rata harga bawang putih impor hanya US$ 0,85 (Rp 12.197) per kg.

Sepanjang 2018, menurut Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS), harga bawang putih di pasar tradisional rata-rata Rp 27.075 per kg. Pada 2019, dengan rerata harga Rp 37.300 per kg potensi keuntungan importir jauh lebih besar lagi.

Pada 2018, Indonesia mengimpor bawang putih 582.994 ton senilai US$ 497 juta (Rp 7,1 triliun). Disparitas harga yang eksesif antara pasar impor dan domestik, dan volume yang besar tidak hanya memberikan keuntungan luar biasa bagi penerima kuota impor, tapi juga memberi insentif bagi calon penerima kuota untuk menyuap dalam jumlah amat besar agar bisnisnya mulus.

Ini menjadi insentif menarik bagi pemburu rente untuk melanggengkan tata kelola impor tetap karut marut, seperti gamblang terurai dari cerita sampul Jejaring Hitam Bawang Putih majalah TEMPO edisi 8 Februari 2020.

Dalam praktik, sebagai pengendali dan penguasa pasokan bawang putih di pasar, para pemburu rente itu bisa memainkan harga seperti rollercoaster.

Mereka tinggal menyetel antara pasokan dan permintaan untuk mengendalikan harga yang diinginkan. Sebagai pengendali dan penguasa pasokan mereka juga punya keleluasaan menciptakan kelangkaan semu di pasar. Pasar seolah-olah langka bawang putih. Padahal, stok ada di gudang. Pemerintah mati kutu dan tak punya kuasa untuk mengendalikan mereka.

Korupsi dan kartel

Ketiga, perburuan rente bawang putih melibatkan segitiga pelaku: eksekutif, legislatif, dan pebisnis. Ini bisa dilihat dari vonis Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang memutus praktik kartel 19 importir bawang putih pada 2014. Sempat dibatalkan Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada 2015. Namun, pada 2018 di level Mahkamah Agung (MA) putusan KPPU dikuatkan.

Lalu, pada 6 Januari 2020, ada vonis tiga terdakwa (Direktur Cahaya Sakti Agro Chandry Suanda alias Afung, Direktur PT Sampico Adhi Abattoir Dody Wahyudi, dan pihak swasta Zulfikar) yang menyuap eks anggota DPR dari PDIP I Nyoman Dhamantra.

Mereka dipersalahkan karena menyuap Dhamantra sebesar Rp 2 miliar untuk pengurusan penerbitan SPI terkait kuota impor bawang putih. Tiga terdakwa lain menunggu vonis.

Dalam jangka pendek, tidak mudah mengikis praktik culas ini. Karena perlu mengikis dua penyakit kronis sekaligus: korupsi dalam penetapan penerima kuota impor dan praktik kartel dari pemberian kuota yang tidak transparan. Di hulu, pemerintah harus menggenjot produktivitas dan efisiensi budidaya bawang putih agar menekan disparitas harga domestik dan impor.

Langkah ini perlu dibarengi perubahan sistem pengendalian impor: dari rezim kuota ke rezim tarif. Rezim tarif selain transparan juga adil karena memberi peluang sama kepada semua pelaku usaha untuk mengimpor dengan membayar ketentuan tarif. Perolehan tarif masuk kas negara, tidak mengalir ke kantong pencoleng.

Penulis : Khudori

Anggota Pokja Dewan Ketahanan Pangan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×