kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Ilusi Neraca Transaksi Berjalan


Senin, 09 November 2020 / 15:31 WIB
Ilusi Neraca Transaksi Berjalan
ILUSTRASI.


Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - Di tengah wabah pandemi Covid-19 yang saat ini telah memasuki kuartal IV-2020, pemerintah berusaha semaksimal mungkin untuk menjaga kestabilan indikator-indikator ekonomi. Kementerian Keuangan memproyeksikan, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal IV-2020 akan membaik dan bisa tumbuh sekitar 0,31%. Adapun sepanjang tahun ini, laju ekonomi Indonesia diproyeksikan berkisar antara -1,7% hingga -0,6%.

Sebagai gambaran, pada kuartal III-2020, ekonomi Indonesia kembali berkontraksi atau minus 3,49% sehingga memasukkan ekonomi Indonesia ke dalam resesi. Sebab pada kuartal II-2020, ekonomi dalam negeri tercatat -5.3%.

Nah, salah satu prestasi yang harus diapresiasi adalah profil pada neraca transaksi berjalan. Berdasarkan laporan Tinjauan Kebijakan Moneter Bank Indonesia (BI) bulan Oktober 2020, BI memproyeksikan transaksi berjalan Indonesia mengalami surplus pada kuartal ketiga tahun 2020.

Proyeksi itu didasarkan pada pertumbuhan nilai ekspor yang diperkirakan terkontraksi lebih kecil dibanding dengan impor. Berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor diproyeksikan terkontraksi sebesar 6% sedangkan impor diperkirakan akan terkontraksi 29% pada kuartal III-2020. Surplus ini merupakan pertama kali sejak kuartal IV-2011.

Secara teori, stabilitas neraca transaksi berjalan diperlukan untuk mendukung perekonomian. Pertama sebagai salah satu komponen neraca pembayaran, nilai surplus/defisit neraca transaksi berjalan adalah perangkat estimasi permintaan/penawaran mata uang Rupiah di pasar internasional yang berpengaruh terhadap kestabilan nilai tukar. Selain itu, sebagai salah satu komponen pembentuk Produk Domestik Bruto (PDB), nilai surplus/defisit neraca transaksi berjalan

Secara empiris, neraca transaksi berjalan yang stabil dibutuhkan dalam mendukung perekonomian negara berkembang. Studi terbaru dari Gaeis pada 2020 menyebutkan bahwa kestabilan nilai tukar kunci membantu agar pertumbuhan investasi Foreign Direct Investment (FDI) dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi.

Studi Mendoca pada 2019 di 114 negara berkembang mengindikasikan fenomena exchange rate-pass through on inflation. Terdapat hubungan sangat kuat antara volatilitas kurs dengan tingginya tingkat harga, sehingga perlu stabilitas neraca transaksi berjalan.

Untuk Indonesia sendiri kestabilan nilai tukar menjadi krusial karena mayoritas impor Indonesia adalah bahan baku dan barang modal. Sejumlah US$ 45 miliar atau setara dengan 30% impor Indonesia adalah mesin dan perangkat elektronik di tahun 2019.

Oleh karena itu, defisit pada neraca transaksi berjalan akan menyebabkan pelemahan mata uang rupiah yang menyebabkan peningkatan biaya produksi akibat mahalnya bahan baku. Sehingga bisa dipahami jika kestabilan nilai tukar selalu menjadi agenda utama dari pemerintah melalui Bank Indonesia

Di balik surplus neraca

Setiap fenomena yang terjadi di tataran makro perekonomian terhubung dengan detail fenomena yang terjadi pada aspek mikro dan industri. Sejak pandemi Covid-19, aktivitas industri khususnya manufaktur dunia merosot tajam ditandai dengan turunnya Purchasing Manager Index (PMI) yang menyentuh angka terendah 26 pada April 2020. Level netral PMI berada pada kisaran 50.

Angka PMI ini terendah dalam 25 tahun terakhir. Dampak penurunan PMI global terasa dengan cepat di Indonesia dengan kontraksi nilai impor. Nilai impor non migas menurun drastis dari sekitar US$ 5,8 miliar kuartal II-2019 menjadi US$ 2,6 miliar di kuartal II- 2020 berkontribusi terhadap pembentukan surplus neraca.

Kondisi ini juga direspon oleh perusahaan pelayaran atau main line operators (MLO) dengan melakukan strategi blank sailing. Secara sederhana fenomena ini menggambarkan jadwal pelayaran yang dibatalkan atau beroperasi terbatas dibanding dengan frekuensi normal. Akibatnya, biaya pengangkutan kapal (freight rates) naik tajam sejak Mei 2020.

Berdasarkan data Bloomberg, kenaikan biaya pengangkutan kapal kontainer tercermin dari Container Freight Rate Composite yang naik 67% untuk semua rute pada Oktober dibandingkan dengan Mei 2020. Di beberapa rute gemuk seperti China-Amerika Serikat, kenaikan tarif bisa sangat ekstrem yaitu dari US$ 1.668 menjadi US$ 3.847 atau naik 131% per satu box container berukuran forty-foot equivalent unit (FEU).

Bagaimana hal ini berpengaruh terhadap komoditas ekspor Indonesia? Mengingat komoditas ekspor Indonesia umumnya memiliki nilai tambah yang relatif lebih rendah ketimbang komoditas impornya, saat ini jika pemerintah melakukan survei, para eksportir akan banyak mengeluhkan kelangkaan kontainer.

Kelangkaan ini memiliki arti harfiah bahwa karena volume impor yang turun menyebabkan ketersediaan box container terbatas. Namun terjadi tekanan kenaikan biaya angkut yang tidak mengkompensasi nilai tambah dari komoditas ekspor Indonesia. Sebagai gambaran, biaya angkut ekspor ke China yang biasanya hanya pada kisaran US$ 50/box twenty-foot equivalent unit (TEU) saat ini bisa mencapai US$ 180/box.

China sendiri adalah tujuan ekspor utama dengan proporsi 14.3% dari seluruh ekspor Indonesia. Yang lebih mengkhawatirkan adalah bahwa fenomena ketidakstabilan ini hingga 2021.

Kompleksitas ini semakin bertambah dengan fakta bahwa sebagaian besar termin pembayaran perdagangan dari dan ke Indonesia bersifat Free On Board (FOB) untuk ekspor dan Cost, Insurance, and Freight (CIF) untuk impor. Artinya daya tawar produsen di Indonesia sangat lemah dari dua sisi karena pembayaran dilakukan oleh importir dari luar negeri untuk komoditas ekspor kita dan eksportir di luar negeri untuk komoditas impor kita. Misalnya, jika importir melihat kenaikan freight rate masih tidak terkendali bisa jadi mereka akan menahan ekspor komoditas dari Indonesia. Apalagi secara umum harga komoditas stagnan atau malah turun untuk komoditas tertentu misalnya Cocoa pada Oktober 2020 ini.

Dua kemungkinan solusi: pertama pemerintah memberi subsidi produsen di Indonesia sehingga memiliki kemampuan mengubah termin pembayaran ekspor menjadi CIF. Tentu tidak ke semua eksportir, tapi berdasar pemetaan komoditas dan tujuan ekspor.

Dengan demikian komoditas ekspor utama dengan Revealed Comparative Advantage lebih dari 1 atau komoditas yang memiliki daya saing di pasar internasional tetap bisa terkirim meskipun biaya angkutnya mahal karena kelangkaan kontainer.

Kedua, memberi subsidi kepada operator pelayaran sehingga mampu melakukan repositioning (repo) kontainer kosong yang masih tertahan di beberapa tempat.

Kedua opsi ini memiliki konsekuensi anggaran. Namun demikian solusi ini bisa dilihat sebagai kebijakan yang lebih menangkap fenomena di lapangan lebih dari sekedar kebanggaan terhadap ilusi surplus neraca transaksi berjalan yang bersifat sementara.

Penulis :Ibrahim Kholilul Rohman dan As'ad Mahdi

Samudera Indonesia Research Initiative

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×