kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Imunitas atas jeratan hukum


Senin, 19 Maret 2018 / 14:36 WIB
Imunitas atas jeratan hukum


| Editor: Tri Adi

Di tahun politik, khususnya menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada) 2018, segala hal yang berkaitan dengan politik bisa menjadi isu besar. Yang terbaru, soal penetapan status tersangka pada calon kepala daerah yang sedang mengikuti pilkada. Pangkalnya, Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Wiranto mengimbau agar KPK menahan diri dalam menetapkan tersangka bagi para calon peserta pilkada.  

Alasan “imunitas” sementara itu tampaknya masuk akal. Cukup repot jika ada calon yang sudah ditetapkan, lantas belakangan terjerat hukum. Partai pendukung tidak memiliki pilihan untuk menarik calon, tetapi juga tidak ada opsi untuk menjadikan pasangannya ditarik menjadi nomor satu. Padahal, dalam mekanisme politik Indonesia, sebagian besar calon kepala daerah diusung oleh partai pendukung yang merepresentasikan suara rakyat.

Imunitas bagi calon kepala daerah ini memang bukan hal baru. Menjelang pilkada tahun 2015, ada kesepahaman (MoU) antara Bawaslu, Komisi Pemilihan Umum, Bareskrim Polri, dan Kejaksaan Agung soal pemberhentian proses hukum bagi calon yang tengah mengikuti kontestasi politik hingga pentahapan usai. Tujuannya untuk memastikan agar pilkada terhindar dari politisasi atau kriminalisasi terhadap seseorang dari lawan politiknya.

Sayangnya, MoU itu tidak bertahan lama. Dalam pilkada 2017, beberapa kasus hukum tetap saja jalan, meski cukup terang bahwa itu merupakan bagian dari strategi untuk menjatuhkan lawan politik. Basuki Tjahaja Purnama yang saat itu maju sebagai Gubernur DKI Jakarta periode kedua, tetap terjerat kasus penistaan agama di saat proses pemilihan gubernur dan wakil gubernur bergulir.

Karena itu, imbauan untuk menerapkan imunitas bagi para calon kepala daerah dalam proses pemilihan menjadi sangat lemah, apalagi tanpa ada dasar hukum. Tetap ada pertanyaan, fasilitas imunitas itu demi kepentingan politik atau kepentingan penegakan hukum?

Di sisi lain, desakan untuk menerapkan imunitas juga menunjukkan bahwa para calon kepala daerah tidak semuanya bersih. Seandainya memang tidak ada masalah dengan hukum, tidak ada alasan untuk takut, bahkan minta perlakuan khusus. Jika memang bersih dan tak melanggar hukum, serangan politik lewat bidikan hukum pun bisa ditangkis.

Justru jika ada imunitas, unsur kepentingan politiknya jauh lebih kental. Timbul kesan bahwa proses pilkada dimanfaatkan sebagai kesempatan untuk mengulur waktu atas proses hukum yang terjadi. Kalau akhirnya calon itu menang, setidaknya, posisi tawarnya untuk hak imunitas lanjutan sebagai pejabat menjadi lebih kuat.

Tren pejabat yang minta kekebalan ini sudah tampak dari lolosnya revisi Undang-Undang No. 17/ 2014 tentang MD3. Dalam pasal 245 ayat (1) disebutkan, pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)  sehubungan tindak pidana harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan dari Majelis Kehormatan Dewan (MKD). Ringkasnya, jeratan hukum dipersulit.

Tampaknya, jabatan politik sudah kembali dijadikan posisi aman yang tak ingin disentuh oleh hukum. Dengan kata lain, alih-alih dipakai sebagai sarana mewujudkan tanggung jawab kepada rakyat, justru jabatan itu menjadi tameng untuk melindungi diri dari jeratan hukum. Artinya, posisinya tak ingin setara dengan yang lain di hadapan hukum.

Untuk kepentingan politik, dalam praktiknya hukum bisa saja dimanfaatkan. Tetapi, demi kepentingan politik pula lantas hukum dianggap tiada, itu jauh lebih parah. Jika jalannya benar, seharusnya orang tak takut pada jeratan hukum. Bukan menghindari, ia malah menghadapi.       

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×