kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.508.000   10.000   0,67%
  • USD/IDR 15.930   -61,00   -0,38%
  • IDX 7.141   -39,42   -0,55%
  • KOMPAS100 1.095   -7,91   -0,72%
  • LQ45 866   -8,90   -1,02%
  • ISSI 220   0,44   0,20%
  • IDX30 443   -4,74   -1,06%
  • IDXHIDIV20 534   -3,94   -0,73%
  • IDX80 126   -0,93   -0,74%
  • IDXV30 134   -0,98   -0,72%
  • IDXQ30 148   -1,09   -0,73%

Indonesia dan Mobil Listrik


Rabu, 02 Desember 2020 / 06:58 WIB
Indonesia dan Mobil Listrik
ILUSTRASI.


Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - Salah satu imajinasi seabad negeri tahun 2045 adalah ketika mobil listrik lalu-lalang di jalan raya menjadi pemandangan biasa. Seabad kemerdekaan, kita membayangkan adanya "revolusi" besar di bidang transportasi ketika mobil listrik menjadi faktor penting dalam mobilitas warga. Moda transportasi bukan sekadar kemudahan dalam bergerak, tapi juga menjadi penanda peradaban.

Seperti bunyi pepatah Prancis, LHistoire se Rpte, pada awal Abad 20, negeri kita sudah kedatangan kendaraan roda empat yang berjalan tanpa ditarik oleh kuda. Dalam sejarahnya, kehadiran mobil telah memicu dinamika di sektor lain, seperti pendidikan, pengetahuan, gaya hidup, bisnis, dan seterusnya. Mungkinkah keberadaan mobil listrik akan memberi stimulus yang sama seperti mobil di abad yang telah lewat?

Meski sifatnya masih proyeksi, kita perlu optimis melihat peluang pengembangan mobil listrik, karena sejak dulu masyarakat kita selalu update terkait elemen modernitas khususnya moda transportasi. Kemunculan mobil listrik akan mendapat sambutan positif dari masyarakat.

Dalam soal timeline penggunaan mobil listrik, kita bisa mengambil contoh perbandingan dari Eropa. Pada tahun 2040 di hampir seluruh negara Eropa, kendaraan berbahan bakar fosil (BBM) akan dilarang. Bahkan target Belanda dan Norwegia lebih progresif, tahun 2025 menjadi tenggat waktu penjualan kendaraan pemapar emisi karbon.

Masalah utama mobil listrik saat ini adalah soal harga yang relatif masih tinggi untuk ukuran rata-rata konsumen Indonesia. Sebut saja mobil listrik produksi Korea Selatan, merek Hyundai, dalam iklan yang sudah beredar dipatok dengan harga kisaran Rp 600 juta per unit. Sementara segmen terbesar konsumen otomotif Indonesia, sekitar 60% adalah mereka yang mencari mobil dengan harga di bawah Rp 300 juta per unit.

Untuk itu perlu sinergi kebijakan antar kementerian dan lembaga agar menciptakan atmosfer kondusif bagi pengembangan industri mobil listrik. Misalnya, Kementerian Keuangan bisa mengambil peran dengan menjanjikan insentif pajak bagi para calon pembeli mobil listrik.

Keringanan pajak merupakan stimulus agar mobil listrik cepat dilirik konsumen karena harganya menjadi lebih terjangkau. Bisa juga berupa afirmasi, ketika ada kewajiban kendaraan dinas di kantor kementerian atau lembaga mulai mempercepat transisinya untuk menggunakan mobil listrik.

Dari segi gaya hidup, masyarakat kita sudah cukup siap merespons mobil listrik atau electric vehicle (EV), khususnya bagi kalangan kelas menengah perkotaan. Berdasarkan tren kesadaran mengenai udara bersih maupun sikap yang pro-lingkungan, keberadaan EV akan mendorong pengurangan emisi karbon. Mobil listrik tidak mengeluarkan karbon (asap knalpot) seperti mobil dengan energi fosil.

Masyarakat kita juga terbukti cepat dalam adaptasi tren global. Ketika mobil merek Ford dirilis pada awal abad 20, hanya dalam beberapa tahun beberapa unitnya sudah menjelajah jalanan tanah jajahan Hindia Belanda. Sejumlah figur publik seperti Paku Buwono X (Sultan Surakarta) atau Oei Tiong Ham (Raja Gula), tercatat sebagai pemilik awal mobil tersebut.

Peranan PLN

Sebagai leading sektor energi listrik, keterlibatan PLN dalam pengembangan mobil lisrik, telah memelopori pembangunan sejumlah stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU), yang salah satunya terletak di kantor pusat PT PLN.

Pendirian SPKLU untuk mempermudah akses pemilik mobil listrik men-charge baterai mobil listriknya. Di samping SPKLU, ada lagi unit pendukung mobil listrik yang disebut SPBKLU (stasiun penukaran baterai kendaraan listrik umum).

Pengadaan SPKLU dan SPBKLU merupakan implementasi dari penerbitan Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik berbasis baterai untuk transportasi jalan. Regulasi ini menjadi pendorong bagi pemangku kepentingan untuk akselerasi pemakaian mobil listrik.

Dalam konteks ini, pertengahan Agustus lalu, tiga BUMN sepakat menjalin kerja sama yakni PLN, Pertamina, PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum). Kerja sama ini sebagai bentuk respons kelembagaan dalam transisi menuju EV. Inalum akan bergerak di sektor hulu, terkait potensi nikel dan kobalt sebagai bahan baku utama baterai listrik. Sementara PLN akan fokus di hilir sebagai distributor yang langsung berhubungan dengan pengguna. Pertamina ada di tengah-tengah di proses itu.

Dukungan kelembagaan juga disampaikan Menteri Riset dan Teknologi Bambang Brodjonegoro, yang menyampaikan mobil listrik masuk dalam Prioritas Riset Nasional (PRN). Dukungan regulasi dan kelembagaan pada akhirnya bermuara pada kepentingan konsumen EV, utamanya soal harga yang kompetitif dan kemudahan akses memperoleh baterai mobil listrik. Dalam soal hilirisasi EV dan baterai, PLN dalam posisi strategis, berada dalam ruang yang berhubungan dengan pengguna.

Ada optimisme harga mobil listrik akan semakin kompetitif ke depan. Dalam satuan harga mobil listrik, harga baterai mencakup sepertiganya. Semisal harga mobil listrik Rp 600 juta, berarti harga baterainya kisaran Rp 200 juta. Artinya kalau harga baterai bisa ditekan, harga mobil listrik akan ikut turun. Kerja sama PLN bersama Pertamina dan Inalum, bisa dibaca dalam semangat agar harga mobil listrik semakin ekonomis.

Pengembangan kendaraan listrik di Indonesia harus diperkuat dengan pembangunan industri baterai di dalam negeri. Ada empat unsur logam sebagai komponen baterai kendaraan listrik, salah satunya adalah nikel yang melimpah, khususnya di Morowali (Sulawesi Tengah), Konawe (Sulawesi Tenggara), dan Halmahera (Maluku Utara). Keberadaan kandungan nikel menjadi modal signifikan pembangunan industri baterai listrik di Indonesia.

Selain nikel, ada tiga unsur logam lain sebagai komponen baterai, yaitu kobalt, mangan dan litium. Dari keempat logam tersebut, yang saat ini belum tersedia di Indonesia, adalah litium. Dua jenis baterai keluaran perusahaan dari China, yaitu Contemporary Amperex Technology Co Ltd (CATL), bisa menjelaskan soal komposisi logam tersebut.

Pertama adalah baterai Lithium Nickel Cobalt Mangan (NCM) 811, merek baterai ini sekaligus menjelaskan komposisi logamnya: yang terdiri dari 80% nikel, 10% kobalt, dan 10% mangan. Kedua adalah baterai NCM 523, dengan komposisi hampir sama: yakni mengandung 50% nikel, 20% kobalt, dan 30% mangan. NCM 811 adalah versi yang lebih baru lagi dari versi NCM 523, yang terlihat dari kandungan nikelnya lebih tinggi.

Di Indonesia belum ditemukan ceruk potensial bijih litium, masih pada fase indikasi dan penelitian. Namun untuk nikel dan kobalt, Indonesia adalah salah satu negara dengan cadangan terbesar di dunia, termasuk mangan, yang tersebar di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT). Dengan potensi pasar mobil listrik, disertai dengan cadangan nikel dan kobalt yang melimpah di negeri ini, kita boleh optimistis, dalam lima atau sepuluh tahun mendatang, Indonesia akan menjadi pemain global yang memiliki posisi menentukan dalam industri baterai dan mobil listrik dunia.

Penulis : Eko Sulistyo

Komisaris PT PLN (Persero)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×