kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Indonesia dan perangkap pendapatan menengah


Jumat, 30 Agustus 2019 / 11:35 WIB
Indonesia dan perangkap pendapatan menengah


Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi

Memasuki periode kedua pemerintahannya, banyak pihak berharap Presiden Joko Widodo (Jokowi) lebih menguatkan pondasi ekonomi nasional agar dapat menghindarkan Indonesia dari perangkap pendapatan menengah atau middle income trap (MIT). Jika tak ada perubahan pengelolaan ekonomi yang berarti, peluang Indonesia untuk bisa lolos dari jerat pendapatan menengah hanya 18% (Basri, 2016).

Sejauh ini, meski ekonomi tumbuh, capaian perkembangan ekonomi nasional tidak secepat negara lain. Dibandingkan dengan Malaysia, Thailand dan Korea Selatan, Indonesia cukup jauh tertinggal. Padahal, pada awal kemerdekaan, tingkat kesejahteraan ketiga negara hampir sama. Bahkan, China yang lebih miskin pada periode 1960-an, pendapatan per kapitanya sejak 1998 sudah menyusul Indonesia. Untuk itu, bukan hanya perbaikan, tapi percepatan dari perbaikan menjadi isu penting bagi Indonesia agar tak makin tertinggal

Perlu diketahui, alih-alih persoalan decreasing return dari akumulasi kapital, justru perlambatan produktivitas yang menurut Vivareli (2014) menjadi faktor utama penyebab negara terjerat MIT. Untuk itu, fokus pada upaya pembenahan Sumber Daya Manusia (SDM), transformasi struktural, dan inovasi merupakan solusi atas permasalahan MIT.

Dalam operasionalnya, kapasitas inovasi, daya produktivitas dan kelancaran proses transformasi struktural hanya dapat ditingkatkan melalui peningkatan kualitas SDM. Hal ini pada akhirnya sangat bergantung pada kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan dan kesehatan.

Persoalannya, meski porsi alokasi anggaran pendidikan cenderung meningkat, akan tetapi kualitas SDM Indonesia masih jauh dari optimal. Tingginya angka putus sekolah di Indonesia menjadi salah satu indikasinya. Saat ini diketahui 30 dari 100 anak usia 16-18 tahun di Indonesia tidak bersekolah (SMA/SMK).

Hal ini secara agregat dikonfirmasi oleh data rata-rata lama sekolah (RLS) Indonesia yang menunjukkan tren pertumbuhan yang lambat. Untuk laki-laki, RLS pada 2018 tercatat sebesar 8,56 tahun. Sementara RLS kelompok perempuan relatif lebih rendah, yakni 7,72 tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa, secara rata-rata, masyarakat Indonesia hanya mengenyam pendidikan setingkat SMP. Ini artinya, program wajib belajar 9 tahun yang dicanangkan sejak 1984 belum berjalan maksimal ke seluruh wilayah di Indonesia.

Masih terbatasnya akses pendidikan membuat komposisi angkatan kerja Indonesia lebih didominasi tenaga kerja berpendidikan rendah. Kondisi ini makin diperparah dengan fokus dunia pendidikan Indonesia yang lebih menekankan pada kemampuan akademis, bukan soft skill. Alhasil, lebih dari 55% angkatan kerja yang lulus pendidikan formal tidak memiliki kompetensi khusus. Akibatnya, produktivitas tenaga kerja Indonesia jadi tak kompetitif, termasuk bila dibandingkan dengan sesama negara ASEAN lain seperti Malaysia, Thailand, dan Vietnam.

Dari sisi kesehatan, kualitas tenaga kerja di masa depan juga berpotensi tak kompetitif mengingat masih tingginya prevalensi tengkes (stunting) di Indonesia. Laporan Riset Kesehatan 2018 menunjukkan prevalensi tengkes Indonesia mencapai 30.8%, jauh melampaui prevalensi tengkes dunia sebesar 21%.

Dengan prevalensi tengkes sebesar ini, Indonesia tergolong ke dalam kelompok negara dengan kondisi tengkes terburuk di dunia bersama dengan negara-negara kawasan Afrika Sub-Sahara.

Secara medis, tengkes berbahaya karena dapat mengakibatkan perkembangan otak menjadi tidak maksimal. Alhasil, kemampuan mental dan belajar dari anak yang mengalami ini akan cenderung melemah dan memiliki prestasi sekolah yang buruk.

Peran institusi pemerintah

Situasi pendidikan dan kesehatan yang belum optimal ini akan mempersulit Indonesia untuk keluar dari situasi MIT dengan mulus. Sebab, Indonesia tidak lagi bisa mengandalkan strategi pertumbuhan ekonomi berbasis sumber daya alam dan tenaga kerja murah.

Agar mampu keluar dari MIT, daya saing ekonomi tidak lagi dibangun atas hal-hal yang mudah untuk ditiru, seperti buruh murah. Melainkan didasarkan atas diferensiasi produk yang ditopang oleh keberadaan sektor industri yang tangguh dengan kemampuan inovasi yang tinggi.

Selain itu, kemampuan mengenali potensi pasar ekspor baru juga sangat penting untuk mengurangi risiko perdagangan internasional. Kemampuan inovasi, baik dalam konteks untuk menghasilkan produk-produk baru maupun pasar baru, sangat diperlukan bagi Indonesia agar mampu keluar dari situasi MIT.

Yang tidak kalah pentingnya bagi Indonesia untuk terhindar dari MIT adalah pembenahan faktor institusional. Belajar dari kasus banyak negara, kualitas institusi yang rendah, seperti yang ada di kawasan Sub Sahara Afrika, yang akhirnya memicu bergejolaknya kondisi sosial politik di kawasan tersebut. Hal ini menjadi alasan utama mengapa negara kawasan ini tidak mampu membangun ekonominya, bahkan, terus tergolong sebagai negara miskin sejak tahun 1950 sampai saat ini.

Institusi memainkan peran yang penting sebab keberadaannya menyediakan struktur insentif tertentu yang akan menentukan pola interaksi sosial, ekonomi dan politik individu dan organisasi. Dalam perspektif ekonomi, institusi yang efektif akan menentukan biaya transaksi (North, 1991).

Dalam hal ini, keberadaan institusi yang efektif akan meningkatkan cooperative solution, sehingga dapat mengurangi biaya transaksi dan biaya produksi. Karena itu, manfaat potensial dari adanya perdagangan akan dapat direalisasikan.

Persoalannya, belakangan ini kualitas institusi Indonesia justru menunjukkan tren pemburukan. Penegakan hukum, kualitas regulasi, akuntabilitas, hak sipil dan government index. Berdasarkan laporan Bank Dunia, masih menunjukkan nilai negatif, yang berarti kualitas institusi Indonesia masih berada di level yang rendah dan belum kondusif menopang pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan.

Dengan keadaan institusional yang belum kondusif, Indonesia akhirnya belum mampu mereduksi praktik kronisme secara optimal. Praktik yang dianggap sebagai ciri Orde Baru, yang membuat ekonomi menjadi tak efisien, ternyata masih menjadi bagian inheren dalam perekonomian nasional sampai sekarang. Tercermin dari angka crony-capitalism index Indonesia yang buruk, yakni menempati posisi terburuk ketujuh dari 22 negara yang disurvei oleh The Economist.♦

Aulia Keiko Hubbansyah
Pengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Pancasila Jakarta

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×