kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.313.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Indonesia menuju ekonomi pascakarbon


Kamis, 29 Agustus 2019 / 12:00 WIB
Indonesia menuju ekonomi pascakarbon


Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi

Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik merupakan momentum bagi Indonesia menuju ekonomi paska karbon. Perpres tersebut sebagai langkah maju mewujudkan mimpi besar penggunaan energi yang lebih bersih, efisien, dan tidak lagi tergantung pada bahan bakar hidro-karbon.

Transisi menuju ekonomi pascakarbon sudah menjadi bahasan hangat semenjak beberapa dekade terakhir. Hal ini tidak lepas dari fenomena pemanasan global akibat perubahan iklim.

Tertuduh utama penyebab krisis iklim tersebut diantaranya adalah penggunaan bahan bakar berbasis fosil. Diperkirakan 80% emisi karbon berasal dari konsumsi energi fosil. Makanya, Perpres percepatan program kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (battery electric vehicle) untuk transportasi jalan tersebut merupakan wujud riil komitmen Indonesia mendukung penurunan emisi gas rumah kaca.

Sejatinya, komitmen Indonesia dalam mereduksi emisi global cukup ambisius. Melalui kontribusi nasional diniatkan (Nationally Determined Contribution/NDC) yang disepakati pada Konferensi Perubahan Iklim di Paris tahun 2015, akan diupayakan untuk menekan emisi gas rumah kaca hingga 29% secara mandiri, dan 41% dengan bantuan asing pada tahun 2030. Ambisi besar ini tentu saja memerlukan peta jalan bagaimana memenuhi komitmen tersebut.

Untuk menuju ke sana, Indonesia telah memiliki Undang-Undang (UU) No. 6 tahun 2016 tentang Pengesahan Persetujuan Paris. Pemerintah juga menginisiasi pengarus-utamaan pembangunan rendah karbon dalam program pembangunan jangka menengah 2020-2024. Inisiatif ini bertujuan mengintegrasikan target pengurangan emisi gas rumah kaca ke dalam berbagai kebijakan pemerintah berserta intervensi yang diperlukan untuk melestarikan dan merestorasi sumber daya alam.

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mencanangkan lima kebijakan utama pembangunan rendah karbon: penggunaan energi baru dan terbarukan, perlindungan hutan dan restorasi gambut, pengelolaan sampah industri dan rumah tangga, peningkatan produktivitas pertanian, serta perbaikan tata kelola dan kelembagaan. Tantangan yang menghadang adalah bagaimana rezim pembangunan rendah karbon, yakni segala aktivitas ekonomi dengan meminimalisir pelepasan karbon ke atmosfer tidak menegasikan pertumbuhan ekonomi.

Ketakutan terbesar hijrah menuju ekonomi pascakarbon adalah keberlanjutan pertumbuhan ekonomi. Memang dalam jangka pendek ada peluang penurunan aktivitas ekonomi berbarengan dengan reduksi emisi. Namun, penundaan langkah transisi juga akan berakibat pada melesetnya target dan ancaman bencana iklim yang tak terbayangkan.

Sementara itu, pendekatan pembangunan yang ditempuh Indonesia saat ini dinilai belum berwawasan lingkungan. Dalam jangka panjang model pembangunan seperti ini berpotensi membatasi pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja.

Transisi energi

Mengingat energi merupakan instrumen vital bagi pembangunan ekonomi, adopsi kebijakan energi baru dan terbarukan (EBT) mutlak diperlukan untuk mempercepat transisi menuju ekonomi pascakarbon. Sebenarnya Indonesia telah mencanangkan transisi energi ini sejak tahun 2014. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkan target sebesar penggunaan energi sebesar 23% dari energi baru dan terbarukan pada 2025.

Setidaknya ada tiga alasan mengapa Indonesia harus mengembangkan energi baru dan terbarukan. Pertama, karena fenomena perubahan iklim dimana Indonesia, sebagai negara kepulauan, sangat rentan terhadap dampak krisis Iklim. Laporan IPCC (2018) misalnya, memberikan peringatan keras bahwa suhu bumi akan mencapai batas krusial 1,5 derajat celsius (dibandingkan dengan masa pra-revolusi industri) pada awal 2030-an. Dampak bagi umat manusia adalah risiko kekeringan ekstrem, kebakaran hutan, banjir, dan kelangkaan pangan bagi jutaan orang.

Bagi Indonesia, dampak perubahan iklim seperti pola hujan tidak teratur, kekurangan air bersih, dan meningkatnya muka air laut tidak semata berpengaruh terhadap kondisi biologis lingkungan namun juga kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Kerusakan terbesar diproyeksikan terjadi di sektor pertanian, zona pesisir, dan kesehatan.

Kedua, diversifikasi energi. Dengan pengembangan energi baru dan terbarukan seperti pembangkit listrik tenaga surya, tenaga panas bumi, dan tenaga bayu akan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar tradisional energi fosil. Dengan demikian, impor bahan bakar minyak bisa ditekan.

Ketiga, meningkatnya kesadaran konsumen terhadap isu kesehatan dan kualitas hidup seperti reduksi polusi udara. Hal ini mendorong mereka untuk memilih produk energi ramah lingkungan. Data paparan polusi udara yang dikeluarkan OECD misalnya, mencatat bahwa Jakarta memiliki tingkat polusi tertinggi dalam satu dekade terakhir disusul wilayah Sumatera dan Kalimantan terutama pada saat kebakaran hutan.

Sayangnya, banyak pihak meragukan kesuksesan program transisi energi tersebut. Laporan AT Kearney berjudul Indonesias Energy Transition: A Case of Action (2019) memperkirakan penggunaan energi terbarukan hanya akan mencapai 12% pada tahun 2025, jauh dari target 23%. Menurut laporan ini, permasalahan yang menghadang pengembangan energi baru dan terbarukan adalah kendala teknologi, ketidakpastian regulasi, kelangkaan pendanaan, dan konflik kepentingan tentang peran PLN.

Di antara negara-negara anggota G-20, Indonesia ternyata juga tertinggal jauh dalam pengembangan zero carbon. Kendati telah melakukan dekarbonisasi, namun upaya yang dilakukan belum cukup memadai untuk mencapai target Kesepakatan Paris. Merujuk pada laporan berjudul Brown to Green (2018), kebijakan sektoral belum konsisten dengan Kesepakatan Paris terutama terkait pembangkit listrik batu bara, efisiensi energi industri, dan deforestasi.

Menuju mazhab pembangunan rendah karbon mensyaratkan orkestrasi kerja dan komitmen segenap pihak baik pemerintah, kalangan bisnis, maupun masyarakat sipil. Rencana dan implementasi kebijakan sektoral masih sering berseberangan dengan arah pembangunan rendah karbon. Misalnya, alih-alih menekan pemakaian batubara untuk pembangkit listrik, porsi batu bara justru ditingkatkan ke 30% alias dua kali lipat secara absolut dibanding tahun 2015 (OECD, 2019).

Kesenjangan emisi yakni gap antara target penurunan emisi dan aksi reduksi gas rumah kaca memerlukan langkah berani dari sisi regulasi. Perbaikan kebijakan tersebut diperlukan untuk dapat mencapai target yang dijanjikan dalam Kesepakatan Paris. Prioritas utama perlu difokuskan pada bagaimana meningkatkan daya tarik investasi energi baru dan terbarukan melalui penyederhanaan izin untuk pembangkit energi terbarukan.♦

Arif Budi Rahman
Peneliti Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×