kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Industri aluminium kelas dunia


Selasa, 03 September 2019 / 13:35 WIB
Industri aluminium kelas dunia


Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi

Indonesia merupakan negara yang dikaruniai sumber daya alam yang melimpah, salah satunya sumber daya bijih bauksit. Menurut data Kementerian ESDM, sumber daya bijih bauksit Indonesia pada 2017 mencapai 3,05 miliar ton dengan cadangan terkira dan terbukti 1,6 miliar ton.

Data lain dari US Geological Survey menempatkan Indonesia di peringkat ke-6 dari seluruh negara di dunia yang memiliki cadangan bauksit terbesar. Sumber daya bauksit yang cukup besar ini dapat menjadi modal utama dalam pembangunan industri aluminium kelas dunia.

Selain itu, permintaan aluminium domestik pun terus tumbuh seiring pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan penduduk.

Menurut data World Bureau of Metal Statistics (WBMS), konsumsi aluminium primer Indonesia periode 2015, 2016 dan 2017 konsisten tumbuh positif yakni 9,04%, 11,4% dan 4,7%. Ke depan, Inalum memperkirakan proyeksi konsumsi aluminium primer domestik pada periode 2019 2026 akan tumbuh di kisaran 4% 8% setiap tahun.

Namun hal yang patut menjadi catatan adalah konsumsi aluminium domestik yang terus tumbuh ini tidak diimbangi peningkatan kapasitas produksi aluminium domestik. Akibatnya, volume impor aluminium terus meningkat dan neraca perdagangan produk aluminium Indonesia cenderung terus melebar. Pada 2008, defisit neraca produk aluminium Indonesia hanya US$ 0,4 miliar. Pada 2018, angka defisit neraca perdagangan aluminium meningkat menjadi US$ 1,4 miliar.

Dibagi menurut rantai nilai industri aluminium, Indonesia saat ini unggul pada ekspor bijih bauksit dan ekspor alumina. Indonesia sudah terkenal sebagai pengekspor bijih mineral termasuk bauksit. Namun untuk ekspor alumina, Indonesia baru mencatatkan surplus selama dua tahun terakhir yakni pada 2017 dan 2018.

Patut kita apresiasi, kebijakan larangan ekspor bijih mineral yang memaksa dibangunnya smelter pengolahan bauksit menjadi alumina di domestik akhirnya mampu memperbaiki neraca perdagangan Indonesia pada produk alumina. Beberapa smelter yang dibangun untuk mengolah bijih bauksit mulai beroperasi pada 2017 dan 2018. Sebelumnya pada periode 2008 2016, produk alumina selalu mencatatkan defisit dengan rata-rata sebesar US$ 166,1 juta per tahun. Pada 2017 dan 2018, surplus perdagangan produk alumina mencapai US$ 179,9 juta dan US$ 240,4 juta.

Namun kita masih perlu memperbaiki neraca perdagangan produk aluminium di tahapan rantai nilai aluminium smelting dan aluminium forming and application yang semuanya adalah tergolong intermediate product.

Tahapan aluminium smelting akan menghasilkan produk aluminium ingot yang kemudian diolah kembali oleh industri aluminium forming and application menjadi intermediate product seperti aluminium bars, rods, cable, tubes, plates, sheets dan strips. Pada 2018, defisit perdagangan terbesar terjadi pada aluminium ingot yang mencapai US$ 447,3 juta.

Ke depan, kita harus mendorong pengembangan industri aluminium smelting dan aluminium forming and application untuk mengurangi defisit neraca perdagangan produk aluminium. Kunci pengembangan aluminium smelting adalah tersedianya energi dalam jumlah besar dan memiliki biaya energi yang murah. Sebagai contoh, Inalum sebagai satu-satunya produsen aluminium ingot domestik relatif dapat bersaing karena menggunakan energi yang relatif murah yakni menggunakan energi yang berasal dari PLTA Asahan.

Jika energi listrik yang digunakan berbasis energi batubara, gas ataupun BBM, maka biaya energi untuk memproduksi aluminium ingot akan meningkat signifikan. Sebagai patokan, menurut data PLN, biaya produksi listrik per KWh berbasis air hanya Rp 26 per kilowatt hour (kwh). Sedangkan batubara, gas dan BBM memiliki biaya lebih tinggi yakni mencapai Rp 422 (batubara), Rp 1.170 (gas alam), Rp 5.239 (BBM) per kwh.

Oleh karena itu, pemerintah perlu mempertimbangkan membangun kawasan industri yang mengandalkan energi yang relatif murah seperti PLTA untuk mengembangkan industri pemurnian aluminium ataupun industri pemurnian mineral lainnya karena karakteristik industri pemurnian mineral adalah membutuhkan energi relatif besar. Jika memungkinkan, pemerintah dapat membundel insentif antara investasi PLTA dan industri pemurnian mineral agar menarik minat investor.♦

Adjie Harisandi
Analis Industri Bank Mandiri

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×