kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Inilah laboratorium politik kita


Jumat, 24 Mei 2019 / 14:42 WIB
Inilah laboratorium politik kita


Reporter: Hasbi Maulana | Editor: Tri Adi

Banyak orang menganggap kerusuhan pada 2122 Mei 2019 kemarin telah mencoreng pesta lima tahunan rakyat Indonesia. Bentrokan antara aparat keamanan dengan para perusuh mengonfirmasi kekhawatiran akan adanya kericuhan yang telah lama menggelayuti benak sebagian masyarakat.

Bukan rahasia lagi bahwa sejak Pemilihan Gubernur DKI 2017 lalu sebagian masyarakat mengkhawatirkan bakal panasnya suhu politik pemilu serentak 2019, terutama pemilihan presiden. Perkubuan yang semakin hari kian meruncing antarpendukung kandidat presiden seolah jadi pertanda kuat bahwa suatu saat kekerasan akan pecah. Dan, kekhawatiran itu terbukti benar.

Sejak lepas dari era orde baru, sudah lima kali Indonesia menyelenggarakan pemilu. Empat kali di antaranya, selain memilih anggota parlemen, rakyat memilih presiden dan wakil presiden secara langsung. Sebuah kemewahan demokrasi yang bahkan belum berani diimpikan sebagian penduduk bumi.

Sayangnya, dua pemilu terakhir (2014 dan 2019) tak terlalu layak disebut sebagai pesta yang seharusnya penuh keceriaan. Kalaupun kita memaksa diri tetap menyebutnya sebagai "pesta", seolah pesertanya kebanyakan menenggak alkohol. Narasi politik sebagian politisi dan kelompok-kelompok penggembira yang bersaing tak ubahnya ucapan orang-orang yang mabuk: tak terkendali, lupa kesopanan, tak menghiraukan akibat yang timbul.

Setiap kali pemilu berlangsung, selalu ada kelompok pemilih yang disebut pemilih pemula. Mereka adalah warga negara yang hendak menggunakan hak pilih untuk pertama kali, berusia 17 tahun21 tahun. Pada pemilu kali ini, porsi pemilih pemula tersebut sekitar 20 juta orang atau sekitar 10% dari total pemilih yang terdaftar.

Para pemilih pemula ini belajar berdemokrasi bukan hanya dari pelajaran sekolah atau mata kuliah, melainkan juga dari praktik di laboratorium kehidupan bernegara bernama pemilu. Seluruh tahapan pemilu (pencalonan kandidat, kampanye, hari pemilihan, rekapitulasi suara, penyelesaian sengketa, hingga pelantikan) adalah praktikum politik bagi warga negara muda.

Nah, kini, kira-kira, apa yang ada dalam benak mereka setelah "mempelajari" dua kali pemilu (dan beberapa kali pilkada) yang sarat perkubuan dan perpecahan? Tidakkah mereka jadi apatis karena praktik demokrasi bertolak belakang dengan pelajaran di kampus dan sekolah? Atau, mereka belajar berpolitik dengan saling menyakiti?♦

Hasbi Maulana

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×