kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,51   7,16   0.77%
  • EMAS1.335.000 1,06%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Inklusi Keuangan dan Budaya Non-Tunai


Kamis, 21 November 2019 / 06:08 WIB
Inklusi Keuangan dan Budaya Non-Tunai


Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - Akses layanan keuangan formal kini bukanlah barang langka. Informasi tentang produk jasa finansial juga semakin mudah diperoleh dan dipahami. Demikian kesimpulan ringkas dari Survei Nasional Literasi Keuangan 2019 yang baru dirilis oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) beberapa waktu lalu.

Hasil survei menunjukkan indeks inklusi keuangan mencapai 76,19% dan indeks literasi keuangan 38,03%. Artinya, baru 76 dari 100 orang penduduk Indonesia yang sudah terhubung dengan layanan keuangan formal. Sementara itu, ada 38 orang diantaranya yang memiliki pemahaman yang baik tentang produk finansial.

Setidaknya ada dua hal menarik yang ditorehkan dari hasil survei ini. Pertama, angka tersebut melampaui sasaran yang dicanangkan pemerintah. Peraturan Presiden (Perpres) No 82/2016 tentang Strategi Nasional Keuangan Inklusif menyebut target inklusi keuangan tahun 2019 sebesar 75%.

Kedua, terdapat lonjakan yang cukup tinggi dan berimbang dibandingkan hasil survei tiga tahun silam. Kala itu, indeks inklusi keuangan dan literasi keuangan sebesar 67,8% dan 29,7% . Kenaikan sekitar 8% untuk masing-masing indeks mengindikasikan dorongan perluasan akses dan edukasi keuangan telah dilakukan secara proporsional.

Hasil survei ini praktis menjadi titik awal yang baik bagi kabinet pemerintahan baru dalam menyusun strategi ekonomi ke depan. Pasalnya, topik inklusi keuangan berkaitan erat dengan upaya menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Terbukanya akses keuangan akan mengubah kebiasaan pengelolaan keuangan rumah tangga. Muara akhirnya tentu ialah pergeseran perilaku konsumtif ke produktif, termasuk investasi produk keuangan.

Mengutip pernyataan mantan Presiden Bank Dunia, Jim Yong Kim bahwa inklusi keuangan memungkinkan seseorang menabung untuk kebutuhan keluarga, meminjam untuk mendukung bisnis, atau membangun bantalan terhadap keadaan darurat. Memiliki akses layanan keuangan merupakan langkah yang penting untuk mengurangi kemiskinan dan ketidaksetaraan.

Sejumlah bukti empiris turut mendukung hipotesis tersebut. Studi Bank Dunia menemukan peningkatan inklusi keuangan sebesar 1% akan mendongkrak pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) per kapita sebesar 0,03%. Selain itu, kenaikan 20% tingkat inklusi keuangan akan membuka 1,7 juta lapangan kerja baru.

Pencapaian inklusi keuangan tahun ini sejatinya sudah terprediksi sebelumnya. Kunci utama keberhasilannya ialah terobosan pemerintah melalui program non tunai. Misalnya, elektronifikasi pembayaran jalan tol, kewajiban transaksi non tunai pemerintah daerah (pemda), dan penyaluran bantuan sosial (bansos) non tunai. Terbitnya ketentuan ini sejalan dengan semangat Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) yang diusung Bank Indonesia (BI).

Hasil riset Mastercard berjudul "A Progressive Approach to Financial Inclusion" mengonfirmasi argumen di atas. Harus diakui cara ini terbilang paling efektif untuk menggenjot tingkat inklusi keuangan. Dengan adanya kewajiban bertransaksi non tunai, masyarakat yang sebelumnya tidak memiliki rekening tabungan "dipaksa" untuk membuka diri terhadap layanan jasa perbankan. Apalagi, tingkat adopsi alat pembayaran non tunai cenderung lebih tinggi dibandingkan produk jasa finansial lainnya, seperti asuransi, deposito, reksadana, dan kredit.

Bak gayung bersambut, perbankan berpeluang menangkap kesempatan ini untuk meningkatkan kinerjanya. Dengan bertambahnya basis data nasabah, perbankan dapat memanfaatkannya sebagai dasar penilaian kelayakan dan kemampuan calon debitur sebelum kredit disalurkan. Dengan demikian, perbankan tidak hanya sekedar menjadi tempat penampungan sementara dana bantuan sosial. Pinjaman produktif untuk masyarakat lapisan bawah akan menggerakan roda perekonomian hingga tataran mikro.

Keberanian pemerintah untuk menerapkan kebijakan non tunai patut diapresiasi. Meskipun menjanjikan banyak keunggulan, realisasi kebijakan ini di lapangan tidaklah mudah. Sudah menjadi rahasia umum bahwa budaya transaksi tunai masih menjadi preferensi utama masyarakat.

Paypal dalam laporan survei bertajuk "Digital Payments: Thinking beyond Transactions " mengungkapkan bahwa 73% penduduk Indonesia lebih menyukai transaksi tunai. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan rata-rata penduduk Asia pada umumnya mencapai 57%.

Target agresif

Mencermati dinamika perubahan yang terjadi, sudah selayaknya tingkat inklusi keuangan ke depan ditargetkan lebih agresif. Optimisme ini patut disematkan karena beberapa faktor utama. Pertama, telah rampungnya proyek tol langit Palapa Ring pada Oktober 2019. Akses internet yang memadai sebagai tulang punggung ekonomi digital kini sudah menjangkau daerah 3T (Terdepan, Terluar, dan Tertinggal). Tak heran kondisi ini akan menstimulasi ekspansi branchless banking (layanan keuangan bank tanpa kantor) hingga ke daerah pelosok.

Tanda-tandanya sudah mulai jelas terlihat. Transaksi di kantor cabang perbankan kini cenderung melandai. Manajemen Bank Central Asia (BCA) menyebut transaksi nasabah di kantor cabang kini hanya sekitar 1,8%. Setali tiga uang, situasi serupa juga dikonfirmasi oleh Bank Rakyat Indonesia (BRI) yaitu transaksi nasabah di kantor cabang berkisar 15% pada tahun 2018. Data ini mengisyaratkan pemanfaatan internet/mobile banking yang kian meluas.

Kedua, geliat sektor e-commerce (perdagangan elektronik) dan ride-hailing (berbagi tumpangan) yang akan meningkatkan akselerasi penggunaan uang elektronik. Berdasarkan riset Google, Temasek dan Bain Company bertajuk "e-Conomy SEA 2019", keduanya diprediksikan tumbuh eksponensial, masing-masing menjadi senilai US$ 82 miliar dan US$ 18 miliar pada tahun 2025.

Tak ayal hasil penelitian tersebut seakan menjadi angin segar bagi aplikasi uang elektronik para pemain teknologi finansial. Sebut saja misalnya Ovo yang berkolaborasi dengan Tokopedia dan Grab, Gopay yang berafiliasi dengan Gojek, dan Dana yang bersinergi dengan Bukalapak.

Ketiga, maraknya pembayaran berbasis kode respon cepat (Quick Response/QR Code). Fenomena ini diyakini akan semakin menggema pasca implementasi QR Code Indonesian Standard (QRIS) per 1 Januari 2020. Satu kode respon cepat untuk semua aplikasi pembayaran uang elektronik.

Ibarat simbiosis mutualisme, kehadiran QRIS memberi angin segar bagi banyak pihak. Konsumen lebih fleksibel memilih aplikasi pembayaran yang menjadi sumber dana. Di sisi lain, pelaku usaha bebas menerima pembayaran dari berbagai aplikasi.

Seiring dengan perkembangan teknologi, transaksi non tunai merupakan sebuah keniscayaan di masa depan. Edukasi secara kontinyu kepada masyarakat sebagai pengguna menjadi aspek paling fundamental. Kolaborasi pemerintah, pelaku industri jasa keuangan, dan pemain tekfin akan memainkan peran penting dalam memopulerkan tren ini.

Penulis : Remon Samora

Analis Bank Indonesia Provinsi Papua Barat

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×