kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Interaksi spanduk


Selasa, 12 Maret 2019 / 15:26 WIB
Interaksi spanduk


Reporter: Bagus Marsudi | Editor: Tri Adi

Sekitar sebulan menjelang pemilihan umum (pemilu), jalanan terlihat semakin marak. Poster dan spanduk partai, calon presiden dan wakil presiden, dan calon legislatif terlihat semakin banyak menghiasi pinggir jalan, persimpangan jalan, dan pagar atau tembok rumah. Seolah, mereka tak rela menyia-nyiakan posisi dan lokasi bagus yang berpeluang bagi orang untuk melihat dan membaca.

Sayangnya, spanduk aneka gambar dan warna itu sering kali tidak memedulikan dampak kerusakan yang ditimbulkan. Lihat saja, pohon-pohon penuh dengan stiker, spanduk yang dipasang secara serampangan. Gambar-gambar itu dipaku atau ditali sembarangan yang justru bisa merusak pohon. Di bawahnya juga banyak sampah spanduk yang jatuh, sobek, atau rusak. Ada celah sebentar, posisi sebelumnya langsung diisi oleh spanduk baru.

Di saat kampanye yang mengerahkan massa semakin kurang populer, sepertinya pemasangan spanduk secara massif dianggap sebagai cara paling efektif untuk memperkenalkan diri ke masyarakat. Dengan banyak partai dan calon legislatif, menggerakkan massa jelas membutuhkan biaya cukup besar. Apalagi bagi para calon legislatif yang sejatinya belum mempunyai basis akar rumput. Kalau pun punya sedikit modal dukungan, mereka juga harus bersaing dengan calon lain yang tak kalah agresif.

Apalagi, di zaman akses informasi yang luas, tidak gampang seorang calon menggerakkan dukungan. Paling efektif memang harus mendatangi rumah demi rumah untuk memperkenalkan diri dan minta dukungan. Itu pun belum menjamin mendapatkan komitmen. Semua tergantung, apakah si calon bisa meyakinkan bahwa ada manfaat lebih besar jika mendukung dirinya. Calon pemilih yang tak mau repot berpikir siapa calon idealnya akan bertanya balik: wani piro?

Alhasil, untuk mengurangi risiko lebih besar, yakni keluar duit di depan tapi belum tentu mendapat komitmen di belakang, paling mudah sebagian calon legislatif berinteraksi lewat spanduk. Cetak ribuan spanduk jelas lebih murah ketimbang menggerakkan massa dan menyiapkan fasilitas agar ikut dalam kampanye tertutup atau terbuka.

Memasang sebanyak mungkin spanduk pun tak menjamin meraih dukungan di tangan. Namun, itu mungkin lebih mendingan daripada tak dikenal sama sekali. Tapi, kalau interaksinya saja searah seperti itu, bagaimana bisa yakin bahwa para calon wakil rakyat itu tahu apa yang disuarakan rakyat?♦

Bagus Marsudi

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×