Reporter: Hasbi Maulana | Editor: Tri Adi
Belum lama ini beredar data bahwa ternyata Indonesia masuk tiga besar negara yang masyarakatnya paling betah berlama-lama di media sosial (medsos). Menurut data yang bersumber dari Web Global Index tersebut, rata-rata orang Indonesia menghabiskan 202 menit (3 jam 22 menit) dalam sehari untuk beraktivitas di media sosial. Dua negara lain yang lebih betah nongkrong di media sosial adalah Brasil (3 jam 41 menit) serta Filipina (4 jam 11 menit).
Sebagian orang memandang daftar tersebut dengan jengah. Menghabiskan 3 jam 22 menit bergaul di medsos berarti melewatkan 14% dari waktu sehari semalam untuk sesuatu yang tidak produktif. Malah, kalau durasi bermedsos itu kita hitung cuma dari waktu melek yang berlangsung sekitar 16 jam (8 jam tidur), berarti 21% waktu terjaga masyarakat Indonesia terpakai untuk memelototi aplikasi medsos.
Entah seberapa akurat data ini dibandingkan dengan realitas keseharian kita. Namun, rasa-rasanya, angka yang membuat kita tersipu ini tidak meleset terlalu jauh dari kenyataan. Bahkan, pasti, durasi bermedsos sebagian masyarakat kita lebih lama dari angka yang tersaji tadi.
Menyadari data ini, sekarang kita bisa mengerti mengapa atmosfer jagat sosial virtual kita semakin pengap oleh beragam informasi bermutu rendah, baik hoaks maupun konten negatif seperti perundungan, ujaran kebencian, hasutan SARA, dan semacamnya.
Meski tanpa survei, kita bisa memastikan bahwa mayoritas pengguna internet yang betah bermedsos lama-lama bukanlah produsen pesan yang baik. Sebagian besar pemilik akun media sosial bersifat pasif. Kebanyakan dari mereka mungkin baru sekali dua kali mengunggah informasi orisinal ke lini masa akun medsos mereka, di luar celetukan semacamIzin menyimak, kak.
Bukan produsen konten yang baik, sebaliknya para pengguna aplikasi medsos kebanyakan adalah penerus pesan yang cekatan. Tanpa mencerna kritis pesan yang baru saja hinggap di tangannya, sebagian orang selalu meneruskan segala konten yang baru mereka terima ke grup WA alumni TK, grup WA emak-emak pengantar sekolah anak, atau grup WA bapak-bapak peserta tetap nongkrong di pos kamling saban malam.
Patut diduga sebagian pemilik akun medsos juga menganggap internet identik dengan WhatsApp, Facebook, atau Twitter. Malah, barangkali pula, sebagian orang tidak tahu ada aplikasi bernama peramban (browser) yang jauh lebih mumpuni untuk berburu informasi: cocok dengan kebutuhan dan kepentingan mereka.
Dominasi platform medsos ketimbang aplikasi lain tak lepas dari daya beli pengguna telepon genggam yang relatif terbatas. Nah, kebetulan, sebagian vendor penyedia data tak mengurangi saldo kuota data jika dipakai untuk mengakses media sosial seperti Youtube, Facebook, dan Twitter.
Entah siapa yang harus memulai, peningkatan literasi masyarakat tentang internet perlu dilakukan. Para pengguna internet pendatang baru (sebagian justru warga senior) perlu tahu bahwa informasi di internet tak melulu tersaji di medsos. Mereka berhak tahu bahwa internet bisa lebih produktif ketimbang sekadar dipakai untuk menanti update status mantan.
Ada jutaan resep memasak yang bisa kita praktikkan di dapur. Terdapat ribuan kursus online gratis yang bisa kita ikuti untuk meningkatkan kompetensi diri. Pun tersebar pula jutaan dokumen yang isinya bisa membuat kita lebih pintar. Oh, iya, satu hal lagi, terbukti medsos bisa menjadi sarana mujarab bagi masyarakat untuk menggali peluang-peluang komersial yang baru.
Nah, dengan begitu kita bisa berharap kelak Indonesia dikenal dunia sebagai negara paling produktif di internet.♦
Hasbi Maulana
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News