Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - Pemerintah Indonesia selayaknya mengambil sikap tegas atas klaim China terhadap perairan Natuna. Kasus intrusi kapal Coast Guard China di Perairan Natuna adalah pelanggaran terhadap Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia, yang ditetapkan berdasarkan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982.
Kasus penerobosan kapal China merupakan tantangan bangsa dalam mewujudkan rezim negara kepulauan. Semua ini bisa terwujud jika didukung dengan armada laut yang kuat. Postur armada nusantara semestinya perlu peningkatan secara signifikan. Butuh evaluasi mengenai kekuatan armada nusantara yang terintegrasi antara kapal perang, pesawat udara maritim, dan ketangguhan pangkalan.
Pencurian ikan oleh kapal-kapal Cina sudah berlangsung lama tetapi baru sekarang mendapat perhatian luas. Pemerintah perlu cara baru untuk meningkatkan pengelolaan sumber daya kelautan sekaligus membenahi kemampuan operasi maritim. Kompleksitas geostrategis negeri ini yang terdiri dari ribuan pulau dan terdiri dari tiga wilayah Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) yang terbuka bagi pihak internasional membutuhkan keandalan operasi maritim TNI. Terutama yang terkait dengan masalah operasi cegatan maritim. Operasi ini harus bisa dilakukan di perairan manapun, baik di wilayah NKRI maupun di luar.
Operasi maritim membutuhkan keandalan infrastruktur keamanan laut dan pembaruan terhadap doktrin pertahanan laut yang mengedepankan aspek intelijen dan teknologi. Bidang intelijen maritim harus dibenahi sehingga mencapai kemampuan pengawasan yang tangguh. Situasi dunia menuntut agar Indonesia mampu mewujudkan kemampuan intelijen maritim yang canggih. Intelijen maritim merupakan bagian intelijen strategis dalam upaya untuk menjamin stabilitas nasional dan upaya untuk penginderaan terhadap lingkungan strategis baik di dalam maupun di luar negeri.
Intelijen maritim fokus pada kegiatannya terkait bidang maritim atau yang berpengaruh terhadap kemampuan maritim negara asing maupun negara sendiri. Kapasitas dan postur intelijen nasional sebaiknya diarahkan untuk meneguhkan kemampuan intelijen maritim. Jangan ada lagi operasi intelijen yang sektarian, yaitu yang membatasi pada dimensi pengamanan dan sektoral. Misalnya, TNI Angkatan Laut (AL) tidak lagi membatasi pada naval intelligence, tetapi lebih luas yaitu maritime intelligence yang mampu menyediakan informasi strategis kepada institusi maritim nasional. Seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Perhubungan, Kementerian ESDM, Kementerian Pariwisata, Kementerian Lingkungan Hidup, Bea Cukai, dan Kepolisian.
Kementerian Pertahanan di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto perlu membangun lagi sejumlah infrastruktur pangkalan dan sarana pemeliharaan kapal perang. Infrastruktur tersebut utamanya untuk mendukung efektivitas Markas Komando Armada ketiga yang terletak di Sorong, Papua Barat. Selama ini kekuatan tempur TNI AL masih bertumpu pada dua armada wilayah, yakni barat atau Armabar, dan timur atau Armatim. Jumlah kapal perang milik TNI AL hanya berjumlah 151 unit. Padahal, jumlah kapal perang RI pada 1960-an berjumlah hingga 162 kapal.
Sistem komando armada yang bertugas membina kemampuan Sistem Senjata Armada Terpadu (SSAT) yang terdiri dari kapal perang, pesawat udara, pasukan marinir, dan pangkalan sebaiknya lebih bersinergi dengan instansi lain yang juga mengelola wilayah laut. Kemampuan peperangan laut dan kesiapan operasi laut pada saat ini harus bisa berubah menjadi operasi non-perang yang mendukung penegakkan kedaulatan dan hukum di laut, serta mengamankan potensi ekonomi di laut.
Integrasi pengelola laut
Makanya, kita perlu segera mewujudkan keandalan infrastruktur keamanan laut dan pembaruan terhadap doktrin pertahanan laut yang mengedepankan aspek intelegensi dan teknologi. Bidang intelegensi maritim harus dibenahi sehingga mencapai kemampuan pengawasan yang tangguh.
Saatnya membentuk sistem nasional pengawas kelautan yang andal dengan tiga aspek penting. Pertama, aspek informatif. Sistem harus memberikan informasi yang lengkap tentang kondisi kelautan nasional, baik dari sisi sumber daya laut, keadaan perairan, cuaca, kejadian penting di laut (accident maupun incident), tanda-tanda navigasi laut yang sangat membantu bagi kapal berlayar, dan segala informasi mengenai laut lainnya. Kedua, aspek integratif. Tumpang tindihnya pengadaan infrastruktur dan pemasangan peralatan pengawasan antar departemen bisa diatasi, sehingga ada penghematan anggaran negara.
Karena jumlah peralatan atau sistem yang dibangun tidak bertabrakan dalam hal jangkauan pada suatu daerah atau sistem dan fungsinya. Selain itu, dengan solusi interoperabilitas maka masalah selang-seling pemilik peralatan di sepanjang selat kritis, seperti Selat Malaka bisa diintegrasikan.
Ketiga, adalah aspek kolaboratif. Hal ini lebih fokus pada status data yang dipertukarkan. Misalnya, data untuk memberantas Illegal Unregulated and Unreported Fishing (IUU) Fishing seperti jalur kapal ikan (posisi, kecepatan, heading), SIKPI (Identitas Pemilik, Perusahaan, Ukuran kapal, jenis alat tangkap, tanggal kadaluarsa ijin), basis data log book (jenis ikan, lokasi), data parameter biologi laut (klorofil, upwelling), dan data batas WPP.
Di negeri ini ada beberapa lembaga yang memiliki tugas dan tanggung jawab dalam mengelola kelautan. Semuanya perlu bersinergi dalam aspek tindakan operasional. Ada tiga lembaga yang selama ini menjadi pengelola utama sistem kelautan nasional, yakni KKP, TNI AL, dan Dirjen Perhubungan Laut (Hubla) Kementerian Perhubungan. KKP merupakan institusi m yang bertanggungjawab terhadap kelangsungan sumber daya kelautan. Hubla merupakan institusi keselamatan yang bertanggungjawab terhadap keselamatan lalu lintas di laut. Sedangkan TNI AL merupakan institusi keamanan yang bertanggungjawab terhadap keamanan laut.
Ketiga eselon tersebut pada dasarnya bertugas mengelola dan melakukan pengawasan terhadap kapal dan atau sumber daya kelautan. Dalam kondisi ini, KKP memiliki sistem Vessel Monitoring System (VMS) untuk memantau kapal patroli dan kapal ikan legal yang telah dipasangi peralatan transponder. Demikian juga TNI AL telah membangun Integrated Maritime Surveillance System (IMSS) dan Direktorat Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan telah membangun Vessel Traffic Information System (VTIS).
Penulis : Totok Siswantara
Pengkaji Transformasi Teknologi dan Infrastruktur Pertahanan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News