Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi
Presiden Joko Widodo (Jokowi) sempat berjanji akan mencopot jajaran aparat keamanan, baik TNI maupun Polri di tingkat daerah jika tidak mampu menyelesaikan kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla), di wilayah teritorialnya. Memang ancaman Jokowi kepada aparat keamanan tersebut patut diacungi jempol, karena logikanya, jika benar-benar aparat keamanan sigap dan tanpa pandang bulu menjerat para pelaku pembakaran hutan dan lahan sampai ke akar-akarnya, maka bisa jadi bencana kebakaran hutan dan lahan yang menahun dapat terselesaikan.
Namun, apakah Anda sempat berpikir bahwa mengapa hanya pihak keamanan yang disorot serta diancam untuk menyelesaikan kasus kebakaran hutan dan lahan tersebut? Mengapa tidak dengan korporasi?
Pertanyaan tersebut cukup mendasar. Sudah menjadi rahasia umum bahwa korporasi kerap menjadi dalang di balik kebakaran hutan dan lahan yang terjadi selama ini. Permasalahan pembersihan lahan (land clearing) agar dapat dimanfaatkan kembali untuk berproduksi adalah salah satu alasan mengapa korporasi selama ini kerap berada di balik kasus karhutla.
Rendahnya komitmen korporasi dalam menjaga lingkungan tersebut, juga terlihat dari masifnya ekspansi perkebunan sawit di hutan primer maupun lahan prioritas restorasi gambut. Melalui pencitraan satelit Nasa, Madani Berkelanjutan menemukan lebih dari satu juta hektare (ha) kebun sawit yang tumbuh subur di lahan hutan primer dan lahan prioritas restorasi gambut tersebut.
Tepatnya, Madani Berkelanjutan menemukan sebanyak 1.001.474,07 ha perkebunan sawit milik 724 perusahaan berada di dalam hutan primer dan lahan gambut yang tersebar di 24 provinsi di Tanah Air. Lebih terperincinya, terdapat 384 perusahaan yang memiliki 540.822 ha perkebunan sawit yang berada di lahan gambut, kemudian 102 perusahaan dengan total kepemilikan sebanyak 237.928 ha perkebunan sawit di hutan primer, dan ada 238 perusahaan dengan total luasan perkebunan sawit sebanyak 222.723 hektare yang berada di kawasan hutan.
Dari jumlah itu, 333 perusahaan memiliki perkebunan sawit dengan total 506.333 ha yang berada di tujuh provinsi prioritas restorasi gambut. Bukan hanya itu, ditemukan juga lima perusahaan yang memiliki kebun sawit di daerah prioritas restorasi gambut yang masih tetap beroperasi sampai saat ini walau sempat terjerat kasus pembakaran hutan tahun 2016, tahun 2017, dan tahun 2019.
Kemudahan berusaha
Berlatar dengan banyaknya kasus kecurangan yang kerap dilakukan korporasi, penulis menilai sudah saatnya pemerintah bersama banyak pihak merancang sebuah roadmap (peta jalan) investasi hijau di Indonesia.
Tak dapat kita pungkiri bahwa selain sektor konsumsi, sektor investasi merupakan salah satu penopang utama pertumbuhan ekonomi Indonesia selama ini. Benar bahwa selama ini, pemerintah sangat fokus untuk membenahi iklim investasi demi meningkatkan indikator kemudahan berusaha atau ease of doing business (EoDB) di Tanah Air.
Terakhir, Bank Dunia (World Bank) merilis laporan mengenai EoDB 2019 yang menyebut bahwa Indonesia mengalami peningkatan skor kemudahan berusaha. Tercatat, Indonesia mencatat skor EoDB di angka 67,96. Angka tersebut naik 1,42% jika dibandingkan dengan tahun lalu yang tercatat 66,54. Namun meskipun skor Indonesia naik, peringkat kemudahan berusaha tersebut turun ke posisi 73 dari sebelumnya di posisi 72.
Memang bukan perkara mudah untuk mengejar ketertinggalan Indonesia dari segi kemudahan berusaha. Namun, pemerintah juga patut mempertimbangkan urusan dan kepentingan lingkungan dalam berinvestasi, khususnya terkait dengan analisis dampak lingkungan (Amdal).
Untuk itu, mendorong pertumbuhan investasi hijau harus menjadi prioritas pemerintah. Untuk mendorong investasi hijau, pemerintah harus berpedoman kepada Paris Agreement atau Persetujuan Paris yang ditandatangani pada Desember 2015 dan telah diratifikasi oleh lebih dari 15 negara di seluruh dunia.
Selain itu, ada setidaknya 17 tujuan pembangunan berkelanjutan Sustainable Development Goals (SDG), dan World Economic Forum yang menekankan pentingnya peran dunia usaha dalam membantu pemerintah menyejahterakan masyarakatnya serta membantu upaya pelestarian alam.
Menurut penulis, ada empat langkah penting yang harus dilakukan untuk mendorong investasi hijau tersebut. Pertama, edukasi investasi hijau. Belum banyaknya masyarakat yang memahami konsep investasi hijau tersebut menjadi salah satu penghambat investasi hijau untuk tumbuh di Indonesia. Hal inilah yang menjadi pekerjaan rumah semua pihak agar dapat lebih gencar menyampaikannya kepada masyarakat.
Kedua, menyusun rencana keberlanjutan investasi hijau. Upaya untuk membuat investasi hijau dikenal publik serta menarik untuk digeluti. Hal ini dapat dilakukan dengan membuat perencanaan terkait keberlanjutan investasi hijau tersebut. Perencanaan tersebut dapat dimulai dari menyamakan semua tujuan, jenis investasi, dan keuntungan yang diperoleh dari sini.
Ketiga, mendorong regulasi yang berpihak pada lingkungan. Investasi hijau tanpa dukungan oleh regulasi yang kuat, rasanya menjadi sebuah hal yang mustahil. Oleh karena itu, agar terciptanya investasi hijau, pembuat kebijakan, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah (pemda) harus mengutamakan kepentingan lingkungan dan juga mengupayakan percepatan pertumbuhan investasi tersebut dengan memangkas hambatan urusan administrasi yang terkenal berbelit-belit. Hal ini juga tentunya akan mendorong peringkat kemudahan berusaha Indonesia.
Keempat, ketegasan penindakan pelanggaran. Ekspansi bisnis yang telah berjalan, sejatinya harus tetap diawasi pemerintah dengan seksama. Oleh karena itu, jika terjadi pelanggaran aturan hukum yang dilakukan oleh korporasi, pemerintah harus memberikan sanksi tegas terhadap korporasi nakal tersebut berupa pengurangan masa penggunaan hak guna usaha (HGU) atau juga hak guna bangunan (HGB), bahkan berani untuk pencabutan izin beroperasi.
Menumbuhkan investasi hijau adalah langkah awal dari komitmen hijau korporasi. Indonesia memang sangat membutuhkan banyaknya ekspansi bisnis korporasi ini agar perekonomian domestik ikut bergairah. Namun, Indonesia juga butuh melestarikan lingkungan, hutan, dan alam sebagai bagian yang tak terpisahkan.♦
Delly Ferdian
Peneliti Madani Berkelanjutan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News