kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Ironi wajib pajak pasca-amnesti pajak


Jumat, 29 September 2017 / 16:29 WIB
Ironi wajib pajak pasca-amnesti pajak


| Editor: Tri Adi

Penerimaan pajak yang masih mini menyebabkan Kementerian Keuangan (Kemkeu) gelap mata mengejar wajib pajak. Sampai dengan 31 Agustus 2017, Direktorat Jenderal Pajak hanya mampu mengumpulkan total pajak Rp 685,6 triliun atau hanya 53,5 %, padahal target APBNP adalah Rp 1.283,57 triliun. Shortfall pajak semakin jelas terlihat pada kisaran Rp 120 triliun lebih pada tahun ini.

Melihat hal tersebut, dalam waktu dekat beleid Peraturan Pemerintah Nomor 36/2017 tentang Pengenaan Pajak Penghasilan atas Penghasilan Tertentu Berupa Harta Bersih yang Diperlakukan atau Dianggap sebagai Penghasilan akan diberlakukan. Di pasal 5 dalam beleid tersebut terdapat klausul sumber keresahan karena nilai harta bersih bisa dikenai pajak plus sanksi denda berdasarkan temuan atau pemeriksaan aparat pajak.

Inilah kontradiksi dan pangkal persoalan ketidakkonsistenan Kementerian Keuangan sendiri. Kerangka dasar perhitungan basis perpajakan adalah pemeriksaan mandiri (self-assessment) sementara dalam PP tersebut justru meniadakannya. Tampak, bahwa Kementerian Keuangan kini semakin percaya diri karena kaya data profil wajib pajak berkat program pengampunan pajak (amnesti pajak) yang berlangsung beberapa waktu lalu.

Untuk diketahui total penerimaan pajak dari program amnesti pajak adalah Rp 134,98 triliun.  Terdiri pembayaran tebusan total Rp 114,23 triliun, pembayaran tunggakan Rp 19,01 triliun dan pembayaran hasil pemeriksaan bukti permulaan Rp 1,74 triliun.

Selain mendapatkan dana berbentuk tunai tersebut, Pemerintah Indonesia juga mendapatkan repatriasi dengan nilai Rp 146,69 triliun, deklarasi harta dalam negeri yang selama ini belum dilaporkan Rp 3.697,94 triliun dan deklarasi harta yang masih di luar negeri sebesar Rp 1.036,32 triliun. Semua pembayaran tebusan dan kalkulasi harta atas pemeriksaan mandiri wajib pajak  dan kini semua data itu sudah diserahkan ke kantor pajak.

Para wajib pajak (WP) yang patuh tersebut kini menjadi serba salah, mengapa dalam PP 36/2017 justru berbeda drastis lantaran nanti nilai harta bersih berdasarkan temuan dan pemeriksaan aparat pajak secara sepihak. Sangat mungkin sekali terjadi asumsi basis perhitungan pajak, nilai harta bersih, deklarasi harta lokal dan di luar negeri akan berbeda. Alhasil, wajib pajak berpotensi kurang pajak dan dikenai sanksi denda. Pada PP tersebut jika alpa melaporkan harta yang sebenarnya maka bagi wajib pajak pribadi akan dikenai 30% sementara wajib pajak badan 25% atas temuan baru itu.

Negara lain pangkas pajak

Risiko wajib pajak peserta program amnesti juga beruntun karena jika repatriasi tidak dilakukan atau sebaliknya mengalihkan harta dari dalam negeri ke luar negeri dalam waktu tiga tahun, maka harta tersebut dianggap penghasilan tahun 2016. Bagi wajib pajak yang tidak ikut program amnesti pun tidak kalah seramnya, jika dalam kurun waktu 1 Januari 1985 sampai dengan 31 Desember 2015 terdapat harta yang tidak dilaporkan dalam SPT tahunan maka dianggap penghasilan dan dikapitalisir menjadi penghasilan 2016 dan langsung terkena pajak baru tersebut plus sanksi denda.

Sikap membabi buta Dirjen Pajak mengintensifkan penerimaan pajak dengan mencari-cari jalan baru sungguh meresahkan masyarakat Indonesia. Kementerian Keuangan menganggap rasio pajak masyarakat Indonesia masih rendah sehingga upaya-upaya tambahan sering dibuat-buat.

Memang, rasio pajak (tax ratio) tahun lalu baru 10,3%. Dan Kemkeu punya target mendongkrak menjadi 19% pada 2019 nanti. Ini semua terjadi karena kebijakan mengerek penghasilan tidak kena pajak (PTKP) menjadi Rp 54 juta atau Rp 4,5 juta per bulan dan menyebabkan pemerintah kehilangan potensi penerimaan pajak Rp 20,1 triliun.

Gagasan baru pun dimunculkan. Yakni bakal menetapkan PTKP baru bersama UMP daerah; atau PTKP tetap Rp 54 juta per tahun tahun dengan memberikan subsidi atau bonus kepada pengusaha yang membayar upah kepada pekerja minimal sama dengan PTKP.

Padahal sumber kekuatan pajak di Indonesia sebetulnya ditopang dari sumber daya alam (SDA) berupa pajak non-migas. Namun, perubahan kebijakan pertambangan akhir-akhir ini membuat kontribusi pajak SDA terhadap rasio pajak sejak 2011 hanya 2,73 % dari total penerimaan pajak. Setelah itu secara sistematis turun konsisten menjadi 2,62 % (2012), turun lagi menjadi 2,13 % (2013), langsung mengkeret lagi jadi 2,28 % (2014), dan terus turun jadi 0,87 % (2015) dan hanya tinggal 0,51 % tahun lalu.

Sangat tampak jelas bahwa kegagalan manajemen pajak dari korporasi besar akan ditanggung-rentengkan ke  wajib pajak pribadi tersebut sehingga terkesan kuat bahwa PP 36/2017 itu diciptakan dalam rangka mengejar masyarakat kecil.

Yang terjadi di Indonesia tersebut kontras sekali perbedaannya dengan yang dilakukan banyak negara lain. Reformasi pajak pada sejumlah negara yaitu India, Filipina, Tiongkok, Amerika Serikat, Australia, atau  Korea Selatan punya tujuan keramahan pajak bagi warga negara mereka masing-masing. Sementara di Indonesia malah sebaliknya.

Di India, pascaprogram amnesti dengan deklarasi US$ 9,5 miliar (Rp 123 triliun) pada Juli 2017 yang lalu mendeklarasikan sistem pajak tunggal dan memangkas pajak PPh menjadi 5%. Tiongkok juga akan menurunkan tarif pajak produk gas alam dan pertanian dari 13% menjadi 11% sejak 1 Juli 2017 dan mengerek batasan penghasilan tidak kena pajak bagi perusahaan kecil di bawah 500.000 yuan untuk mengurangi PHK.

Amerika Serikat saja sudah menurunkan pajak perusahaan kecil dari 39,6 % menjadi 15 %. Pemerintahan Trump juga menurunkan pajak perusahaan swasta dari 35 % menjadi 15 %, dan bahkan menurunkan tarif pajak hanya 10 % dari semula 35 % untuk perusahaan multinasional yang mau berinvestasi di AS. Demikian pula dengan Australia, Korea Selatan, Thailand, dan Malaysia.

Pemerintah Indonesia malah unik.  Menggelar amnesti untuk mendapatkan data harta wajib pajak setelah itu digilas dengan PP 36/2017. Ironis sekali.          

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×