kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Izin pengusahaan batubara untuk BUMN


Kamis, 23 Mei 2019 / 13:32 WIB
Izin pengusahaan batubara untuk BUMN


Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi

Pemerintah berencana melakukan perubahan keenam Peraturan Pemerintah (PP) No 23 Tahun 2010 tentang Kegiatan Usaha Pertambangan, perubahan keenam PP 23/2010 ini terkait dengan kepastian hukum perpanjangan Perjanjian Karya Pengusahaan Batubara (PKP2B) pasca berakhirnya jangka waktu operasi produksi perusahaan PKP2B.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) membuat formulasi perpanjangan PKP2B ini melalui substansi pemberian Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) kepada perusahaan eks PKP2B, dengan luasan yang sudan ada atau existing. Padahal, IUPK secara hukum merupakan hak Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan luasan wilayah secara tertata diatur dalam Undang-Undang (UU) Mineral dan Pertambangan (Minerba).

Kementerian ESDM sudah mengajukan Rancangan PP ini kepada presiden untuk ditandatangani. Lantas, bagaimana keberpihakan pemerintah dalam pengusahaan tambang oleh BUMN? Masihkah pemerintah berpedoman pada Pasal 33 UUD 1945 dan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara.

Ada tujuh perusahaan yang akan berakhir PKP2B-nya rentang 2019 - 2025, yaitu PT Arutmin Indonesia (70.153 hektare/ha) pada 2020, PT Kaltim Prima Coal (90.938 ha) pada 31 Desember 2021, PT Multi Harapan Utama (46.063 ha) pada 2022, PT Adaro Indonesia ( 34.940 ha) pada 2022, PT Kideco Jaya Agung (50.921 ha) pada 2023, dan terakhir milik PT Berau Coal seluas 118.400 ha pada 2025, bahkan PT Tanito Harum telah berakhir 15 Januari 2019. Khusus PT Tanito Harum, Kementerian ESDM pada 11 Januari telah menerbitkan Surat Keputusan (SK) yang memperpanjang operasi PT Tanito Harum melalui IUPK selama 20 tahun.

Ketika berakhir, lalu siapa yang dapat mengusahakan konsesi eks PKP2B ini? UU Minerba telah memberikan pedoman bagi eks PKP2B. Pengusahaan eks PKP2B dilakukan melalui pemberian IUPK atau IUP. Dalam pasal 27 UU Minerba diatur wilayah konsesi eks PKP2B ditetapkan menjadi Wilayah Pencadangan Negara (WPN). Penetapan WPN dengan persetujuan DPR RI. Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) yang akan diusahakan ditetapkan pemerintah setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah (pemda). Selanjutnya, pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan di WIUPK dilakukan dalam bentuk IUPK.

IUPK bisa diberikan ke badan usaha yang berbadan hukum Indonesia, baik berupa BUMN, BUMD, maupun badan usaha swasta. BUMN dan BUMD mendapat prioritas dalam mendapatkan IUPK. Badan usaha swasta untuk mendapatkan IUPK dilaksanakan dengan cara mengikuti lelang WIUPK. Hal ini diatur secara jelas dalam pasal 27, pasal 29, dan pasal 74 UU Mineral dan Batubara.

Menabrak aturan

Berdasarkan ketentuan UU Minerba, IUPK merupakan hak BUMN untuk mengusahakannya. Misalnya PT Bukit Asam sebagai BUMN di bidang tambang batubara. Artinya bila ada ketentuan dalam Rancangan PP yang diinisiasi oleh Kementerian ESDM kepada presiden dengan meniadakan pasal 27, pasal 29, dan pasal 74 UU Minerba terkait hak BUMN untuk mendapatkan IUPK, maka jelas Kementerian ESDM mengusulkan rancangan yang berpotensi membuat presiden menabrak aturan.

Ketentuan UU Minerba ini sejatinya merupakan amanat pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 yang mengatur bahwa sumber daya alam harus dikuasai oleh negara. Salah satu instrumen penguasaan negara yaitu melalui fungsi pengelolaan (beheersdaad) yaitu penguasaan negara melalui peranan BUMN dalam mengelola sumber daya alam.

Selain mengenai IUPK yang potensial menabrak aturan, UU Minerba juga telah mengatur mengenai luas wilayah, yaitu paling banyak 15.000 hektare terhadap IUPK Operasi Produksi Batubara. Hal ini diatur dalam pasal 62 UU Minerba. Celakanya, luas wilayah yang diberikan oleh Kementerian ESDM kepada PT Tanito Harum melebihi batas 15.000 hektare ini, yaitu sekitar 30.000 hektare lebih.

Tentunya, Surat Keputusan (SK) Menteri ESDM ini pun berpotensi kembali menabrak pasal 83 huruf d UU Minerba yang menyatakan: Pemegang IUPK Operasi Produksi batubara diberi WIUPK dengan luas paling banyak 15.000 hektare.

Kedua substansi di atas, setidaknya dalam perspektif hukum minerba menjadi catatan bagaimana seharusnya PKP2B diperlakukan dalam pengusahaan batubara. Pemegang eks PKP2B sesungguhnya tetap berusaha dengan berbagai mekanisme, misalnya membentuk perusahaan patungan bersama BUMN pemegang IUPK untuk mengusahakan konsesinya.

Hal ini memungkinkan sebagaimana diatur dalam pasal 7A UU PP No. 24 Tahun 2012 yang menyebutkan pemegang IUP dan IUPK tidak boleh memindahkan IUP dan IUPK-nya kepada pihak lain. Pihak lain dimaksud meliputi badan usaha yang 51% atau lebih sahamnya tidak dimiliki oleh pemegang IUP atau IUPK. Artinya. apabila dibentuk perusahaan patungan antara BUMN tambang dengan perusahaan eks pemegang PKP2B dengan saham mayoritas oleh BUMN, dapat dilakukan.

Akhirnya, dapat disimpulkan, Pertama, PKP2B hanya berlaku pada masa berlakunya PKP2B. Kedua, kesepakatan yang ada dalam PKP2B hanya mengikat pada saat jangka waktu PKP2B berlaku, apabila berakhir maka harus tunduk pada rezim UU Minerba.

Ketiga, PKP2B tidak dapat langsung berubah menjadi IUPK. Keempat, untuk mendapatkan IUPK, proses pendapatannya melalui prosedur hukum yang telah ditetapkan dalam UU Minerba dengan hak prioritas BUMN untuk mengusahakannya. Kelima, luas wilayah IUPK untuk operasi produksi hanya sebesar 15.000 hektare.

Dalam UU Minerba juga mengatur ketentuan pidana pertambangan apabila ada pemberian IUPK yang tidak sesuai dengan ketentuan UU Minerba, misalnya mengenai tahapan pemberian dan luasan wilayahnya, maka hal ini dapat dianggap melanggar UU Minerba, bahkan dapat dikenai ketentuan pidana pertambangan sebagaimana diatur dalam pasal 166 UU Minerba, bahwa:

"Setiap orang yang mengeluarkan IUP, IPR atau IUPK yang bertentangan dengan Undang-Undang ini dan menyalahgunakan kewenangannya diberi sanksi pidana paling lama 2 (dua) tahun penjara dan denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)."

Akhirnya, semoga sumber daya alam (SDA) dikuasai negara untuk sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat sebagaimana amanat Pasal 33 UUD 1945 dan UU Minerba. Upaya akrobat untuk penyimpangan dari konstitusi dan UU Minerba dalam peraturan pemerintah harus dihindari.♦

Ahmad Redi
Pengajar FH Universitas Tarumanegara, Direktur Eksekutif Kolegium Jurist Institute

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×