kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.504.000   5.000   0,33%
  • USD/IDR 15.935   0,00   0,00%
  • IDX 7.246   -68,22   -0,93%
  • KOMPAS100 1.110   -11,46   -1,02%
  • LQ45 880   -11,76   -1,32%
  • ISSI 222   -0,92   -0,41%
  • IDX30 452   -6,77   -1,48%
  • IDXHIDIV20 545   -7,80   -1,41%
  • IDX80 127   -1,32   -1,03%
  • IDXV30 136   -1,06   -0,77%
  • IDXQ30 150   -2,29   -1,50%

Jakarta, ibu kota baru, dan properti


Rabu, 11 September 2019 / 09:25 WIB
Jakarta, ibu kota baru, dan properti


Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi

Terhitung 26 Agustus 2019, status ibu kota negara yang melekat pada Jakarta sejak 1964 akan lengser. Presiden Joko Widodo telah mengumumkan rencana pembangunan ibu kota negara baru di area Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) dan Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.

Terlepas dari berbagai potensi pembangunan di ibu kota baru, DKI Jakarta perlu memperoleh perhatian khusus seiring kemungkinan menghadapi perubahan jumlah penduduk dalam jumlah signifikan.

Melihat sumber daya manusia yang ada, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kalimantan Timur 2018 (75,83) hanya sedikit di bawah DKI Jakarta (80,47). Meski begitu, pemindahan ibu kota dipastikan meliputi pemindahan perangkat pusat pemerintahan termasuk manusia di dalamnya. Tak hanya perangkat lembaga negara, aparatur sipil negara (ASN), TNI dan POLRI, namun juga beberapa BUMN kemungkinan akan memiliki kantor representatif di sana.

Publikasi Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan pegawai negeri sipil (PNS) berdomisili DKI Jakarta mencapai 264.000 jiwa pada 2017, dimana sekitar 67.000 jiwa memiliki status PNS Daerah Provinsi (Juni 2018) yang berafiliasi pada pemerintah daerah dan perangkatnya. Berdasarkan angka ini, maka kisaran PNS non-pemerintah daerah yang berpotensi pindah ke ibu kota baru sebanyak 197.000 jiwa. Jumlah ini bisa bertambah bila memperhitungkan keluarga.

Mengacu estimasi di atas, besar kemungkinan perpindahan pekerja beserta anggota keluarganya di DKI Jakarta ke ibu kota baru nanti dapat mencapai jutaan jiwa. Bila tidak diantisipasi dengan baik dan bertahap, hal ini berpotensi menimbulkan tantangan pada beberapa sektor khususnya jasa dan properti.

Dalam rancangan zonasi dan tahapan pembangunan ibu kota baru yang disusun Bappenas, sektor perumahan ASN/TNI/POLRI dan infrastruktur pendukungnya meliputi pendidikan, kesehatan, hingga pusat perbelanjaan akan dibangun pada 2025 2029. Artinya, pemerintah pusat bersama Pemprov DKI Jakarta setidaknya dalam 10 tahun mempelajari dan memulai usaha mitigasi segala dampak negatif yang mungkin terjadi.

Dari sisi perumahan, backlog di DKI Jakarta berpotensi membaik. Melalui Susenas 2018, Mandiri mengestimasikan terdapat 44,2% rumah tangga di DKI Jakarta yang belum memiliki rumah sendiri. Secara proporsi, berkurangnya penduduk Jakarta dapat membuat konsentrasi backlog membaik meski belum menyelesaikan masalah backlog nasional.

Pasokan pada ruang perkantoran hampir dipastikan bertambah. Mengutip publikasi Leads Property terdapat sekitar 10,54 juta m perkantoran di DKI Jakarta pada 2Q19, terdiri dari 6,76 juta m di area Central Business District (CBD) dan 3,78 juta m di luar CBD dengan rata-rata okupansi masing-masing 75,9% dan 81,6%.

Dengan kata lain, saat ini perkantoran berada dalam kondisi excess supply mengingat sekitar 2,32 juta m area perkantoran di DKI Jakarta belum terisi. Dengan estimasi luas ruang kerja-gerak minimal per orang sebesar 4 m–6 m, maka akan ada tambahan pasokan 400.000 m–600.000 m untuk setiap 100.000 pegawai yang pindah ke luar DKI Jakarta.

Mengingat DKI Jakarta akan terus diusung sebagai pusat bisnis, usaha mentransformasi area kerja pemerintahan pusat menjadi area kerja komersial perlu dilakukan. Selain itu, perlu insentif bagi pelaku usaha untuk terus berada di DKI Jakarta. Tentunya hal ini menjadi tantangan seiring program pemerintah untuk juga membangun 10 metropolitan baru di empat lokasi di luar Jakarta. Selain itu, penambahan pasokan berpotensi menekan harga jual dan/atau sewa perkantoran.

Lebih jauh, properti perhotelan juga harus ditargetkan untuk lebih atraktif. Meski tingkat okupansi perhotelan di DKI Jakarta tertinggi di Indonesia mencapai 66,87% (2018), jauh di atas rata-rata nasional di 57,13%, bergesernya ibu kota bisa mengurangi kegiatan meeting, incentive, convention and exhibition (MICE) dan menurunkan tingkat okupansi.

Sebagai ganti kegiatan pusat pemerintahan, DKI Jakarta dapat memaksimalkan fasilitas pendukung yang sudah ada. Misalnya lahan perkantoran dan sarana olahraga berskala internasional dalam penyelenggaraan kegiatan yang berpotensi mendorong pariwisata dan perhotelan.

Dengan mendahulukan identifikasi secara menyeluruh, peluang properti di DKI Jakarta pasca-pemindahan ibu kota negara diharapkan dapat berjalan dengan masa transisi yang lancar.♦

Mufti Faisal Hakim
Industry Analyst Bank Mandiri

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Kiat Cepat Baca Laporan Keuangan Untuk Penentuan Strategi dan Penetapan Target KPI Banking and Credit Analysis

[X]
×