Reporter: Hasbi Maulana | Editor: Tri Adi
Jalan tol, khususnya Trans Jawa, masih menjadi topik perbincangan hangat akhir-akhir ini. Malah, bukan hanya perbincangan, jalan tol sudah menjadi bahan polemik sebagian warga masyarakat. Tentu saja nuansa politis pekat mewarnai polemik tersebut.
Memang, sulit melepas jalan tol dari konteks politik. Masih lekat dalam ingatan kita betapa peresmian jalan tol Cikopo-Palimanan pada 2015, sengaja atau tidak, dikapitalisasi secara politis bagi pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK). Pengoperasian ruas tol yang pembangunannya mandeg selama bertahun-tahun itu menjadi bukti "keberhasilan" pembangunan infrastruktur tahun pertama pemerintahan Jokowi-JK.
Debut itu berlanjut setahun kemudian dengan peresmian ruas tol Pejagan-Brebes. Meski euforia pemudik mengakibatkan tragedi "Brexit" pada mudik 2016, pemerintahan Jokowi semakin dikenal jago membangun jalan tol. Saban tahun tol Trans Jawa bertambah panjang, sampai akhirnya tol yang nyaris membentang dari Selat Sunda hingga Selat Madura itu benar-benar beroperasi akhir tahun lalu.
Tentu mustahil keberhasilan menyelesaikan tol Trans Jawa itu tidak dijadikan modal politik oleh kubu Jokowi sebagai petahana dalam kontestasi pemilihan presiden (pilpres) 2019 saat ini. Dan, sulit bagi siapa pun, termasuk kubu Prabowo Subianto, menyangkalnya.
Oleh karena itu tak perlu heran jika kemudian perdebatan soal jalan tol bergeser kepada manfaat dan mudarat, cost and benefit, sumber pembiayaan, penetapan tarif, konsekuensinya terhadap anggaran negara, hingga dampak bagi masyarakat miskin. Topik-topik yang sebagian di antaranya mestinya sudah terjawab bahkan pada tahap studi kelayakan, jika pernah dilakukan, jauh sebelum Jokowi berkantor di Merdeka Utara.
Apapun kesimpulan adu argumen nanti dan siapa pun presiden yang terpilih, tol Trans Jawa sudah terwujud. Mau dipandang sebagai impian yang jadi kenyataan atau dianggap sebagai nasi yang terlanjur menjadi bubur, sabuk beton yang mengikat Pulau Jawa itu akan berumur jauh melampaui umur siapa pun presiden Indonesia kelak.
Oleh karena itu, sebagai generasi paling awal, seluruh stake holder tol Trans Jawa saat ini mesti sungguh-sungguh mencari model pengoperasian yang paling ideal. Ideal bagi investor, regulator, pemerintah daerah, dan jauh lebih penting dari itu semua juga kudu ideal bagi seluruh lapisan masyarakat.•
Hasbi Maulana
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News