kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Jangan hanya memancing tax ratio di akuarium


Jumat, 26 Juli 2019 / 08:45 WIB
Jangan hanya memancing tax ratio di akuarium


Reporter: Syamsul Ashar | Editor: Tri Adi

Rasio penerimaan pajak terhadap total perekonomian ekonomi Indonesia alias produk domestik bruto (PDB) yang sering disebut tax ratio, terendah di antara negara-negara di Asia dan Pasifik. Gambaran ini diungkap oleh Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan atau Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) dalam Revenue Statistics in Asian and Pacific Economies yang dipublikasikan pada Rabu (24/7) pekan ini.

Laporan itu mengutip tax ratio Indonesia sebesar 11,5% pada 2017. Sebagai pembanding, negara negara tetangga Malaysia pada periode yang sama sebesar 13,6%, Singapura 14,1%, Filipina 17,5%, atau Thailand yang sebesar 17,6%. Bahkan dengan rerata negara di Afrika sebesar 18,2%, rasio penerimaan pajak di Indonesia terlihat paling rendah.

Perbandingan ini memang kurang pas, karena nilai PDB Indonesia jauh di atas negara-negara tersebut. Seperti perkiraan IMF, PDB Indonesia tahun 2019 ini bisa mencapai US$ 3,743 triliun, sementara Thailand yang jadi terbesar kedua yakni US$ 1,391 triliun dan Malaysia US$ 1,065 triliun, atau Filipina yang sebesar US$ 1,032 triliun. Apalagi dibandingkan dengan Vietnam yang hanya US$ 769,9 miliar atau Singapura yang sebesar US$ 589 miliar tentu Indonesia jauh di atas.

Namun, kita harus mengakui banyak kelemahan-kelemahan di dalam negeri yang harus diperbaiki, agar bisa mendongkrak porsi penerimaan pajak. Kelemahan ini bisa berupa sistem perpajakannya ataupun skema tarif, juga kemudahan bagi masyarakat untuk membayar kewajiban perpajakannya.

Misalnya dari sisi tarif, saat ini rerata tarif pajak penghasilan (PPh) bagi badan usaha di Indonesia yang sebesar 25% dari laba bersih, dinilai lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Meskipun di sisi lain sejatinya banyak tawaran insentif perpajakan bagi badan usaha yang melakukan investasi baru, baik berupa tax holiday, tax allowance, maupun super deduction tax. Masih banyak lagi penghapusan tarif pajak maupun penurunan tarif pada usaha-usaha tertentu.

Selain itu tak perlu kita pungkiri aparat pajak kita saat ini cenderung mengandalkan penerimaan dari pembayar pajak eksisting, atau sering kita sebut dengan berburu di kebun binatang atau memancing di akuarium. Padahal masih banyak potensi penambahan wajib pajak baru, dari para pelaku ekonomi baru, terutama seiring perkembangan ekonomi digital. Kini mari kita tunggu gebrakan pajak.

Syamsul Ashar

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×