kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45899,56   -27,17   -2.93%
  • EMAS1.327.000 1,30%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Jangan katakan kami tidak peduli produksi


Senin, 20 November 2017 / 14:50 WIB
Jangan katakan kami tidak peduli produksi


Reporter: Lamgiat Siringoringo | Editor: Mesti Sinaga

Menjelang akhir Oktober lalu, industri kertas dalam negeri mendapat berita mengagetkan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) membatalkan persetujuan atas revisi Rencana Kerja Usaha (RKU) PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP).

Pembatalan itu berarti raksasa kertas dan bubur kertas itu harus menghentikan kegiatan operasinya untuk sementara. Memang, RAPP masih bisa beroperasi lagi.

Pembatalan persetujuan atas revisi RKU bisa dibilang kartu kuning bagi RAPP. Jika tidak kunjung merevisi RKU yang sesuai dengan PP No 57 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, RAPP terancam akan ditutup selamanya.
 

KLHK mengambil sikap keras karena menilai RKU yang diajukan RAPP tak sesuai dengan aturan pemulihan lingkungan untuk melindungi lahan gambut. Permintaan revisi memang bisa berdampak bagi pengurangan produksi perusahaan yang dikendalikan Grup Raja Garuda Mas ini.
 

Sekretaris Jenderal KLHK Bambang Hendroyono menyatakan pemerintah tidak pernah ingin mematikan industri kertas. Bambang bercerita, awal mulanya muncul kebijakan untuk pemulihan lingkungan. Ia pun menyatakan hanya RAPP yang belum mau mematuhi aturan baru.

Kepada wartawan KONTAN Lamgiat Siringoringo, Bambang membeberkan pangkal masalah dan alur penyelesaian bagi RAPP, dua pekan lalu. Berikut nukilannya:

KONTAN: Apa permasalahan yang terjadi di antara KLHK dengan RAPP?
BAMBANG:
Ini sebenarnya proses yang sudah lama. Tidak ujug-ujug begitu saja. Mulai Desember 2016 hingga kini, kami sudah melakukan sosialisasi mengenai aturan yang sesuai dengan amanat dasar UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, serta Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.

UU itu menyatakan bahwa seluruh perusahaan hutan tanaman industri (HTI) berbasis lahan gambut harus menyesuaikan RKU mereka dengan aturan pemerintah. Kami sudah mengingatkan RAPP untuk segera menyelesaikan RKU.

Perusahaan harus membuat rencana sesuai dengan aturan yang baru soal perlindungan lahan gambut. Karena tidak dilakukan juga, maka kami membatalkan persetujuan RKU RAPP untuk periode 2010 - 2019.

KONTAN: Apa yang seharusnya dilakukan oleh RAPP dalam RKU-nya?
BAMBANG:
RKU yang baru harus memasukkan gambut ke dalam rencana pemulihan di dalam fungsi lindung. Melalui RKU itu, sebenarnya kami menilai komitmen dia dalam melakukan pemulihan dalam rencana berjangka 10 tahunan. Bahwa untuk sementara di lahan HTI tidak bisa ditanami lagi jenis akasia dan ekaliptus.

KONTAN: Aturan gambut ini memang sudah lama ada atau baru berlaku?
BAMBANG:
Kebakaran hutan yang terjadi di tahun 2015 membuat pemerintah harus mengambil kebijakan lingkungan. Akhirnya kami mengambil sikap untuk memulihkan hutan gambut agar kebakaran seperti di tahun 2015 tidak terulang lagi.

Kami berpikir PP Nomor 57 itu harus segera diimplementasikan. PP Nomor 57 ini harus menjadi pegangan seluruh stakeholder. Khusus perusahaan HTI, memang sangat menjadi perhatian kami karena kebakaran hutan di area konsesi HTI itu cukup banyak. Dan ternyata, kebakaran itu terjadi juga di fungsi lindung.

Mengapa perlu aturan itu, karena kita kan sudah punya UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan dan PP Nomor 71 tahun 2015? Alasannya, ya kebakaran hutan yang terjadi di 2015 itu.

Makanya, PP Nomor 57 direvisi. Di PP Nomor 71 memang tidak diatur soal gambut. Ini yang seharusnya dipahami oleh seluruh korporasi, tidak hanya RAPP saja.

Kami harus menjalankan konstitusi bahwa rakyat harus bisa hidup menikmati udara yang sehat dan bersih. Kebakaran yang terjadi di tahun 2015 itu merupakan catatan buruk.

Rakyat banyak terganggu, terutama di Riau dan Sumatra Selatan. Nah, kebakaran itu sebagian terjadi di lahan gambut. Di gambut itu, ada izin HTI dan kebun sawit. Nah, kenapa kami itu menekankan ke HTI, karena kami ingin pemulihan bisa dilaksanakan untuk memperbaiki ekosistem gambut yang rusak karena kebakaran.

KONTAN: RAPP menyatakan bersedia ikut aturan, tetapi meminta lahan pengganti (land swap) terlebih dahulu?
BAMBANG:
Kami ingin melihat komitmen swasta dalam memulihkan ekosistem gambut yang rusak karena di dalamnya ada fungsi lindung dan budidaya. Kami sudah berikan kebijakan itu.

Kalau budidaya silakan dipanen lalu ditanami lagi. Itu boleh. Tetapi yang di fungsi lindung boleh dipanen, tetapi tidak boleh lagi ditanami akasia dan ekaliptus. Ini yang mengawali ketidakpatuhan RAPP.

Dalam suratnya, RAPP meminta meminta lahan pengganti ketika mereka tidak boleh menanam di gambut. Padahal kalau areal mereka menjadi lahan lindung, kami sudah menjamin adanya areal pengganti.

Tetapi pemahaman mereka, areal penggantinya dulu diserahkan,  baru kami mau ganti tanaman. Ya, selama tidak ada land swap, mereka akan terus menanam. Kalau itu kan artinya melanggar. Kebijakannya tidak boleh menanam di fungsi lindung. Dan di buku RKU, mereka tetap memasukkan rencana menanam.

KONTAN: Jadi seharusnya, membuat RKU dahulu, baru mendapat lahan pengganti?
BAMBANG:
Proses yang sesungguhnya memang tidak bisa lansung diputuskan land swap-nya berapa. Karena yang kami inginkan dari perusahaan itu, areal tanaman pokok yang masuk peta ekosistem hutan, yang masuk ke fungsi lindung itu berapa hektare.

Tunjukkan kepada kami, dan kami meminta untuk memulihkan lahannya. Dan jangan ditawar-tawar dulu untuk land swap. Dia tidak membaca Peraturan Menteri (Permen) KLHK Nomor 40 bahwa land swap diberikan kalau RKU sudah disahkan.

Saat itu, baru kelihatan berapa kebutuhannya. Itu pun tidak diberikan langsung, tetapi secara bertahap dan per tahun. Misalnya, tidak bisa menanam di tahun 2018 sekaligus. Tidak bisa menanam 20.000, ditebang dan tidak bisa ditanam lagi, maka penggantinya ada 20.000.

KONTAN: Apakah benar jika RKU tidak disetujui KLHK maka RAPP tidak bisa beroperasi lagi?
BAMBANG:
SK itu bukan berarti pencabutan izin. Jadi tidak perlu resah. SK itu hanya sebuah paksaan pemerintah ke perusahaan untuk segera menyelesaikan RKU. Dan mereka harus segera konsultasi.

Ini terjadi karena mereka takut areal tanamannya nggak bisa ditanam lagi. Akibatnya, produksinya berkurang. Sekarang mereka belum terganggu karena masih belum panen.

KONTAN: Jadi ancaman bakalan ada PHK besar-besaran bisa saja terjadi?
BAMBANG:
Ya, kalau sekarang mereka ketakutan dan mengancam ada PHK bukan karena kebijakan itu. Karena kan belum ada kejadian. Kan RAPP belum memotong produksi. Tebangan RAPP masih terus jalan. Panen jalan terus pada 2015, 2016 dan 2017.

Jadi jangan katakan kami tidak peduli dengan produksi. Kami ini ingin ada keseimbangan di antara produksi dan kelestarian lingkungan.

Ada tiga hal kelestarian yang diamanatkan UU. Ada soal kelestarian lingkungan, kelestarian produksi dan kelestarian sosial. Ini yang kami pegang. Kami menjamin keberlangsungan usaha. Kalaupun sekarang ada pelarangan, ya karena ada sebabnya. Yang utama, ya kebakaran hutan.

KONTAN: Bukannya pemerintah kemarin sudah berhasil mencegah kebakaran hutan?
BAMBANG:
Kami punya strategi wajibkan dulu tidak boleh menanam. Jika terjadi kebakaran di tahun 2015, tidak berarti sekarang pasti aman. Apalagi, ada Asian Games tahun depan.

Kalau bencana itu kan, jika sudah tiga tahun baru bisa dibilang aman, tidak akan terjadi lagi. Itu pun pasca kebakaran kemarin memang pemerintah sudah mengambil langkah. Mulai darurat, penanggulangan hingga rehabilitasi. Nah, sekarang masuk ke tahun ketiga. Kami tetap tidak ingin mengambil risiko. Makanya tetap ada larangan itu.

KONTAN: Jika tidak patuh juga, apakah bisa berujung ke pencabutan izin?
BAMBANG:
Oh, akan dinilai dan akan diambil langkah lebih lanjut yang lebih tegas. Dari awal kelihatan yang tidak patuh aturan itu siapa. Ketika mereka khawatir tanpa dasar, berarti mereka salah.

Pemerintah kan memiliki format untuk regulasi ini. Dan aturan itu ya harus dipatuhi seluruh stakeholder. Andaikan dalam pelaksanaan regulasi perlu ada koreksi, tentu harus menunggu evaluasi dari pemerintah. Bukan swasta yang meminta evaluasi. Masak kebijakan belum dijalankan sudah meminta evaluasi.

Yang pasti, pemerintah menjamin keberlangsungan usaha pemegang izin. Asalkan mereka juga berkomitmen menjaga kelestarian lingkungan. Kami meminta swasta untuk menyelesaikan RKU agar diserahkan kembali.

Dan SK pembatalan RKU itu tidak berarti mencabut izin. Mencabut izin itu, SK izinnya yang dicabut. RKU itu kan hanya persetujuan rencana. Jadi tidak mengganggu, karena itu tidak perlu ada gejolak akibat SK pembatalan RKU tersebut. Apalagi sampai menggelar aksi demonstrasi.

Yang terpenting, RAPP diminta segera menyusun RKU baru dan menyerahkan ke KLHK sampai batas waktu yang ditetapkan.

KONTAN: Banyak perusahaan yang punya izin HTI di gambut selain RAPP. Apakah mereka juga patuh?
BAMBANG:
Yang sudah selesai itu ada 12 perusahaan. Yang masih dalam proses penyusunan itu 40-an perusahaan. Sepertinya mereka akan patuh. Memang masih ada 40 perusahaan lagi yang belum patuh.

KONTAN: Dari seluruh perusahaan yang belum patuh itu, mengapa cuma RAPP yang disorot?
BAMBANG:
Semua perusahaan yang belum patuh itu merupakan mitra dari RAPP. Artinya, kalau RAPP mau patuh, yang lain akan ikutan.

KONTAN: Apakah sudah ada HTI besar lain yang  menyatakan akan mengikuti aturan lahan gambut ini?
BAMBANG:
Ada. Perusahaan milik kelompok Sinar Mas itu patuh, kok. Ada juga beberapa perusahaan besar lain di Riau yang sudah patuh.   

Bambang Hendroyono, Sekjen KLHK
Riwayat pendidikan:
- S1 Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
- S2 Magister Manajemen STIE IPWI Jakarta
- S3 Doktor Administrasi Publik Universitas Brawijaya Malang

Riwayat pekerjaan:
- Kepala Bagian Rumah Tangga Departemen Biro Umum Setjen Departemen Kehutanan (Dephut)
- Kepala Biro Umum pada Setjen Dephut
- Sekretaris Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan Kementerian Kehutanan (Kemhut)
- Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan, Kemhut
- Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

* Artikel ini sebelumnya sudah dimuat di Tabloid KONTAN edisi 6 Nove,ber - 12 November 2017. Selengkapnya silakan klik link berikut: "Jangan Katakan Kami Tidak Peduli Produksi"

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×