kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.499.000   -40.000   -2,60%
  • USD/IDR 15.935   -60,00   -0,38%
  • IDX 7.246   -68,22   -0,93%
  • KOMPAS100 1.110   -11,46   -1,02%
  • LQ45 880   -11,76   -1,32%
  • ISSI 222   -0,92   -0,41%
  • IDX30 452   -6,77   -1,48%
  • IDXHIDIV20 545   -7,80   -1,41%
  • IDX80 127   -1,32   -1,03%
  • IDXV30 136   -1,06   -0,77%
  • IDXQ30 150   -2,29   -1,50%

Jokowi dan politik Islam nasionalis


Senin, 13 Agustus 2018 / 15:06 WIB
Jokowi dan politik Islam nasionalis
ILUSTRASI. ILUSTRASI OPINI - Jokowi dan Politik Islam Nasionalis


Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi

Politik Islam dan nasionalis nampaknya selalu menjadi perhatian serius manakala petahana Presiden Joko Widodo (Jokowi) memilih calon wakil presiden (cawapres) untuk menemani dirinya di ajang pemilihan presiden (pilpres) tahun 2019 nanti. Hal ini rupanya sudah menjadi prinsip Jokowi sejak awal. Terlihat misalnya, kali pertama Jokowi digaet Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sebagai capres pada tahun 2014 silam. Saat itu ia pun memilih Jusuf Kalla yang notabene dari tokoh Islam sebagai calon wakil presidennya di periode tahun 2014 sampai 2019.

Siklus itu tampakanya akan terulang pada saat ini. Jika kita mau melihat kembali kejadian ke belakang, Islam dan Nasionalisme di Indonesia, sejak mulanya negara ini berdiri memang sudah cukup akur. Prinsip berpolitik seperti ini lazimnya dipegang secara kukuh dalam ideologi politik PDIP dibawah kekuasaan Megawati Soekarno Putri.

Dari awal berdirinya bangsa Indonesia, Soekarno memang dekat dengan KH Hasyim Asyari. Kedekatan Sang Kiai dengan tokoh-tokoh Nasionalis seperti Bung Karno contohnya sudah terjadi saat mereka berdua menyokong kemerdekaan Indonesia. Malah sampai-sampai salah satu jargon yang diambil dari pepatah Arab sering dijadikan legitimasi untuk membantu mengungkit sentimen nasionalisme masyarakat Indonesia, hubb al-Wathan min al-Iman (nasionalisme merupakan bagian dari Iman).

PDIP selama ini memang sangat mengakomodasi dengan kelompok Islam, terutama akar rumput atau muslim rural seperti masyarakat Nahdlatul Ulama (NU). Semasa Taufik Kiemas hidup, upaya mengakurkan ideologi Islam dan nasionalisme sangat dominan. Misalnya, membentuk Baitul Muslimin Indonesia (BMI). Saat itu PDIP mengakomodasi tokoh-tokoh elite NU agar bergabung.

Mengakurkan ideologi Islam dan nasionalis saat ini sangat penting. Apalagi ketika problem-problem sosial, politik dan ekonomi mencuat ke permukaan. Dan terkadang bisa melunturkan rasa kecintaan terhadap nasionalis. Dalam bidang ekonomi, misalnya, era globalisasi pasar (free market) sudah nyata-nyata melunturkan kebudayaan dan identitas bangsa.

Selain itu, persoalan sosial-politik secara bertubi-tubi menghantam serta menggerogoti nasionalisme ke-Indonesiaan tersebut. Dewasa ini, misalnya, sebagian kaum muslim dengan komunitasnya atau organisasinya sering mengaspirasikan supaya tegaknya peraturan daerah (perda) syariah, yang dianggap bertentangan dengan konstitusi kebangsaan Indonesia.

Cinta tanah air

Dalam ranah itu, kesannya seakan-akan ada pertentangan antara Indonesia sebagai negara-bangsa dan Islam di sisi lain. Padahal jelas sudah, semenjak para founding father atau pendiri bangsa ini mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia, perdebatan antara negara dan agama itu sudah final dan tutup buku.

Justru yang harus dijaga, dalam kerangka bahwa mencintai tanah air merupakan bagian dari Iman. Sebagai warga negara kita harus menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Coba kita perhatikan perkataan dari Huub de Jonge sekali lagi dengan seksama: Sebuah bangsa terlahir karena adanya perbedaan-perbedaan."

Ada kisah menarik yang pernah diceriterakan oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur), ketika itu pada saat Laksamana Maeda melimpahkan kekuasaan Jepang kepada Indonesia yang diwakili Bung Karno, lantas Bung Karno mengutus seorang ajudan agar sowan ke Hadratus Syaikh Hasyim Asyari perihal untuk menanyakan sekaligus berkonsultasi akan dikemanakan negara-bangsa Indonesia ini.

Hadratus Syaikh hanya mengatakan kepada ajudan itu, urusan negara sepenuhnya diserahkan kepada Bung Karno di Jakarta. Dari kisah itu menandakan bahwa para ulama pun semenjak semula sangat mencintai dan mendukung konsep tanah air dan kebangsaan Indonesia yang digagas para founding father.

Bahkan dalam sejarah Indonesia nonmainstream, banyak sekali peranan ulama yang berjuang untuk kemerdekaan Indonesia dalam melawan penjajahan Belanda. Khususnya lewat tarekat-tarekat yang sangat berpengaruh kental dalam kultur masyarakat muslim Indonesia.

Dalam hal itu, NU baik secara institusi maupun tradisinya, yaitu sebagai organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia. Bahkan menurut KH. Mustofa Bisri (Gus Mus) organisasi agama tersebut juga menjadi yang terbesar di dunia. Dan NU semenjak semula mendukung penuh konsep kebangsaan Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika yang artinya berbeda-beda tetapi tetap satu. NU secara tegas dalam khittah 1926 menyatakan bahwa persoalan-persoalan politik dan negara dilimpahkan sepenuhnya pada mekanisme politik dan kenegaraan yang berlaku.

NU tidak mencampuri urusan politik. Karena komunitas keagamaan (jamiyyah) sajalah yang hanya berjuang lewat jalur dakwah, pendidikan dan pengabdian kepada masyarakat yang sudah menjadi tradisi kultural organisasi tersebut. NU hanya memberi kontribusi kepada negara-bangsa Indonesia secara kultural bagi terciptanya tatanan masyarakat yang madani (civil society). Yaitu lewat pendidikan pesantren dan program yang lainnya, seperti disebut di atas.

Peranan masyarakat muslim bagi tatanan kebangsaan Indonesia saat ini adalah dalam rangka mengaktualisasikan rasa nasionalisme terhadap bangsa dan negara Indonesia. Ini adalah mereka yang dapat memberi kontribusi yang positif dan bermanfaat bagi negara dan masyarakat. Bentuknya adalah bisa dilakukan lewat pelbagai bidang keahlian dan profesi masing-masing. Dan tentunya juga dalam bidang pendidikan, dakwah, kesehatan serta pengetahuan dan teknologi.

Di tengah stigma global bahwa masyarakat muslim sangat kontras dengan kemiskinan, keterbelakangan, konflik, peperangan dan terorisme, kiranya masyarakat muslim Indonesia harus tampil memberikan contoh keteladanan. Tidak benar jika Islam dan masyarakat muslim dikaitkan dengan stigma-stigma negatif yang semakin berkembang.•

Ismatillah A. Nu'ad
Peneliti Indonesian Institute for Social Research and Development

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Kiat Cepat Baca Laporan Keuangan Untuk Penentuan Strategi dan Penetapan Target KPI Banking and Credit Analysis

[X]
×