Reporter: Hendrika Yunapritta | Editor: Tri Adi
Majalah TIME, salah satu media yang pengaruhnya luas, dibeli oleh Marc Benioff, miliarder teknologi yang adalah salah satu pendiri Salesforce. Benioff, menurut Forbes, tercatat mempunyai kekayaan US$ 4,9 miliar (Rp 72,7 triliun) tahun ini. Dengan kekayaan itu, pembelian TIME yang dirampungkannya dengan Meredith Corporation senilai US$ 190 juta (Rp 2,8 triliun dengan kurs sekarang), serasa kecil.
Salesforce, raksasa CRM dan cloud computing dunia bilang bahwa pembelian itu merupakan transaksi pribadi Benioff, tidak terkait dengan perusahaan. Benioff menyusul dua taipan teknologi yang sebelumnya beli perusahaan media. Adalah Jeff Bezos, pendiri Amazon's, yang tahun 2013 membeli Washington Post. Setelah itu, Laurene Powell Jobs, janda dari Steve Jobs, membeli majalah The Atlantic, pada Juli 2017, melalui The Emerson Collective, organisasi miliknya.
Orang kaya dan media, memang bukan hal baru. Di Indonesia sendiri, banyak dari penghuni daftar orang terkaya, punya bisnis media. Keluarga Hartono, sebagai pemuncak daftar domestik, misalnya, punya beberapa media online. Lantas, Chairul Tanjung, Mochtar Riady, dan Hary Tanoe, masing-masing punya media mereka sendiri.
Namun, masuknya miliarder teknologi yang mengambilalih bisnis media, memang jadi fenomena baru. Banyak orang bertanya-tanya, dalam kondisi bisnis media yang masih mencari pijakan baru seperti sekarang, mengapa mereka justru tertarik mengambilalih? Tidak sedikit media yang terpaksa tutup karena bisnisnya merugi, kendati usianya sudah ratusan tahun. Begitu pun media yang berjuang hidup dan ditawarkan ke pihak lain, seperti TIME.
Benioff bilang TIME layaknya harta dalam budaya Amerika, dengan keunikan bertutur mereka. Ini merek ikonik yang bikin dia tertarik. Setelah membeli Atlantic, Powell Jobs mengatakan hal serupa. Ia tertarik karena majalah berusia 160 tahun ini penting dan harus tetap hidup. Bezos juga tak beda karena ia menganggap The Washington Post punya peran penting dalam sistem demokrasi Amerika.
Jadi, begitulah, kendati bisnis media konvensional tengah berjuang, mereka masih tetap seksi dan punya daya tarik. Memiliki media, lebih lagi yang legendaris dan punya pengaruh besar, rupanya mendatangkan kepuasan bagi para miliarder teknologi tersebut. Menurut pengamat, itu jadi salah satu bentuk pertanggungjawaban mereka pula bagi masyarakat.•
Hendrika Yunapritta
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News