kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ke Mana Arah Angin Hukum Maritim Kita?


Kamis, 25 Februari 2021 / 13:06 WIB
Ke Mana Arah Angin Hukum Maritim Kita?
ILUSTRASI.


Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - Adalah kasus penahanan kapal tanker berbendera Iran dan Panama beberapa waktu lalu yang menjadi pembukanya sehingga publik makin mengetahui kondisi hukum maritim nasional dan bagaimana diterapkan. Hingga tulisan ini diselesaikan, kedua kapal tersebut, masing-masing MT Horse dan MT Freya, masih ditahan di Pulau Batam, Kepulauan Riau (Kepri) menunggu pelepasannya. Pertengahan Februari ini, penulis berkesempatan berspeed-boat mendekat ke kapal MT Horse yang tengah lego jangkar di Batam. Sayang, MT Freya tidak jelas parkir di mana sehingga tak berhasil dijenguk.

Sebelumnya beredar pernyataan yang menyebutkan bahwa kedua kapal hanya akan dikenakan sanksi administratif. Ada pula pernyataan yang bilang mereka akan didenda Rp 200 juta. Tak jelas yang mana satu dari kedua opsi ini yang akan diterapkan. Kita lihat saja. Yang jelas, Indonesia memiliki catatan penahanan kapal yang lama di dunia. Dulu, pada 2012, setelah bertubrukan dengan KMP Bahuga Jaya yang mengakibatkan feri ini tenggelam, dalam catatan penulis, kapal Norgas Cathinka (berbendera Singapura) yang menabrak feri tersebut ditahan hampir setahun.

Publik domestik sejauh ini mengetahui bahwa hukum maritim di dalam negeri ditegakkan oleh beberapa instansi yang memiliki kewenangan yang setara di antara mereka atau dengan kata lain yang satu tidak lebih tinggi dibanding lainnya. Lalu, muncul kasus penahanan MT Horse dan MT Freya oleh Badan Keamanan Laut (Bakamla) RI. Pengetahuan publik atas situasi hukum maritim di Indonesia pun makin dalam dibuatnya. Yaitu, dari instansi penegak hukum di laut yang ada, ternyata Bakamla RI menjadi ketua kelas bagi mereka. Begitulah seringkali diucapkan oleh orang nomor satu di lembaga itu.

Soleman B Pontoh, pensiunan TNI Angkatan Laut (AL) yang kini bergiat sebagai pengamat kemaritiman, menyatakan, keberadaan ketua kelas yang sering disebut Bakamla itu sudah terpikirkan sejak dulu, bukan baru sekarang ini. Sayangnya, masih pendapat Pontoh, posisi yang dimaksud berada di tangan Penjaga Laut dan Pantai (Sea and Coast Guard).

Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 17/2008 tentang Pelayaran, jabatan ketua kelas atau koordinator ini terkait dengan penegakan hukum di laut dan terselenggaranya keselamatan dan keamanan di laut yang ditetapkan berdasarkan UU bersangkutan.

Harap jangan menyamakan Sea and Coast Guard yang dimaksud oleh mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI 2011-2013 ini dengan Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai atau KPLP, sebuah unit eselon II di dalam Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Kementerian Perhubungan (Kemhub).

Pasal 276 ayat 3 UU 17/2008 menggariskan bahwa lembaga dimaksud dibentuk dan dan bertanggung jawab kepada Presiden dan secara teknis operasional dilaksanakan oleh Menteri. Beleid ini juga menetapkan bahwa Penjaga Laut dan Pantai merupakan pemberdayaan Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) dan perkuatan KPLP. Bakorkamla adalah pendahulu Bakamla.

Tumpang tindih wewenang

Di tengah dinamika penegakan hukum maritim nasional, muncul sebuah Rencana Peraturan Pemerintah (RPP) yang jika kelak disetujui dan ditandatangani oleh Presiden, akan merubah arsitektur instansi penegak hukum maritim lokal dengan cukup signifikan. Aturan ini pembahasannya difasilitasi oleh Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan HAM (Kemko Polhukam) tetapi, melihat dari nomenklaturnya, aturan ini agaknya diinisiasi oleh Bakamla. Adapun nama lengkapnya adalah RPP Tata Kelola Keamanan, Keselamatan, dan Penegakan Hukum di Wilayah Perairan Indonesia dan Wilayah Yurisdiksi Indonesia.

Penulis beruntung memiliki draft atau naskah bakal aturan ini dan sempat mencermatinya. Ada beberapa catatan yang bisa disampaikan terkait aturan itu. Pertama, pada pertimbangan huruf a: bahwa saat ini banyak UU yang mengatur mengenai keamanan, keselamatan dan penegakan hukum di laut sehingga mengakibatkan tumpang tindih pelaksanaan tugas dan fungsi kementerian dan lembaga dalam rangka penjagaan keamanan, keselamatan dan penegakan hukum di laut.

Lalu, huruf b: bahwa untuk menghilangkan tumpang-tindih tugas, fungsi dan kewenangan dalam pelaksanaan patroli keamanan dan keselamatan serta penegakan hukum di laut perlu membentuk suatu tata kelola dan hubungan kelembagaan penegakan hukum di laut.

Sebenarnya tidak benar terjadi tumpang tindih dalam pelaksanaan tugas dan kewenangan di laut Indonesia. Seluruh pihak terkait bersinergi, baik itu dalam kegiatan preemptive, preventif maupun represif. Masing-masing pemangku kepentingan di laut berpijak kepada UU yang menaunginya masing-masing. Malah, bila RPP ini diberlakukan, justru akan berpotensi menimbulkan tumpang tindih dalam pelaksanaan tugas di lapangan. Rasanya penyusun naskah RPP perlu menjelaskan lebih konkrit berdasarkan kajian yang mendalam terkait narasi adanya tumpang tindih dalam pelaksanaan tugas dan fungsi kementerian/lembaga.

Sementara itu, huruf c menyebutkan: bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b serta untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (4) UU No 32 tahun 2014 tentang Kelautan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Tata Kelola Keamanan, Keselamatan, dan Penegakan Hukum di Wilayah Perairan Indonesia dan Wilayah Yurisdiksi Indonesia. Tujuan penyusunan kebijakan tata kelola dan kelembagaan laut adalah untuk meningkatkan sinergitas antar instansi terkait di perairan Indonesia.

Sayangnya, dalam RPP yang ada terlihat ada niat untuk lebih menonjolkan kewenangan salah satu instansi. Bahkan, menghilangkan kewenangan instansi lain yang telah diatur dengan peraturan yang lebih tinggi, yakni UU. Ada beberapa huruf lagi terkait aspek pertimbangan RPP yang bisa dibahas tetapi kita cukupkan sampai huruf c saja.

Kedua, penyusunan RPP Tata Kelola Keamanan, Keselamatan, dan Penegakan Hukum di Wilayah Perairan Indonesia dan Wilayah Yurisdiksi Indonesia sepertinya tidak pernah melibatkan unsur instansi terkait. Di sisi lain, aturan ini banyak sekali memuat tentang pelaksanaan tugas pokok fungsi, dan tanggung jawab instansi lain dalam hal penegakan hukum di laut. Semestinya instansi-instansi yang ada ikut dilibatkan dalam pembahasan dan penyusunan RPP ini.

Ketiga, seperti yang yang penulis singgung di muka bahwa RPP diinisiasi oleh Bakamla, amat sangat bisa dirasakan lembaga ini ingin menjadi penegak hukum tunggal di laut. Boleh saja sih, hanya saja harap diingat, berdasarkan KUHAP penyidik (hukum maritim) adalah Polri dan PPNS tertentu, dan Penyidik TNI AL untuk UU Perikanan. Terkait pelaksanaan patroli, Bakamla ingin menjadi pengendali pelaksanaan seluruh armada patroli milik instansi yang memiliki kewenangan di wilayah perairan Indonesia.

Penulis : Siswanto Rusdi

Direktur The National Maritime Institute (Namarin)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×