kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Kebebasan Sipil dalam Ancaman?


Senin, 22 Februari 2021 / 12:02 WIB
Kebebasan Sipil dalam Ancaman?
ILUSTRASI.


Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - Keberadaan Undang Undang (UU) No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) kembali menjadi perhatian, setelah UU ITE ini memakan banyak korban, terutama untuk hal-hal yang terkait soalan politik. Mungkin benar, jika belum menyentuh soal kekuasaan, banyak pihak yang acuh dengan pasal-pasal karet dalam UU ITE ini. Padahal, jauh sebelum memakan korban terkait perkara politik, UU ITE sudah jauh lebih dahulu memakan korban dalam kasus lain yang menyerang kebebasan menyampaikan pendapat.

Ada dua persoalan yang beredar di seputar UU ITE dan penerapannya. Pertama, adalah soal substansi hukum dari UU ITE itu sendiri. Pasal penghinaan dan pasal penghasutan yang ada di dalam UU ITE tergolong sebagai pasal karet. Pasal karet semacam ini rentan ditafsirkan secara luas dan menjadi pukat harimau bagi segala macam persoalan.

Kedua adalah dari sisi penerapannya. Secara umum, pasal penghinaan yang terkandung dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE tergolong sebagai delik aduan. Namun dalam kasus-kasus yang bernuansa politis, pihak pelapor yang melaporkan kepada aparat penegak hukum justru bukanlah pihak yang disinggung atau dikritik di dalam twitter atau youtube channel seseorang.

Pihak-pihak yang melontarkan kritik tentang bagaimana republik ini seharusnya dikelola, justru harus berhadapan dengan pihak ketiga baik yang bentuknya lembaga swadaya masyarakat ataupun perorangan yang juga tidak jelas apa kaitan dengan persoalan utama.

Dua persoalan masalah ini, sebenarnya masih lebih mudah karena tergolong sebagai persoalan yang sifatnya legal-formal. Artinya, sepanjang ada perubahan terhadap UU ITE dan paradigma penegak hukum dalam menyelesaikan persoalan, maka hal ini relatif akan cepat teratasi.

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 50/PUU-VI/2008 sudah cukup jelas dalam berpendapat bahwa tafsir atas Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dapat dipisahkan dari norma hukum pokok dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP sebagai genus delict yang mensyaratkan adanya pengaduan untuk dapat dituntut. Sedangkan Pasal 72 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang dapat menjadi pelapor hanyalah korban atau wakilnya yang sah. Jika persoalan formal tentang siapa pelapor dalam delik aduan ini tidak tegas, maka kita akan terus berada dalam bayang-bayang ketidakpastian hukum.

Masalah utama kritik

Namun, menyelesaikan persoalan dari sisi yuridis saja hanyalah ibarat mengoleskan salep di atas borok. Konteks utamanya adalah bagaimana kita membenahi cara kita memandang demokrasi dan kritik itu sendiri. Kritik, bahkan hinaan sebagai spektrum terliar dari kritik itu sendiri, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari demokrasi.

Masyarakat memerlukan keteladanan tentang bagaimana memberi kritik dan menerima kritik dilakukan depan sopan dan beradab. Para tokoh bangsa harus memulai itu dari diri sendiri terlebih dahulu. Contoh dan keteladanan yang nyata adalah elemen paling utama untuk pembangunan infrastruktur dan kultur demokrasi yang kuat.

Sekontroversial apapun Presiden George W. Bush, namun ia tidak pernah absen dalam White House Correspondence Dinner. Selalu, dalam setiap tahun, Presiden Bush menertawakan dirinya sendiri di hadapan publik. Mulai dari kejadian politik seperti insiden berburu yang dialami oleh Wakil Presiden Dick Cheney, sampai menertawai diri sendiri yang terkenal sering salah ucap terminologi sulit dalam berpidato.

Tradisi Presiden Amerika Serikat bertemu dengan insan pers dalam suasana guyub seperti itu berlangsung sejak lama. Presiden Amerika menunjukkan keguyuban dengan insan pers, bahkan terhadap media yang kerap mengkritik kebijakan sang presiden. Presiden Amerika tidak mengajak pers atau rakyat untuk tidak takut mengkritik dirinya, tapi mereka lebih jauh lagi dengan mengkritik dirinya sendiri di hadapan publik.

Dalam konteks ini, Presiden dan tokoh-tokoh publik di Indonesia perlu belajar jika serius untuk membangun kultur demokrasi yang sehat. Mengatasi masalah pasal penghinaan akan lebih sederhana jika para tokoh publik menjadi contoh berlapang dada dan tidak gemar tersinggung.

Jika mereka menjadi contoh untuk merendahkan dirinya sendiri, rakyatpun akan belajar dengan sendirinya. Jika mereka yang ada dalam posisi mulia saja tidak gampang tersinggung, siapakah saya yang hina dina ini? Kultur semacam ini merupakan penyangga demokrasi untuk nantinya kita mencapai dialektika yang benar-benar bebas.

Kebebasan berpendapat adalah suatu kemutlakan yang seharusnya tidak boleh dibatasi apabila kita konsisten berdemokrasi.

Dalam The Elements of Law, Thomas Hobbes mengingatkan bahwa a democracy, in effect, is no more than an aristocracy of orators, interrupted sometimes with the temporary monarchy of one orator. Maka, jika kita masih memasung kebebasan berpendapat demi unggah-ungguh ketimuran, kita akan menjalani demokrasi pincang. George Washington pernah berujar: If freedom of speech is taken away, then dumb and silent we may be led, like sheep to the slaughter.

Hukum, sebaiknya dihindarkan untuk menjadi alat penyelesaian hal-hal yang sifatnya tidak terjangkau rasio. Hukum itu terbatas kegunaannya dan memang harus dibatasi penggunaannya. Mengharapkan hukum untuk menyelesaikan segala hal di dunia adalah suatu yang naif.

Jika kita masih bertopang hanya kepada hukum, maka hukum yang mengatur soal-soal ucapan kebencian yang diatur dengan pasal-pasal yang sangat umum akan rentan disalahgunakan untuk memasung kebebasan dan semakin mendidik orang untuk gampang marah dan tersinggung karena hukum memberikan insentif untuk perasaan-perasaan semacam itu.

Selama kita belum mengalami kesadaran pencerahan, masih tetap sempit cakrawala berfikir, dan terlalu mengandalkan perasaan, selama itu kita akan mudah terpecah belah dan demokrasi serta hak-hak sipil akan berada dalam ancaman.

Ancaman paling serius terhadap demokrasi tidak pernah datang dari luar. Ia datang merayap dari dalam. Kebebasan sipil akan selalu berada dalam ancaman, selama kita saling menjadi serigala bagi sesama.

Penulis : Michael H. Hadylaya

Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Litigasi Jakarta

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×