kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Kebijakan ekspor karet alam


Selasa, 24 September 2019 / 10:05 WIB
Kebijakan ekspor karet alam


Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi

Harga komoditas karet alam global masih tertekan beberapa tahun terakhir. Harga rata-rata karet alam utama Indonesia, yaitu jenis Technically Specified Rubber 20 (TSR), hanya USD 1,42 per kg di pasar internasional untuk periode Januari-September 2019.

Harga itu tidak jauh berbeda dengan harga rata-rata di periode yang sama tahun lalu yang hanya sebesar US$ 1,40 per kg. Menariknya, ketiga produsen utama karet alam dunia, yakni Thailand, Indonesia dan Malaysia, telah sepakat mengurangi ekspor karet alamnya selama April-Juli 2019 sebesar 240.000 ton. Dengan berkurangnya suplai karet alam global, tadinya harga karet diharapkan dapat meningkat.

Kebijakan pengurangan ekspor karet memang sempat meningkatkan harga karet alam global. Tercatat harga rata-rata TSR pada periode implementasi kebijakan (April-Juli 2019) mencapai US$ 1,49 per kg, lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun lalu dimana harga rata-rata TSR hanya sebesar US$ 1,38 per kg.

Akan tetapi, harga TSR kembali melemah memasuki Agustus 2019. Data Bloomberg menunjukkan harga TSR pada 20 September 2019 hanya US$ 1,33 per kg. Hal ini sejalan dengan perkiraan kami, dimana kebijakan tersebut hanya akan memberikan dampak positif jangka pendek mengingat fundamental permintaan karet alam global belum berubah.

Kebijakan pengurangan ekspor ini bukan kali pertama dilakukan oleh Thailand, Indonesia dan Malaysia. Tercatat setidaknya mereka telah menerapkan dua kali kebijakan serupa pada tahun 2016 dan 2017.

Sayangnya, pengurangan ekspor karet alam pada kedua tahun tersebut masih jauh dari target. Kebijakan tahun 2016 hanya mampu mengurangi sekitar 152.000 ton ekspor karet alam atau sekitar 21,7% dari target. Tidak jauh berbeda, realisasi pengurangan ekspor karet pada tahun 2017 pun hanya sekitar 36% dari target yang telah ditentukan. Hal ini menandakan bahwa pengawasan menjadi salah satu titik lemah implementasi kebijakan tersebut.

Lantas bagaimana realisasi pengurangan ekspor selama periode April-Juli 2019? Menariknya, kebijakan pengurangan ekspor tahun 2019 lebih didukung pemerintah masing-masing negara. Pemerintah Indonesia bahkan sempat menerapkan kuota ekspor karet pada periode itu. Hasilnya cukup positif.

Ekspor karet alam Thailand, Indonesia dan Malaysia selama April-Juli 2019 menurun 296.000 ton dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Lebih rinci lagi, Indonesia mengalami penurunan ekspor karet terbesar, yakni 188.000 ton atau menurun 11,1% (yoy). Sementara ekspor karet alam Thailand menurun 112.700 ton (-5,5%), sedangkan Malaysia sedikit meningkat sebesar 5.200 ton (+1,4%).

Ditelaah lebih lanjut, penurunan ekspor karet alam Indonesia ternyata tidak hanya disebabkan implementasi kebijakan pengurangan ekspor. Petani karet Indonesia dihadapkan pada penyakit gugur daun berkepanjangan yang menyebabkan produksi karet alam Indonesia menurun.

Pemerintah memperkirakan setidaknya terdapat 381.000 hektare kebun karet yang terdampak penyakit tersebut yang tersebar di enam provinsi penghasil karet. Dampaknya, produksi karet alam Indonesia selama tahun 2019 diprediksi turun 15% dibandingkan tahun lalu.

Pemerintah dan pihak terkait pun bereaksi dengan menyediakan fungisida untuk meningkatkan ketahanan pohon para petani.

Potensi berkurangnya pasokan karet dari Indonesia seharusnya menjadi sentimen untuk peningkatan harga karet alam global. Namun, pergerakan harga karet tidak banyak berubah. Kami menilai salah satu penyebabnya adalah berkurangnya permintaan global. Industri otomotif selaku sektor yang mengkonsumsi lebih dari 50% pasokan karet alam global mengalami keterpurukan sepanjang 2019.

Contohnya, penjualan mobil di Tiongkok menurun 10,9% (yoy) sepanjang Januari-Agustus 2019. Penjualan mobil di Amerika Serikat dan Jepang pun tidak terlalu baik, masing-masing negara hanya mampu mencatatkan pertumbuhan penjualan mobil sebesar 0,4% dan 1,8%.

Indikator lainnya adalah masih melemahnya permintaan dari Tiongkok, selaku importir karet alam terbesar dunia. Volume impor karet alam Tiongkok menurun 2,6% sepanjang Januari-Juli 2019 sejalan dengan perlambatan pertumbuhan perekonomiannya. Hal ini merupakan dampak negatif dari perang dagang yang berkelanjutan dengan Amerika Serikat.

Melihat tensi yang masih panas, sepertinya permintaan karet alam Tiongkok masih cenderung tertekan ke depannya.

Pemerintah Indonesia telah berupaya mendorong peningkatan penyerapan karet alam domestik, misalnya sebagai campuran aspal dan bantalan kereta api. Namun, dampaknya masih belum signifikan.

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat menyatakan telah menggunakan karet sebagai campuran aspal di sembilan provinsi sepanjang 65,5 kilometer. Karet yang terserap pun hanya 187 ton, atau sekitar 0,005% dari total produksi karet alam nasional.

Kami menilai industri hilir karet Indonesia masih perlu dikembangkan. Berlimpahnya bahan baku karet alam adalah keunggulan kompetitif bagi Indonesia. Selain itu, Indonesia memiliki pasar otomotif yang cukup besar sehingga membutuhkan dukungan industri suku cadang kendaraan yang besar pula.

Salah satu yang menarik adalah impor sarung tangan karet Indonesia hampir tiga kali lipat lebih besar daripada ekspornya. Hal ini mengindikasikan bahwa kebutuhan dalam negeri masih lebih banyak dipasok melalui impor dan merupakan peluang pasar bagi industri pengolahan karet alam.♦

Andrian Bagus Santoso
Analis Industri Bank Mandiri

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×