kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Kebingungan imbal hasil investor ekuitas


Senin, 17 Desember 2018 / 09:35 WIB
Kebingungan imbal hasil investor ekuitas


Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi

Mengambil dari www.investopedia.com, investasi didefinisikan sebagai perolehan aset dengan tujuan menghasilkan pendapatan dan apresiasi nilai. Dari konsep ini, kita dapat membedakan investasi dari spekulasi. Investasi, menurut Warren Buffett, adalah perolehan aset yang digunakan untuk menghasilkan pendapatan, seperti sekuritas (saham dan obligasi), rumah/apartemen sewa, atau lahan perkebunan. Spekulasi yakni perolehan aset dengan semata-mata mengharapkan apresiasi harga di kemudian hari, seperti tanah, emas, atau derivatif mata uang.

Tujuan investasi hanya satu: imbal hasil yang dapat diperoleh di masa mendatang. Lalu, bagaimana sebenarnya mengukur imbal hasil? Ketika hari ini saya membeli saham Rp 100, sebulan saya jual di harga Rp 120, apakah imbal hasil saya 20% dalam sebulan?

Dari lingkup yang lebih luas, jika saya menaruh uang dan mendiversifikasikan pada Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) akhir 1998 di harga Rp 398 dan menjual akhir 2017 di harga Rp 6.355, apakah imbal hasil akumulasi saya adalah sebesar 1.496% dengan rata-rata pertumbuhan majemuk (CAGR) 15,7% per tahun? Kekeliruan mendasar mengenai imbal hasil semacam ini seringkali membingungkan kita sebagai investor.

Investor berkonsentrasi pada nilai (intrinsik), sedangkan spekulator pada harga (pasar). Menjadi membingungkan ketika hampir seluruh pelaku pasar, analis, pialang, dan institusi keuangan merujuk pada pertumbuhan harga, baik IHSG maupun saham yang Anda pegang, selama periode tertentu sebagai acuan mengukur tingkat imbal hasil investasi. Jika pertumbuhan harga di pasar menjadi acuan untuk mengukur imbal hasil investasi, lalu bagaimana mengukur imbal hasil bagi investor pada perusahaan privat yang harganya tidak muncul pada papan utama, papan pengembang, atau papan mana pun di belahan dunia ini?

Rujukan harga sebagai acuan imbal hasil sungguh membingungkan mengingat investasi sendiri adalah segala hal tentang nilai, bukan harga. Melalui tulisan ini, izinkan saya membawa Anda ke dalam pembelajaran dari Benjamin Graham melalui magnum opus-nya, The Intelligent Investor. Pada Bab 8 yang berjudul Investor dan Fluktuasi Pasar, Graham membedakan dua sudut pandang bagi investor, yaitu investor yang memosisikan diri sebagai pemegang saham pada entitas bisnis privat yang sahamnya tidak diperdagangkan di pasar dan investor yang memosisikan dirinya sebagai pemegang saham yang dapat kapan saja membeli dan menjual sahamnya ke pasar.

Graham menganjurkan investor cerdas, sesuai judul bukunya, untuk memosisikan diri pada dua sudut pandang tersebut, tetapi dengan batasan yang rasional. Menurutnya, investor sebaiknya memosisikan diri seolah-olah sebagai pemegang saham pada entitas privat agar komitmen menggenggam saham tersebut tidak terganggu psikologi pasar yang fluktuatif. Namun, investor juga tidak boleh naif menutup diri dari pergerakan harga karena selalu ada kesempatan yang terkadang tidak rasional yang ditawarkan oleh pasar. Saat pasar menawarkan saham perusahaan bernilai tinggi dengan harga miring, investor harus segera menambah porsi kepemilikannya.

Kesimpulannya, imbal hasil bagi investor adalah pertumbuhan nilai intrinsik, yaitu arus kas bersih yang dapat didistribusikan kepada pemegang saham, bukan harga di pasar. Nilai intrinsik hanya dapat dihitung dengan memproyeksikan arus kas bersih di masa mendatang dalam kurun waktu tertentu plus arus kas bersih yang dapat dihasilkan hingga akhir zaman (terminal value) lalu didiskonto dengan discount rate yang wajar.

Mengukur imbal hasil

Lalu, bagaimana mengukur imbal hasil sebenarnya? Hanya ada dua ukuran: pertumbuhan laba bersih lebih tepatnya arus kas bersih yang dihasilkan dan pertumbuhan nilai buku dalam kurun waktu tertentu. Kemudian, hitung berapa harga yang wajar, umumnya melalui dua metode, yaitu rasio harga terhadap laba per saham(price to earnings per share) dan rasio harga terhadap aset bersih (price to book value per share).

Ukuran imbal hasil adalah rasio profitabilitas, yaitu return on capital (return on assets, return on equity, atau return on capital employed). Asumsikan aset perusahaan Rp 1.000 dan ekuitas Rp 300. Jika laba bersih Rp 150 per tahun, ROE-nya 50%. Lalu, sesuaikan dengan harga yang pantas kita bayarkan. Harga yang wajar adalah di bawah atau sama dengan nilai buku. Jika tidak, imbal hasil dari ROE akan terdilusi.

Ambil contoh, sepintas terlihat mengagumkan saat PT ABC dengan aset Rp 1.000 dan ekuitas Rp 300, mampu menghasilkan laba bersih Rp 150. Dalam kasus ini, kita mendapatkan imbal hasil 50% (dua tahun pengembalian) hanya jika kita membayar seharga nilai buku. Namun, saham dengan ROE tinggi umumnya diperdagangkan lebih dari 5 kali nilai bukunya. Konsekuensinya, ketika kita membayar 5 kali lebih mahal dibanding nilai buku, yaitu Rp 1.500, maka ROE-nya bukan lagi 50%, tetapi 10% (10 tahun pengembalian).

Maka, jauh lebih menjanjikan membeli saham dengan ROE rendah, biasanya di bawah 10%, dan diperdagangkan di bawah nilai buku. Katakanlah PT XYZ, saham sekunder, tidak terlalu populer, dengan aset Rp 1.000, ekuitas Rp 500, dan laba bersih Rp 25. ROE-nya hanya 5%. Namun, jika kita dapat membeli senilai 25% dari nilai buku, yaitu Rp 125, maka ROE yang kita peroleh bukan 5% (20 tahun pengembalian), melainkan 20% (5 tahun pengembalian). Menarik ABC atau XYZ? Bagi saya, jauh lebih rasional membeli XYZ.

Terakhir, setelah mengukur imbal hasil dari return on capital, pastikan perusahaan membagikan dividen setiap tahun. Bagaimana pun, imbal hasil riil adalah kas yang dapat didistribusikan kepada investor. Dalam kasus XYZ, jika dividen yang didistribusikan dari laba bersih rata-rata 50% tiap tahun, dengan asumsi zero-growth, kita akan memperoleh imbal hasil selama 10 tahun, semata dari dividen. Jika dalam 10 tahun itu pasar menghargai mahal saham XYZ, maka itu adalah keuntungan apresiasi harga bagi kita, bukan imbal hasil.

Perhitungan imbal hasil di atas adalah ukuran yang sangat disederhanakan. Imbal hasil investasi juga dipengaruhi pertumbuhan laba bersih, pertumbuhan ekuitas, serta aksi korporasi. Selain itu, saya lebih suka menggunakan ukuran ROA atau ROCE, bukan ROE, untuk menghitung imbal hasil. Perhitungan ROE sering menimbulkan bias karena ROE yang tinggi biasanya diikuti rasio utang (DER) tinggi. Tentu, perusahaan dengan rasio utang kecil pilihan baik. Tapi konsekuensinya, DER kecil menghambat ROE menjadi lebih tinggi.•

Ricky Karunia Lubis
Fiskus dan Pengamat Pasar Modal

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×