kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Kecakapan minimum human capital


Senin, 25 Maret 2019 / 14:30 WIB
 Kecakapan minimum human capital


Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi

Kita mungkin pernah bertanya-tanya, apakah ada orang miskin di daerah kaya seperti Eropa Barat? Sulit membandingkan keberadaan orang miskin wilayah itu dengan di benua lain, seperti Afrika atau Asia.

Di Asia, kita bisa dengan mudah menemukan kemiskinan itu. Sebaliknya, kita akan cenderung berpendapat bahwa tidak ada orang miskin di Eropa. Kalaupun ada orang miskin di Eropa, pasti kita akan berpikir, itu akibat kegagalan atau kesalahan orang itu sendiri.

Padahal, masalah sesungguhnya tidaklah demikian. Sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) Jaringan Anti Kemiskinan Eropa atau The European Anti-Poverty Network (EAPN) menyatakan, kemiskinan bukan semata kegagalan atau masalah individu, tapi konsekuensi dari bagaimana mengorganisasi masyarakat dan sumber daya, lalu mengalokasikannya dalam sebuah simponi orkestra, dengan negara sebagai konduktornya.

Yang menarik untuk kita perhatikan dari hasil penelitian EAPN adalah bagaimana dampak yang muncul bila suatu negara melakukan pengetatan anggaran. Kebijakan politik yang tidak tepat, justru akan memperdalam kemiskinan. Misalnya, kebijakan negara mengurangi layanan kepada masyarakatnya.

EAPN menyebutkan, salah satu faktor penyebab kemiskinan adalah tingkat pendidikan, serta ketrampilan yang rendah. Kesimpulan ini sejalan dengan pernyataan Michael Todaro, pelopor ekonomi pembangunan dari Yale University dalam bukunya Economic Development. Menurut Todaro, ekonomi dunia tumbuh pesat melalui korporasi multinasional, perdagangan internasional barang dan jasa, lalu investasi, baik itu investasi asing langsung atau foreign direct investment (FDI) atau portofolio saham dan surat utang.

Pertanyaan selanjutnya, mengapa pertumbuhan ekonomi dunia seakan tidak berdampak terutama pada negara miskin dan berkembang? Mengapa sudah ada FDI, tetapi tetap tidak berdampak ke pertumbuhan ekonomi?

Menurut Todaro, kegagalan negara miskin menarik manfaat atas keterkaitan kegiatan ekonomi dan perdagangan global karena satu hal: sumber daya manusia. If human capital fell below the minimum needed to engage the global economy. Jika pembangunan manusia tidak mampu memenuhi syarat minimum kecakapan ekonomi global, maka semua potensi kegagalan bisa terjadi.

Akibatnya, tren jangka panjang, porsi dan kemanfaatan investasi internasional yang diterima negara miskin menunjukan penurunan bukan kenaikan. Lebih dari itu, Todaro mengingatkan, semua negara akan menghadapi kerentanan terhadap aliran modal. Seperti terjadinya krisis keuangan 2008. Dan, posisi paling rentan dialami negara berkembang.

Strategi nasional

Tidak adanya kecakapan minimum human capital juga menjelaskan mengapa manfaat dan aliran investasi asing mengalir ke negara dengan tingkat human capital, institusi dan teknologi serupa, dan mengapa hanya ada sedikit investasi dari negara berkembang di negara maju. Sedemikian penting peran dan capaian human capital terhadap keberhasilan dan keberlangsungan suatu negara.

Kita bisa bercermin pada keberhasilan Singapura. Negara tetangga yang jarak geografis nya dekat dengan kita ini memiliki capaian human capital tinggi dunia. Singapura rupanya menjadikan human capital sebagai bagian dari strategi nasional. Negara itu mengubah strategi sumber daya manusianya secara berkelanjutan, dan menyesuaikan dengan kebijakan ekonomi strategis nasional mereka.

Di sini jelas, bahwa human capital adalah proses yang serius, terus menerus, dan dinamis. Bukan sekadar aksi sesaat atau satu periode tertentu, bongkar pasang karena hendak meninggalkan legacy suatu rezim, atau aksi yang sekadar atau bahkan ala kadarnya.

Dalam bukunya Thank You For Being Late, Thomas Friedman merujuk suatu grafik yang menunjukkan bahwa teknologi ikut meningkat kecepatan eksponensial. Sementara kemampuan adaptasi manusia hanya meningkat pada laju linear yang lebih lambat.

Ketertinggalan laju adaptasi teknologi itu yang berakibat pada kesenjangan yang semakin meningkat antara kecanggihan teknologi dan produktivitas. Dampaknya, timbullah ketimpangan pendapatan, stagnasi upah, dan potensi kerusuhan sosial dan politik.

Perusahaan dengan produktivitas rendah dengan cepat akan kalah bersaing dan hilang di pasar. Selain itu, pada negara dengan produktivitas rendah, maka laju dan kemampuan adaptasi ini mengubah wajah pasar tenaga kerja.

Menurut laporan tahunan World Economic Forum (WEF) tahun 2017 tentang human capital, sistem pendidikan dewasa ini banyak yang terputus dan tidak sesuai dengan kebutuhan skil /keterampilan pasar tenaga kerja, baik terkini dan masa depan.

Selama ini pendidikan menitikberatkan pada kecakapan kognitif atau kecerdasan. Sementara, pasar tenaga kerja ke depan membutuhkan makin banyak kecakapan non-kognitif yang mampu memupuk kapasitas individu untuk kolaborasi, inovasi, dan kemampuan memecahkan masalah, atau direct problem solving.

Saat ini kita sedang mengalami ekspansi ekonomi digital yang demikian cepat, sehingga membutuhkan paduan produktif antara human capital dengan physical capital, serta intelligent algorithm dengan artificial intelligence. Karena itu, seluruh pemangku kepentingan baik pemerintah, dunia bisnis, institusi pendidikan, harus memahami perubahan kontekstual yang sedang berlangsung.

Pemangku kepentingan perlu melakukan evaluasi atas hasil human capital saat ini, dan memikirkan kebaruan strategi pengembangan human capital, agar bisa memperkecil jarak lompatan perkembangan teknologi dan mampu menggunakan modal manusia ini secara komprehensif sebagai strategi nasional.

Perlu kita ingat, proses otomatisasi, kecerdasan buatan, teknologi robotik, dan kecanggihan teknologi bisa menjadi bayangan gelap bagi pekerja dengan keterampilan rendah, di negara miskin dan berkembang.

Analis MIT Technology Review memperkirakan, negara-negara yang tidak berinvestasi di bidang sumber daya manusia akan menghadapi konsekuensi ekonomi yang besar. Mereka akan menghadapi kenyataan pasar tenaga kerja terus menyusut, hingga tinggal sepertiga sampai setengah saja.

Pemerintah Indonesia sejatinya telah berkomitmen terhadap investasi dan pembangunan sumber daya manusia. Per Oktober 2018, menunjukan data pendidikan dan pelatihan vokasi meningkat, baik sisi kelembagaan, pemagangan, standar kompetensi maupun link & match dengan dunia usaha dan industri.♦

Yunarwanto
Praktisi industri dan Mahasiswa Pascasarjana MPKP
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×