Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi
Kecelakaan Lion Air dengan nomor penerbangan JT 610 menunjukan kondisi inspeksi pesawat terbang komersial di Tanah Air sangat riskan. Fakta menunjukan penerbangan malam JT 610 dari Bandara Ngurah Rai ke Soekarno-Hatta sehari sebelum terjadi kecelakaan sudah mengalami gangguan serius yang membuat penumpang panik. Namun pagi harinya JT 610 diterbangkan ke Pangkal Pinang lalu mengalami kecelakaan fatal.
Masalah inspeksi JT 610 sebelum kecelakaan harus diteliti dan diusut secara tuntas. Bisa jadi masalah inspeksi tersebut merupakan puncak gunung es buruknya tata kelola inspeksi pesawat oleh maskapai penerbangan. Tata kelola itu perlu di audit investigasi. Jika terjadi penyimpangan, maka maskapai Lion Air harus diberikan sangsi berat.
Masalah kompetensi SDM maskapai dalam hal ini teknisi di lapangan terkait kegiatan inspeksi harus dibenahi secara total. Apalagi JT 610 merupakan jenis pesawat baru yang memiliki filosofi desain dan aircraft system yang berbeda dengan jenis pesawat lainnya. Perbedaan tersebut menyebabkan kompetensi teknisi dilapangan kurang memadai jika terjadi masalah teknis.
Ada pelajaran berharga dari musibah JT 610 bahwa engineer dan teknisi belum sepenuhnya menguasai teknologi tinggi terkait tipe pesawat. Di lain pihak maskapai terus berambisi melakukan pengadaan pesawat baru. Ada indikasi maskapai berbiaya murah (low cost carrier atau LCC ) selama ini memangkas biaya dan aktivitas yang terkait dengan inspeksi dan perawatan pesawat terbang.
Apalagi pada saat ini Indonesia sedang menghadapi masalah serius terkait tingginya kebutuhan dollar untuk belanja impor suku cadang dan komponen pendukung penerbangan. Data BPS menunjukkan salah satu barang impor penguras dollar yang menyebabkan defisit anggaran adalah aneka jenis mesin dan komponen pesawat terbang.
Kebutuhan dolar yang melonjak untuk mengimpor suku cadang dan komponen pesawat terbang membuat esensi tarif LCC menjadi tidak relevan lagi. Kondisinya semakin runyam jika masalah diatas ditutupi dengan mereduksi aspek keselamatan penerbangan. Untuk itu perlu segera audit dan menghitung kembali struktur biaya operasional maskapai dan besaran tarif. Apakah ada dusta tersembunyi yang berpotensi menimbulkan malapetaka bagi konsumen.
Selama ini maskapai pandai membeli produk teknologi tinggi tapi kurang menguasai teknologi karena kendala dana dan SDM. Termasuk teknologi perawatan, pendukung operasional dan rantai pasok suku cadangnya.
Maskapai berlomba-lomba membeli pesawat terbang baru dari industri pesawat terbang terkemuka dunia, seperti Boeing dan Airbus. Pengadaan pesawat itu berupa tipe terbaru yang lebih canggih dari generasi pesawat sebelumnya. Seperti contohnya tipe pesawat Boeing 737 MAX 8.
Langkah maskapai yang terlalu mengutamakan jam terbang pesawat dan aspek on time performance (OTP) belum disertai dengan daya dukung engineer, teknisi dan fasilitas inspeksi yang cukup.
Pembelian pesawat terbang dari luar negeri sangat membutuhkan daya dukung SDM teknologi yang memadai. Seperti halnya teknisi atau tenaga ahli perawatan pesawat. Apalagi kini jenis profesi diatas masih kurang bahkan bisa dibilang langka di Tanah Air.
Pesawat sejenis Boeing 737 sudah pasti memiliki sistem yang canggih dan modern yang mampu mengatasi berbagai kondisi darurat. Kecanggihan suatu sistem sangat tergantung tertib regulasi dan kondisi inspeksi di bandara.
Operasional moda transportasi udara yang sarat teknologi canggih masih belum disertai budaya korporasi yang mampu menjunjung tinggi faktor keselamatan. Sebetulnya peringatan tegas tentang prosedur keselamatan penerbangan telah dikeluarkan Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO). Tapi otoritas perhubungan di Indonesia masih belum sepenuhnya mengimplementasikannya. Sudah cukup lama ICAO melihat kelemahan mendasar dalam mengawasi keselamatan penerbangan. Yakni kelemahan organisasi dan infrastruktur serta SDM berkompeten.
Inspeksi mesin pesawat
Kelayakan organisasi maskapai penerbangan yang ada di seluruh bandara perlu dibedah secara total apakah kondisinya sudah sesuai dengan rekomendasi dan kebijakan ICAO. Lembaga ini dalam beberapa tahun terakhir ini telah mengeluarkan berbagai rekomendasi dan kebijakan dalam rangka meningkatkan jaminan keselamatan penerbangan. ICAO juga telah menetapkan mandatory yakni rekomendasi dan kebijakan yang bersifat wajib.
Mandatory itu mengarah kepada tuntutan untuk melaksanakan audit keselamatan penerbangan secara konsisten di seluruh negara. Telah banyak sorotan dan keluhan tentang kelayakan berbagai bandara di Indonesia.
Fasilitas pengamatan penerbangan juga menjadi fokus penting dari ICAO. Fasilitas pengamatan penerbangan yang meliputi Secondary Surveillance Radar atau Monopulse Secondary Surveillance Radar (SSR); ATS Automation, Radar Data Processing System, Flight Data Processing System, Aeronautical Information System, Automatic Dependent Surveillance (ADS), Aerodrome Surface Detection Equipment. Semua itu menjadi kunci yang bisa menjamin keselamatan penerbangan.
Fasilitas Aerodrome Surface Detection merupakan pusat inspeksi yang mampu mendeteksi adanya kerusakan komponen dan malfuction sebelum pesawat take-off. Di dalam aerodrome itulah berbagai sistem dan teknologi pesawat terbang bisa dilakukan functional test awal sesuai dengan spesifikasi pesawat.
Inspeksi yang sangat vital adalah mesin pesawat. Perawatan mesin pesawat berikut komponen penunjangnya dikerjakan berdasar interval waktu pelaksanaan. Perawatan pesawat dikelompokkan menjadi perawatan rutin dan nonrutin. Untuk perawatan rutin, interval yang sudah ditetapkan harus diulang dalam interval waktu tersebut. Sementara itu, perawatan non rutin akan dilakukan berdasarkan temuan yang didapat saat pengoperasian pesawat.
Perawatan rutin terhadap pesawat sekelas Boeing 737 dibagi menjadi perawatan harian yang dilakukan pada saat sebelum terbang atau before departure check (BDC), kemudian saat singgah di suatu bandara atau transit check, serta pemeriksaan harian.
Sedangkan perawatan berkala dilakukan dalam interval waktu tertentu sesuai dengan maintenance schedule inspection. Contoh perawatan berkala dan nomenklatur perawatan. Seperti A Check yang dilakukan setiap interval 250 jam terbang dan kelipatannya. Pada 250 jam terbang pertama disebut 1A Check, lalu 500 jam terbang disebut 2A Check, kemudian 750 jam terbang dilakukan 1A Check kembali. Saat mencapai 1.000 jam terbang, disebut 4A Check. Perawatan kemudian diulang hingga 2.000 jam terbang yang disebut 8A Check. Setelah menempuh 4.000 jam terbang, pesawat akan mengalami pemeliharaan yang disebut C Check. •
Totok Siswantara
Pengkaji Transformasi Teknologi dan Industri, anggota Indonesia Aeronautical Engine
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News